Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Kenyamanan terbaik yang dimiliki Sophia adalah keluarga suaminya. Dia selalu nyaman duduk di dekat Rose, Sophia merasa ibunya yang telah meninggal kembali hadir dalam sosok yang berbeda. Apalagi Sergío terlihat begitu menyayanginya, dari tatapannya saja Sophis sudah tahu. Keluarga Edmund begitu menyayanginya.
Setelah selesai bekerja, Edmund langsung membawa istrinya ke rumah Sergío. Rose sudah menelpon berpuluh-puluh kali pada Edmund dan Sophia. Dia terus mengirim pesan suara menanyakan keberadaan mereka dan menyuruhnya datang lebih awal.
Beberapa jam sebelum makan malam, Rose mengajak Sophia duduk di dekat perapian sambil melihat-lihat album yang dipenuhi dengan foto-foto keluarga D'allesandro. Yang paling menarik perhatian Sophia adalah foto remaja Edmund. Wajahnya masih tetap sama sekarang, hanya saja rambutnya panjang hingga mencapai bahu.
"Kelas berapa Edmund memanjangkan rambutnya, Mom?" Tunjuk Sophia pada salah satu foto Edmund yang sedang bermain drum.
"Saat dia seumuran denganmu mungkin. Berapa umurmu sekarang, Sophie?"
"18 tahun," jawab Sophia menoleh ke arah Rose.
"Berarti foto ini diambil saat Edmund berumur 17 tahun."
"Dia terlihat berbeda," ucap Sophia menatap foto lain, di mana Edmund sedang memakai tuksedo hitam dengan rambut panjangnya yang diikat ke belakang.
"Dia tampan bukan?"
Sophia tersenyum. "Lebih tampan sekarang," ucapnya dengan malu-malu, membuat Rose tertawa keras hingga Sergío dan Edmund yang berada di luar ruangan bisa mendengarnya.
"Tentu saja dia lebih tampan sekarang, dulu Edmund belum memiliki perut kotak-kotak seperti sekarang, benar 'kan?" Alisnya terangkat naik turun menggoda menantunya.
"Hentikan, Mom," bisik Sophia dengan wajah yang sudah memerah.
"Dulu Edmund sangat mencintai rambut panjangnya, bahkan dia memecat pembantu hanya karena dia tidak sengaja menjatuhkan kue kering ke atas kepalanya."
"Benarkah?"
Rose mengangguk meyakinkan.
"Lalu kenapa dia memotongnya?"
Bahu Rose terangkat. "Mom tidak tahu, dia tiba-tiba memotong rambutnya pendek saat pulang berlibur dari Buenos Aires," jelasnya membuat Sophia menganggukan kepala.
"Ini siapa, Mom?" Sophia menunjuk seorang gadis cantik yang ada dalam foto keluarga besar D'allesandro. Dia merasa asing karena menemukan sosok gadis remaja yang tidak ada dalam album-album sebelumnya.
"Itu Lexi, dia adik Sergío," ucap Rose sambil menatap foto itu juga.
"Adik? Apa dia seumuran dengan Edmund?" Kening Sophia mengkerut, merasa heran karena gadis itu lebih cocok jadi anak dari pada adik Sergío.
"Tidak, Sophie, dia lebih tua satu tahun dari Edmund."
Ketika Sophia hendak membuka lembar berikutnya, Rose menahan. Dia mmenatap dalam foto itu, tepatnya pada foto Lexi yang memakai gaun hijau.
"Ada apa, Mom?"
"Lexi adalah anak yang diadopsi oleh Marxel, ayah Sergío. Marxel dan istrinya sangat ingin anak perempuan, jadi mereka memutuskan mengadopsi Lexi dari panti asuhan," jelasnya sambil mengusap foto itu perlahan.
"Dia cantik, matanya mirip dengan kakek Marxel."
Rose tersenyum, dia mengusap kepala Sophia saat menatap sendu foto Marxel dan istrinya. Dia seolah tahu, bahwa kedua orang itu tidak datang di hari pernikahannya bukan karena alasan pekerjaan, tapi karena mereka tidak menyukai Sophia.
"Ya, dia cantik," ucap Rose dengan suara serak.
Sophia mengalihkan pandangan, matanya membulat melihat Rose yang berkaca-kaca. "Mommy, kau kenapa?"
Dia menggeleng. "Aku baik-baik saja, sayang. Hanya merindukan sosok Lexi saat kecil."
Kening Sophia berkerut, dia tidak mengerti dengan ucapan mertuanya. Merindukan sosok Lexi saat kecil berarti Rose tidak merindukan sosoknya yang sekarang sudah dewasa. "Lexi, baik-baik saja bukan?" Sophia bertanya dengan nada merendah.
"Tidak, dia tidak dalam keadaan baik."
"A-apa maksudmu, Mommy?"
Rose tersenyum, dia mengusap kembali foto itu.
"Saat kanak-kanak, Edmund dan Lexi sangat akrab. Orang lain yang melihat mereka bersama, selalu berpendapat kalau keduanya itu kembar." Rose menghela napas sesaat.
"Semenjak kami membawa Edmund pindah ke Los Angeles, Lexi marah kepadaku dan Sergío. Dia bahkan tidak ingin bicara selama berbulan-bulan pada kami. Rasa marahnya selalu terobati saat Edmund berlibur di sana. Namun, saat menginjak remaja, Lexi menjadi mulai terobsesi untuk memiliki Edmund. Bahkan dia pernah bertelanjang di hadapannya hanya untuk mendapatkan hati Edmund. Sejak saat itu, kami menjauhkan Edmund dari Lexi, tapi itu malah membuatnya menggila."
"Astaga," gumam Sophia menutup mulutnya. "Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Tidak cukup baik, terkahir kudengar dia masuk ke rumah sakit jiwa mendengar Edmund menjalin kasih dengan Sara."
"Astaga, bagaimana jika dia tahu Edmund sudah menikah?"
Rose tersenyum kecil melihat raut wajah Sophia yang nampak ketakutan. "Jangan khawatir, dia ditangani oleh dokter terbaik. Jadi kemungkinan obsesinya itu akan hilang," ucap Rose menutup album hitam itu.
"Syukurlah," desahnya dengan lega.
"Ayo kita memasak untuk makan malam, Sophie," ajak Rose berdiri dan menyimpan album itu di rak yang menyusun rapi album lain. Dia membantu Sophia berdiri dan melangkah ke arah dapur.
Keduanya memasak sambil bercanda. Meskipun wajah Sophia tertawa, tapi dia masih memikirkan kata-kata Rose yang menjelaskan tentang Lexi. Entah mengapa perasaannya tidak enak akan wanita itu, Sophia merasa harus waspada padanya jika bertemu.
Dia mulai hilang fokus karena memikirkan Lexi terus, Sophia menjatuhkan sendok dan piring beberapa kali. Hal itu membuat Rose khawatir, apalagi senyum kakunya membuktikan Sophia sedang menyembunyikam sesuatu.
Bahkan saat makan malam pun, Sophia masih memikirkannya. Dan itu menarik perhatian Sergío. Tatapan kosong Sophia pada sendok di depannya membuat pria itu khawatir.
"Ada apa, Sophie? Kenapa kau tidak memakan makananmu?"
Mata Sophia mengerjap, dia menatap Sergío sambil senyum dan menggelengkan kepala. "Aku sudah merasa kenyang, Dad."
Sergío tertawa. "Kau baru makan beberapa suap. Ada apa? Kau baik-baik saja bukan?"
"Dia terus melamun sejak tadi, sepertinya dia tidak baik-baik saja," ucap Rose menatap Sophia.
Mendengar kekhawatiran kedua orangtuanya, membuat Edmund memegang tangan istrinya. Dia menatapnya dalam. "Ada apa? Apa kau sakit?"
Ketika pandangan semua orang yang ada di meja makam tertuju padanya, itu membuat Sophia canggung. Dia mengusap dahinya dan menggeleng samar. "Aku hanya sedikit pusing," ucapnya tersenyum pada Edmund.
"Dia terlalu lelah bekerja." Sergío memandang anaknya penuh makna dengan sorot mata yang tajam. "Kau harus memberinya uang lebih agar dia diam di rumah, Ed," lanjutnya menyuapkan kembali lobak putih.
"Ini hanya pusing biasa, aku baik-baik saja. Sungguh," ucap Sophia ketika suaminya menatap dalam dirinya. Dia segera menyuapkan kembali daging sapi yang dilumuri dengan saus barbaque, Sophia melahapnya untuk membuat Edmund berhenti menatapnya.
***
Setelah pembicaraan itu, Edmund tidak pernah berhenti memaksa Sophia untuk berhenti bekerja. Bujukan demi bujukan dia keluarkan hanya agar istrinya diam di apartemen hingga tidak kelelahan. Namun, Sophia terus saja menghindar dari suaminya. Dan itu berlangsung sampai di pagi hari.
"Jangan bekerja, Sophie," ucap Edmund tajam, membuat istrinya menghentikan gerakan tangan yang sedang mengkancingkan baju kemeja.
"Aku baik-baik saja, Ed."
"Hanya hari ini saja."
Akhirnya Sophia menyerah, dia mengangguk dan membuat senyuman muncul di wajah Edmund. "Kalau bisa selamanya."
"Tidak mau, aku suka bekerja."
Edmund memutar bola matanya malas, dia membalikan badannya untuk memilih dasi. "Aku bisa memberi uang lebih banyak lagi jika kau berhenti bekerja, Sophie."
"Kita sudah membicarakan ini, Ed." Sophia mendudukan diri di pinggir ranjang, dia memijat pelan kepalanya. Banyak sekali.yang dia pikirkan semalam, termasuk Lexi yang belum juga hilang dari otaknya.
Sophia tersentak kaget saat merasakan Edmund berjongkok di hadapannya, dia melingkarkan kedua tangannya di pinggang istrinya. Wajahnya bersejajar langsung dengan perut yang agak membuncit, Edmund menatap perut itu lama sekali sebelum mendekatkan wajahnya dan menciumnya.
Sophia menahan napasnya, tubuhnya kaku saat kepala Edmund berada di perutnya cukup lama. Tubuhnya seakan memanas, apalagi dia merasa geli saat Edmund semakin mengeratkan lingkaran tangannya. Setelah lama mencium perut istrinya, Edmund mendongkang menatap mata Sophia.
"Dia alasanku melarang kau untuk bekerja," ucapnya dengan lembut.
Mendengarnya membuat dia tersenyum kecil, tangan Sophia terangkat dengan sendirinya dan mengusap rambut belakang Edmund. "Aku baik-baik saja. Sungguh."
Edmund menggeleng. "Aku yang tidak baik-baik saja," ucapnya membuat Sophia terkekeh kecil.
"Memangnya kenapa?"
"Kau selalu kelelahan saat malam hari, dan itu menyita waktuku yang seharusnya bersamamu."
Wajahnya memerah. Senyuman Sophia meluntur saat Edmund menatapnya dengan menggoda, dia merasa malu sekaligus bersalah. Memang, dia selalu tidur beberapa menit setelah makan malam. Sebagai seorang istri, tentu saja Sophia merasa dirinya adalah orang yang tidak berguna. Dia tidak bisa melayani suaminya dengan baik, dan itu membuatnya merasa sangat bersalah.
"Maaf," ucap Sophia sambil menunduk.
"Untuk apa?"
"Untuk tidak melayanimu dengan baik." Matanya membalas tatapan Edmund. Pria itu tersenyum, tangannya terangkat memegang tengkuk Sophia dan menariknya hingga bibir mereka menyatu. Edmund menyamakan tingginya dengan sang istri, mereka terus berciuman dan melepaskannya hanya beberapa detik untuk mengambil napas. Selama beberapa menit keduanya terus memainkan bibir dan lidah satu sama lain, hingga suara telpon menghentikan.
"Shit!" umpatnya sambi bangun dari tidurnya, Sophia segera membereskan lagi kancingnya yang terbuka dan menatap suaminya penuh tanya. Seperti biasa, dia bicara dengan bahasa yang tidaj dimengeti Sophia.
"Siapa?"
"Maria, aku lupa hari ini ada meeting penting," ucap Edmund menatap Sophia, tatapannya seolah mengartikan bahwa dirinya tidak ingin pergi dari tempat ini.
Mengerti dengan tatapan suaminya, Sophia mendekat dan membantu Edmund merapikan pakaiannya. "Kau harus pergi."
"Dan meninggalkan momen ini? Kau bercanda."
"Ayolah, Ed, kau harus menghasilkan banyak uang untukku," ucap Sophia membuat suaminya tertawa. Dia mengantar Edmund sampai ke depan pintu, Sophia melambaikan tangan dengan senyuman kecil sebelum dia menjauh dan memasuki lift.
"Aku mencintaimu," ucap Sophia tanpa suara saat Edmund benar-benar tidak terlihat.
Sophia tidak hanya duduk diam di apartemen, dia membereskan ruangan itu seperti biasanya. Dan semuanya berakhir saat dia merasakan kakinya kesemutan saat sedang memilih-milih buku di rak. Sophia membaringkan tubuhnya di atas sofa yang ada di ruang keluarga.
Saat matanya hendak terpejam, dia mendengar bel berbunyi beberapa kali. Seseorang yang menekannya terdengar tidak sabaran, bel itu berbunyi berulang kali. Sebelum membukanya, dia melihat terlebih dahulu layar monitor untuk melihat siapa yang datang. Sayang, seseorang itu memakai kacamata dan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Namun, Sophia dapat mengenali bahwa itu adalah seorang wanita.
Dia membuka pintu yang langsung menampakkan seorang wanita berambut bob berwarna blonde, bibir merah dengan gaun yang begitu bagus. Sophia merasa mengenal wajah ini.
"Anda mencari seseorang?"
Tanpa menjawab, wanita itu melangkah hendak masuk ke dalam. Untung saja Sophia dapat menahannya hingga dia melangkah mundur. "Menyingkirlah!" Teriaknya dengan kesal.
"Anda tidak bisa masuk begitu saja ke dalam apartemen seseorang."
"Apa kau pembantu? Aku adalah Lexi D'allesandro," ucapnya membuka kacamata dan menatap Sophia tajam.
---
Pero tiene una reunión importante con el pintor Japonés, Señor : Kita memiliki rapat penting dengan pemerintah Jepang, Tuan
...
Ig : @alzena2108
With love,
Little-Zee💋💋