Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Edmund yang sedang mengagumi pada pemandangan kota Los Angeles di depannya itu harus terhenti saat telponnya berdering. Dia menatap jam yang menempel di dinding, seingatnya tidak ada rapat atau pun jadwal penting setelah makan siang. Jadi Edmund mengabaikan panggilan itu tanpa melihat siapa pemanggilnya terlebih dahulu, dia lebih tertarik dengan pemandangan di bawahnya dan secangkir kopi yang ada di tangannya.
Dia melihat seorang pria di dekat jalan raya sedang menuntun anak kecil yang Edmund yakini itu adalah anaknya. Keduanya berinteraksi dengan dihiasi senyuman. Itu menarik perhatiannya, dia memikirkan bagaimana jika anaknya sudah lahir. Banyak hal yang sudah Edmund rencanakan dalam otaknya, dia ingin menjadi ayah terbaik yang membuat anaknya bangga.
Namun, telpon yang berdering membuat Edmund kesal juga. Dia mengambil gagang telpom dengan malas. "Ada apa?"
"Kau di mana?"
Tubuh Edmund menegang menyenali suara itu. "Dad, maaf, aku kira kau orang la-"
"Kau dimana, Edmund?"
"Aku di kantor."
"Apa Lexi menemuimu?"
Keningnya berkerut. "Lexi? Tidak, dia tidak menemuiku. Ada apa memangnya? Bukankah dia seharusnya di Singapura?"
Sergío yang diam membuat Edmund gelisah, dia dapat mendengar pria itu memerintah pada seseorang untuk menghubungi Marxel.
"Dad, ada apa?"
"Lexi mendarat di Los Angeles pagi ini."
"Apa?! Dia di sini?!"
"Ya, dia di sini. Pulanglah dan lihat keadaan istrimu, kau tahu bukan apa yang akan dilakukan Le-" Edmund memutuskan sambungannya sebelum Sergío menyelesaikan kalimatnya.
Edmund panik, dia bahkan tidak mendengarkan ucapan Maria. Semua sapaan untuknya dia abaikan, Edmund tidak berhenti menghubungi ponsel istrinya. Saat panggilan tunggu terdengar hingga akhirnya operator memberitahu nomor itu tidak aktif, Edmund semakin panik.
Lexi bukan hanya terobsesi dengannya, tapi dia memiliki hasrat menyakiti wanita yang ada di sekeliling Edmund, kecuali keluarga. Bukan hanya sekali Lexi mencoba menyakiti Sara, dia pernah merencanakan pembunuhan pada Sara dan terhenti saat Edmund mengetahuinya.
Lexi sakit, bahkan sampai sekarang. Dia kembali menggila saat mendengar Edmund akan menikah, dia mencoba membunuh dirinya sendiri agar menarik perhatian Edmund. Itu bukan yang pertama kalinya, Edmund sudah muak dengan semua yang wanita itu lakukan. Dia sangat sakit, obsesi terhadap dirinya tidak pernah hilang. Banyak sekali dokter yang menanganinya, mereka datang dan menjanjikan kesembuhan Lexi. Namun, pada akhirnya mereka menyerah juga, meminta maaf sambil berbalik meninggalkan pasien yang belum sembuh.
Sergío memaksa untuk memasukan adik angkatnya ke dalam rumah sakit jiwa, dia terlalu pusing mengurusinya. Apalagi Lexi begitu tergila-gila pada anaknya. Sebagai seorang ayah, Sergío ingin menyingkirkan hal berbahaya bagi anaknya.
Begitu pun Marxel, dia berusaha menyembuhkan anak angkatnya yang dia adopsi dari panti asuhan. Dia dan istrinya tidak membiarkan Sergío menangani Lexi, mereka selalu berusaha mencari dokter ahli untuk menyembuhkan kegilaannya.
Beberapa minggu yang lalu, Edmund memang mendengar perihal Lexi yang mulai membaik. Namun, dia tidak bisa mempercayainya begitu saja setelah semua yang wanita itu lakukan. Seharusnya Lexi berada di Singapura, melanjutkan terapinya bersama dengan dr.Dan.
Kedatangannya ke Los Angeles membuat Edmund panik. Dia mengeluarkan kata-kata kasar saat nomor Sophia tidak aktif, dia melempar ponselnya kesal dan melajukan mobil lebih cepat. Demu Tuhan! Edmund tidak ingin sesuatu terjadi pada istri dan calon anaknya. Jika Lexi sampai menyakiti mereka, Edmund bersumpah tidak akan memaafkannya.
Saat mobil sampai di basemen, Edmund berlari keluar dan memasuki lift dengan tergesa-gesa. Dia memasukan kode apartemen dan langsung mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang harus dia lindungi.
"Sophia?!" Teriak Edmund sambil masuk dan membanting pintu agar kembali tertutup.
"Edmund!"
Pria itu membalikan badan, matanya langsung tertuju pada seorang wanita yang sedang minum jus di pantry. "Ini masih siang, kenapa kau sudah pulang?"
"Di mana istriku?"
"Istrimu? Oh, Sophia? Dia ada di kamar sedang tidur siang.".
"Apa kau menyakitinya?" Edmund menunjuk wajah Lexi sambil mendekat, rahangnya mengeras seakan menahan amarah.
"Apa maksudmu aku menyakitinya?"
"Jangan berakting, Lexi. Aku sudah tahu semua kebusukanmu," ucap Edmund dengan tajam.
Lexi menggeleng. "Aku tidak menyakitinya, Ed. Aku membuatkannya makan siang, lihat ini." Dia mengambil teflon yang berisi telur gulung.
Tatapan Edmund tidak melunak, dia menjauh dari tempat Lexi dan menaiki tangga memasuki kamarnya. Di sana dia melihat Sophia yang terbaring di atas ranjang. Untuk memastikan dia baik-baik saja, Edmund mengusap kepalanya pelan.
"Sophie, bangunlah," ucapnya mengguncang tubuh kecil itu. "Sophia."
Perempuan itu bergerak, dia mengerjapkan matanya dan menatap suaminya heran. "Edmund?"
"Kau baik-baik saja?"
Mengerti dengan pertanyaan Edmund, membuat wajah Sophia mengangguk kaku. "Aku baik-baik saja," ucapnya sambil duduk menghadap suaminya.
"Hei, tatap aku. Apa wanita itu menyakitimu?"
Sophia menggeleng. "Tidak, dia tidak menyakitiku," ucapnya membereskan rambut yang menghalangi pandangannya.
Tanpa aba-aba Sophia langsung memeluk Edmund, dia menyembunyikan wajahnya di dada pria itu. Dia merasa sangat merindukan suaminya, padahal baru beberapa jam mereka berpisah.
"Dia menyakitimu, bukan?"
Sophia kembali menggeleng.
"Jangan berbohong, Sophie."
"Aku tidak, sungguh," ucapnya dengan suara mengecil.
"Lalu kenapa ponselmu mati?" Edmund merangkup wajah istrinya dan menatapnya dalam.
"Baterainya habis."
"Apa kau sedang berbohong?"
Sophia melepaskan pelukannya dan menatap Edmund kesal. "Apa aku terlihat berbohong? Coba kau cek saja ponselnya," ucap Sophia mengerucutkan bibir.
Dia menghela napas dan menarik kembali istrinya ke dalam pelukan, membiarkan rasa khawatirnya menghilang dengan memeluk erat Sophia. "Aku mengkhawatirkanmu, Sophie," ucapnya mengecup kepala Sophia.
"Aku baik-baik saja, dia datang dengan wajah ramah. Mengaku sebagai saudaramu dan menyuruhku untuk tidur sementara dirinya memasak. Apa dia sedang memasak?" Sophia mengadah menatap suaminya.
"Ya, dia memang sedang memasak. Dia tidak menyakitimu, 'kan?"
Sophia terdiam, pikirannya mengingat lagi saat pertama kalinya Lexi masuk ke dalam apartemen. Dia membuka kacamata dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, Lexi juga menatapnya sinis untuk beberapa detik. Dan setelahnya, dia memasang wajah ramah dan memberi ucapan selamat atas pernikahannya dan Edmund. Lexi bahkan memaksanya tidur sementara dirinya bilang akan memasak untuk makan siang.
"Sophie."
Mata Sophia mengerjap. "Kenapa?"
"Apa yang kau pikirkan?"
"Tidak ada," ucapnya melingkarkan tangan di pinggang Edmund.
"Apa kau tahu siapa wanita itu?"
"Maksudmu Lexi?"
Edmund mengangguk.
"Dia saudaramu, 'kan?"
"Bukan itu yang aku maksud."
Sophia terdiam beberapa detik sebelum dia mengangguk dalam pelukan suaminya. "Dia wanita yang terobsesi denganmu. Mom sudah menceritakan semuanya," ucap Sophia dengan pelan.
Edmuns tidak bicara, dia mengeratkan pelukannya pada istrinya.
"Aku akan mengeluarkannya dari sini."
"Tapi sepertinya dia sudah sembuh." Sophia melonggarkan pelukan suaminya agar bisa menatap mata biru itu.
"Aku tidak mempercayainya begitu saja," ucap Edmund melonggarkan dasinya, pikirannya kembali mengulang kejadiaan saat Lexi berbuat hal-hal membahayakan dirinya maupun orang lain hanya karena dirinya.
"Kau akan mengusirnya?"
"Kakek akan membawanya, aku harap begitu," ucap Edmund menyatukan bibirnya dengan bibir istrinya.
Namun, belum juga dia menggerakan bibirnya, pintu kamar terbuka secara tiba-tiba. Membuat Edmund mengumpat tanpa suara tepat di depan bibir Sophia.
"Ups, maafkan aku," ucap Lexi masuk ke dalam kamar dan menghentikan kegiatan yang sedang dilakukan sepasang suami istri itu.
***
Love,
ig : @Alzena2108