Chereads / I am No King / Chapter 165 - Arc 5 Ch 14 - Fall of Muir, Before

Chapter 165 - Arc 5 Ch 14 - Fall of Muir, Before

Aku terdiam, melihat langit yang mendung. Ditambah dengan angin yang berembus kencang, hujan telah dijanjikan.

"Kanu, menurutmu, apa kematian kita bisa keluar hidup-hidup dari peperangan ini?"

"Pasti ... Mungkin? Entahlah, aku juga tidak tahu."

Kanu tidak dapat memberi jawaban pasti.

Ini adalah hari ke enam kami menghabiskan hari di parit. Menurut rumor, sudah satu minggu sejak 17 dari 24 wilayah Kerajaan Nina mendukung Tuan Putri Rina. Wilayah di sekitar ibukota, Muir, telah menyatakan dukungan Tuan Putri Rina. Untuk mempertahankan ibukota, militer pun membuat parit dan barikade di sekeliling Muir. Saat ini, satu-satunya wilayah yang belum dihinggapi musuh, di sekitar ibukota, adalah lautan di utara.

Di dalam parit, kami, tentara muda, berpatroli rutin. Setiap hari, kami harus memperhatikan ke luar parit dengan teropong, berharap musuh tidak mendekat.

"Kenapa Yang Mulia Paduka Ratu dan Tuan Putri Rina tidak bisa berdamai saja, ya?"

"Sebenarnya, aku mendengar rumor menarik soal barikade ini."

"Apa itu?"

Tidak biasanya Kanu suka membicarakan rumor. Apa yang salah dengan kepalanya? Di lain pihak, beberapa orang yang kebetulan dekat langsung menghampiri.

"Sebenarnya, katanya, Yang Mulia Paduka Ratu Amana ingin menyerah dan mengundurkan diri. Beliau bersedia dihukum dan dieksekusi oleh Tuan Putri Rina. Namun, para petinggi militer tidak mau melakukannya."

"Tunggu dulu! Apa itu berarti yang memerintahkan barikade pertahanan ini bukan Yang Mulia Paduka Ratu Amana? Tapi petinggi militer."

Sebuah anggukan dari Kanu membuat kerumunan riuh. Mereka berbicara sendiri, saling mengumpat dan meluapkan kemarahan.

Aku paham dengan kemarahan mereka. Aku sendiri kesal dan marah ketika mendengar barikade ini bukanlah perintah Yang Mulia Paduka Ratu Amana. Ketika memasuki militer, kami disumpah untuk setia kepada Ratu, bukan kepada petinggi militer.

Namun, mau bagaimana lagi? Kami hanya tentara baru yang berusaha menggugurkan kewajiban militer. Kami tidak mungkin melawan atasan, kan? Dan lagi, semua ini masih sebatas rumor, belum ada bukti pasti.

"Jeju."

"Ya?" Aku merespons Kanu.

"Menurutmu kenapa para petinggi militer melakukan hal ini? Dari kita semua, kamu yang paling pintar, kan? Kamu pasti bisa memperkirakan apa yang diinginkan para petinggi militer."

"Aku tidak pintar. Aku hanya suka membaca."

"Sama saja!"

Semua orang berteriak, menolak pernyataanku. Tampaknya akan percuma meski aku berusaha meyakinkan mereka. Api yang berkumpul tidak bisa dipadamkan oleh satu ember air.

"Ini hanya dugaanku," aku membuat hipotesis. "Mungkin petinggi militer berniat membuat warga kelaparan."

"Membuat warga kelaparan?"

"Kenapa?"

Wajar bagi semua orang mempertanyakannya. Militer, normalnya, hidup untuk melindungi masyarakat. Namun, kali ini, yang terjadi justru sebaliknya.

Aku melanjutkan hipotesis. "Ketika rakyat kelaparan, mereka akan memberontak dan berusaha menggulingkan Yang Mulia Paduka Ratu Amana. Di saat itu, kemungkinan, petinggi militer ini akan muncul dan menghukum atau menangkap Yang Mulia Paduka Ratu.

"Kemudian, dia akan menyerahkan Yang Mulia Paduka Ratu pada Tuan Putri Rina dengan syarat pemberian makanan, pembebasan Muir, dan sebagainya. Dengan demikian, dia akan mendapatkan reputasi yang baik di mata masyarakat. Muir, Feodal Lord, kalian mengerti maksudku, kan?"

Semua orang mengangguk, tanpa pertanyaan. Hanya dengan kata Muir dan Feodal Lord, orang-orang ini pasti sudah bisa menerka maksud dan tujuan petinggi militer.

Muir, sebagai ibukota Kerajaan Nina. Adalah satu-satunya wilayah tanpa Feodal Lord, langsung dikelola oleh keluarga kerajaan. Dengan rencana yang sedang berjalan, mungkin, petinggi militer itu ingin menjadi Feodal Lord.

Di lain pihak, kalau sudah mencapai prajurit di parit, besar kemungkinan rumor ini sudah tersebar luas. Dan, besar kemungkinan, hipotesis sejenis dengan milikku juga sudah tersebar. Dengan kata lain, pasti, ada pihak lain yang akan menunggangi kondisi ini.

"Hei, kalau seandainya salah satu dari kita memilih untuk menangkap Yang Mulia Paduka Ratu Amana saat ini juga, menurut kalian bagaimana?"

"HAHAHAHA"

Sebuah pendapat muncul, sukses memunculkan ledakan tawa dari semua orang, termasuk aku. Kenapa kami tertawa? Jangankan menyelamatkan Yang Mulia Paduka Ratu Amana, pergi meninggalkan parit ini saja tidak mungkin!

Untuk pergi dari parit, kami harus mendapat izin dari atasan. Tanpa izin, kami akan dianggap sebagai pembangkang. Di saat itu, peluru tidak akan segan-segan bersarang di tubuh.

"Eh, Kapten datang!"

"Ayo baris! Ayo baris! Cepat!"

Di saat itu, kami semua berbaris, menyambut kapten.

"Pasukan, apa kalian siap mati?"

"SIAP!"

"APA KALIAN SIAP MATI?"

"SIAP!"

Tentu saja tidak! Aku tidak siap mati! Namun, tidak mungkin aku mengatakannya. Kalau menjawab jujur, justru aku adalah orang pertama yang akan meninggalkan dunia.

"Bagus! Aku ingin kalian semua pergi ke parit di sebelah selatan. Musuh di selatan mulai mendekat. Di lain pihak, tidak tampak musuh di sisi barat. Oleh karena itu, kita akan memperkuat pertahanan di selatan."

"SIAP! LAKSANAKAN!"

Setelah mendengar perintah, kami berjalan cepat, bergegas menuju selatan.

Sial! Aku tidak mau berperang! Aku tidak mau berperang! Kenapa di saat aku wajib militer justru terjadi peperangan, sih? Padahal aku sempat bersyukur ketika tidak dikirim ke Front Bana'an atau Mariander. Namun, sayangnya, peperangan masih mendatangiku. Apa ini yang dinamakan tidak bisa kabur dari takdir?

"Kanu, menurutmu, apa kapten tahu rumor itu?"

Sunyi. Tidak ada jawaban.

Aku menoleh ke kiri dan kanan, mencari Kanu. Namun, tidak peduli selama apa pun aku mencari, Kanu tidak terlihat. Kemana dia? Dia tidak kabur, kan?

***

"Sudah berapa lama kita berlindung di belakang barikade, Ira?"

"Sudah 6 hari, Yang Mulia Paduka Ratu."

Pengganti Ratu ini terus memegangi kening sambil melihat ke luar jendela. Mungkin yang ada di hadapan Pengganti Ratu adalah langit mendung, tapi matanya tampak memandang yang lain. Pandangan yang ditunjukkan oleh Pengganti Ratu ini sama ketika Yang Mulia Paduka Ratu memikirkan Pangeran Tera atau Tuan Putri Rina.

Awalnya, aku berpikir tidak perlu melakukan implan memori pada pengganti ini. Namun, aku mengubah pikiran dan melakukan implan ingatan. Aku tidak menanamkan seluruh ingatan Yang Mulia Paduka Ratu pada pengganti, hanya beberapa bagian. Bukan hanya itu. Aku juga menanamkan sedikit ingatan palsu pada si Pengganti ini.

Aku masih hadir, melayani dan menjaga si Pengganti Ratu. Aku harus berada di sini hingga titik hayat Pengganti Ratu, memastikan rencana Lugalgin berjalan dengan lancar.

"Kalau kondisi terus seperti ini, Ira, kira-kira butuh waktu berapa lama sampai masyarakat kelaparan?"

"Satu minggu lagi, Yang Mulia Paduka Ratu."

"Satu minggu lagi ya." Pengganti Ratu menghela napas. "Tampaknya para petinggi militer itu benar-benar menginginkan leherku. Untung aku sudah mengirim Bilad keluar dari Muir."

"Jangan khawatir, Yang Mulia Paduka Ratu. Saya akan pastikan hanya Tuan Putri Rina yang akan membunuh Yang Mulia Paduka Ratu."

Sebuah senyum lebar terkembang di wajah si Pengganti Ratu. Meski tersenyum, tidak tampak sedikit pun kebahagiaan di matanya. Yang aku lihat hanya kesedihan.

"Terima kasih, Ira. Aku tahu kamu selalu bisa diandalkan."

"Hamba hanya menjalankan tugas, Yang Mulia Paduka Ratu." Aku mengambil jam saku. "Sudah waktunya makan siang, Yang Mulia Paduka Ratu. Seperti biasa, hamba akan menyiapkan makan siang."

"Oke. Lima belas menit lagi ya, seperti biasa."

Aku membungkukkan badan sejenak dan berbalik, keluar dari ruang kerja. Dalam perjalanan ke dapur, seorang petinggi militer sudah menanti. Tentu saja, orang ini bukanlah petinggi militer Kerajaan Nina, tapi Ibla yang menyamar.

"Jadi, bagaimana persiapannya?"

"Cukup lancar. Kita cukup beruntung karena sebagian besar tentara hanyalah pemuda yang melakukan wajib militer. Mereka masih takut menentang atasan. Aku bilang rencana bisa dilaksanakan sesuai jadwal."

"Bagus."

Sesuai rencana, agen lapangan akan membuat tentara berkumpul di sisi selatan dan timur. Sebagai efek, pertahanan di sisi barat akan yang menjadi paling tipis. Ketika militer Bana'an menyerang, korban jiwa akan relatif minimal. Yah, semoga saja.

Di lain pihak, aku bersyukur mata dan penilaianku tidak salah. Tuan Lugalgin masih memiliki simpati dan kemurahan hati. Entah Tuan Lugalgin sadar atau tidak, dia telah menyelamatkan nyawa ribuan tentara muda Kerajaan Nina. Tampaknya, selama tidak berhubungan langsung dengan hidup atau kenalannya, Tuan Lugalgin masih bermurah hati.

Di lain pihak, aku yakin Tuan Lugalgin akan membalas dendam berkali-kali lipat jika terjadi hal buruk pada orang yang dikasihinya. Meski relatif mirip dengan Keluarga Silant, keluarga utama Alhold jauh lebih ekstrem ketika membalas dendam.

"Ngomong-ngomong, Ira, aku dengar dari anggota Agade dan Mercenary di bawah Jin kalau kamu meninggalkan makanan dan minuman untuk mereka. Apa benar?"

"Ya benar."

"Terima kasih ya. Berkat kamu, mereka tidak perlu pusing mencari makan ketika menjalani misi."

Sejak kota dibarikade, percobaan pembunuhan terhadap si Pengganti Ratu meningkat. Untuk mencegah rencananya gagal, Tuan Lugalgin meminta memerintahkan beberapa Anggota Agade menjaga si Pengganti Ratu. Bukan hanya itu Agade, Tuan Lugalgin juga menyewa beberapa mercenary dari kawan karibnya, Jin.

Saat ini, ada 11 orang luar berjaga, tanpa terlihat. Orang-orang yang bekerja di bawah Tuan Lugalgin sangat piawai. Tidak jarang mereka selesai meringkus penyusup sebelum aku sempat bertindak.

"Tidak usah. Aku justru berterima kasih pada mereka. Berkat mereka, rencana Tuan Lugalgin akan berjalan dengan lancar. Aku tidak bisa melindungi Yang Mulia Paduka Ratu seorang diri."

Aku tetap memanggil si Pengganti dengan Yang Mulia Paduka Ratu ketika berbicara. Aku harus memastikan tidak ada yang tahu kalau Yang Mulia Paduka Ratu di istana adalah palsu.

Ibla tersenyum. "Aku tidak yakin dengan ucapanmu."

Kami masuk ke dapur dan disambut oleh beberapa pelayan. Semua makanan sudah siap di atas kereta dorong. Setelah mengucap terima kasih, kami keluar dari dapur bersama kereta dorong, menuju ruang makan.

"Lalu, apa yang sudah kamu lakukan dengan informasi yang kuberi? Soal keberadaan peluru dan misil penghilang pengendalian di Kerajaan Nina."

"Ah, itu ya. Aku beruntung Yang Mulia Paduka Ratu Amana berhenti menyuplai peluru dan misil itu sejak menjabat, membuat jumlahnya menurun drastis. Dengan catatan kerajaan dan militer yang kamu beri, aku mendapati militer kerajaan NIna masih memiliki 357 butir peluru dan 4 misil penghilang pengendalian."

Sekilas, jumlahnya tampak banyak. Namun, jumlah itu banyak kalau digunakan pada kehidupan sehari-hari atau misi rahasia. Di tengah perang, seperti saat ini, 357 butir peluru dan 4 misil sangat sedikit.

"Aku sudah mengambil semua peluru itu dan menggantinya dengan peluru biasa. Dan, aku juga iseng menyelipkan catatan dan ukiran di kotak peluru dan misil yang menunjukkan tanggal kedaluwarsa. Tentu saja aku memastikan catatan dan ukiran itu berlapis debu dan hancur di beberapa tempat. Dengan demikian, personel yang memeriksa akan mengira catatan itu sudah ada sejak lama."

Ketika mendengar ucapan Ibla, aku setengah menahan napas. Kekuatan pasar gelap Bana'an benar-benar tidak seimbang, imba. Kalau mereka bisa mengganti peluru dan misil militer, entah hal lain apa yang mungkin mereka lakukan. Bisa saja mereka mengawasi seseorang setiap hari tanpa disadari. Memikirkan kemungkinan ini membuatku merinding.

Namun, tentu saja, aku tidak menunjukkan semua kekhawatiran itu di wajah.

***

"Katakan, siapa yang mengirimmu?"

"Aku tidak akan mengatakannya!"

"Ah, begitu? Kalau begitu selamat tinggal."

Aku memutar garpu di tangan dan menusukkannya ke leher penyusup dan menjatuhkannya. Beberapa detik pertama, tubuh penyusup bergerak-gerak tidak karuan di atas lantai. Setelah beberapa saat, akhirnya, dia tewas.

"Emir, Inanna, bagaimana di lantai 2?"

""Aman!""

Emir dan Inanna menjawab bersamaan dari lantai 2. Entah kenapa, mereka sering sekali kompak.

Sejak beberapa hari yang lalu, kami berempat pindah ke wilayah di selatan Muir. Di siang hari, sementara Lugalgin menemui Zortac di markas lapangan sementara, aku, Emir, dan Inanna akan menunggu di rumah.

Sebenarnya aku juga ingin pergi ke markas lapangan sementara. Namun, Lugalgin, Emir, dan Inanna melarang. Mereka bilang aku harus mengutamakan istirahat dan kesehatan. Kalau ada pertemuan atau kejadian penting, baru aku boleh pergi.

"Uwah, Rina, seperti biasa, cara membunuhmu adalah yang paling brutal."

"Mau bagaimana lagi, Inanna. Berbeda denganmu yang bisa mengendalikan peluru atau proyektil lain dengan mudah, aku ini inkompeten. Aku harus membunuh mereka dengan seadanya alat, kan? Dan kebetulan yang terdekat adalah garpu ini."

Wajah Inanna masam ketika melihat tubuh yang ada di lantai. Tidak lama kemudian, dia menatapku.

"4, 3, 2, 1,"

Begitu hitungan mundur Inanna habis, aku merasa leherku tidak nyaman. Semua isi perutku mendorong ke atas dari dalam. Seketika itu juga aku langsung berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perut ke kloset.

"Sial..."

Tidak lama kemudian, aku merasakan punggungku dielus perlahan. Tanpa aku minta, Inanna sudah berusaha membuatku nyaman.

"Rina, aku sudah berkali-kali mengingatkan kalau tubuhmu yang sekarang tidak sama seperti dulu. Indra penciumanmu jauh lebih peka. Sekarang, bau mayat dan anyir darah bisa membuatmu muntah. Kenapa sih kamu lebih suka menggunakan senjata langsung? Kamu berbeda dengan Lugalgin yang suka menggunakan pistol."

"Itu karena–"

Belum sempat aku menyanggah Inanna, gelombang makanan lain keluar dari mulut. Sekuat tenaga, aku berusaha mengeluarkannya. Aku tidak mau proses ini berlama-lama.

"Sudah, lebih baik kamu di kamar mandi dulu untuk sementara Emir dan agen membersihkan ruang tamu."

"Tapi–"

"Tidak ada tapi-tapian! Kamu harus menurut! Oke?"

"I, iya..."

Inanna, biasanya, adalah orang yang lembut dan tenang. Mungkin, karena image yang lembut, aku tidak terbiasa ketika dia meninggikan nada. Tubuhku selalu kaku dan ingin mundur ketika Inanna melakukan hal tersebut.

Ditemani Inanna, aku menunggu di kamar mandi selama 5 menit.

"Rina, Inanna, kalian sudah bisa keluar."

Menuruti Emir, kami Inanna dan aku keluar dari kamar mandi. Kami mendapati ruangan sudah bersih dan rapi, seolah serangan dan pembunuhan yang tadi tidak pernah terjadi. Aku masih salut pada para agen yang bekerja di bawah Lugalgin, atau Agade? Entahlah, aku tidak tahu. Orang yang bekerja di bawah Lugalgin terlalu banyak. Aku bingung.

"Rina, Emir, Inanna, aku datang untuk menjemput kalian."

Aku bergegas ke pintu dan merengkuh Lugalgin, memeluknya Erat.

"Rencana berjalan tanpa hambatan?"

"Sempat ada hambatan, tapi tidak berarti." Lugalgin mengangguk. "Ayo siap-siap. Sore ini kita akan melancarkan serangan ke Muir."

Bersambung