"Dengan ini, Anshan, Peer, dan Ursia menyatakan akan memberi dukungan penuh kepada Tuan Putri Rina."
Kami menjalankan konferensi pers, tanpa Lugalgin.
Saat ini, aku duduk di podium bersama dengan Lord Susa dan tiga orang lain. Tiga orang yang duduk bersama kami adalah putra kedua Feodal Lord Peer, putri keempat Feodal Lord Ursia, dan mayor jenderal dari Bana'an.
Putra kedua dan putri keempat, normalnya, tidak memiliki tempat dalam suksesi pemerintahan. Setelah militer Bana'an masuk, anggota keluarga Feodal Lord menyatakan penentangan sampai akhir, kecuali dua orang ini. Mereka menyatakan akan mendukung Bana'an selama Bana'an berjanji untuk tidak menyakiti rakyat.
Sejak awal, menurut aturan perang, militer memang tidak diperbolehkan menyakiti rakyat sipil. Dan, Bana'an juga tidak memiliki niatan untuk melanggar peraturan itu. Putra Kedua dan Putri Keempat tahu benar soal ini. Jadi, dengan kata lain, mereka memberi syarat kepada Bana'an hanyalah pencitraan, menunjukkan seolah ingin melindungi masyarakat.
Dengan pencitraan yang kuat, putra kedua Feodal Lord Peer, putri keempat Feodal Lord Ursia menduduki kursi pemerintahan tanpa perlawanan berarti dari masyarakat. Bangsawan wilayah sadar kalau mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dan lagi, perlawanan bisa berujung pada lepasnya status bangsawan. Jadi, bangsawan wilayah memutuskan untuk memberi dukungan.
Konferensi pers tidak dilakukan di gedung pemerintahan utama Anshan karena sudah hancur. Konferensi pers dilakukan di hotel terbesar di Anshan. Di ruang konferensi ini, ratusan media massa yang masih mau bekerja sama hadir. Bukan mau bekerja sama, lebih tepatnya tidak memiliki pilihan.
Setelah Peer dan Ursia jatuh, militer Bana'an memasuki Anshan tanpa perlawanan. Bahkan, Lord Susa menyambut militer Bana'an dengan tangan terbuka. Dalam waktu singkat, dengan koordinasi antara Lord Susa dan perwakilan Agade, militer Bana'an menempati pangkalan-pangkalan militer yang sebelumnya dihancurkan oleh Lugalgin.
Sambungan listrik dan internet Anshan, Peer, dan Ursia ke Kerajaan Nina diputus dan jalur baru ke Bana'an dibangun. Dengan transportasi dan sambungan ke Kerajaan Nina terputus, media massa di tiga wilayah tidak memiliki pilihan selain menuruti Feodal Lord yang berkuasa. Kalau tidak, sambungan listrik dan internet di kantor mereka bisa diputus.
"Saya, Mayor Jenderal Zortac, menyatakan kami, Militer Bana'an, akan memberikan perlindungan penuh kepada seluruh rakyat di wilayah Anshan, Peer, dan Ursia. Kami juga akan bekerja sama dengan Feodal Lord setempat dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang terputus dari Kerajaan Nina. Terima kasih."
Sesuai ucapan Mayor Jenderal Zortac, bukan hanya listrik dan internet yang terputus dari Nina, tapi juga kebutuhan sehari-hari, seperti bahan pokok. Dengan dibangunnya jalur logistik dari Bana'an ke setiap wilayah, masalah ini akan terselesaikan. Di lain pihak, jalur logistik ini juga lah yang menjadi kunci negosiasi antara feodal lord dengan militer Bana'an. Tanpa jalur logistik, setiap wilayah tidak akan bisa bertahan lama.
Emir dan Inanna, tentu saja, juga berada di ruangan ini. Mereka berada di ujung ruangan bersama Maru. Jujur, sebenarnya, aku sadar kalau mereka tidak memiliki tujuan atau fungsi di ruangan ini. Namun, entah kenapa, aku bisa tenang ketika melihat mereka berdua.
Deklarasiku adalah yang paling awal. Jadi, sekarang, sementara orang-orang melakukan deklarasi pernyataan, aku menambahkan beberapa balok gula ke teh dan meminumnya.
"Maaf, tapi saya tidak melihat Tuan Lugalgin Alhold, suami Tuan Putri Rina. Apakah beliau berhalangan?"
Sesi tanya jawab dimulai dengan sebuah bom, membuatku menurunkan cangkir teh. Kami sudah memperkirakan pertanyaan ini akan muncul. Jadi, jawabannya sudah dipersiapkan.
Namun, ketika membuka mulut, tidak ada satu kata pun muncul. Aku tidak mampu memberi jawaban.
Lord Susa mengambil alih, "Tuan Lugalgin Alhold saat ini sedang melakukan koordinasi mengenai keamanan tiga wilayah. Seperti yang telah kita semua ketahui, Lugalgin Alhold adalah kepala intelijen. Dia selalu berkecimpung dengan informasi dan juga perencanaan. Jadi, jika ada pertanyaan lain mengenai Tuan Lugalgin Alhold, maaf, hanya informasi itu yang bisa kami sampaikan."
Tampaknya Lord Susa menyadari kalau aku tidak mampu memberi jawaban.
Selama ini, aku terus bersikeras kalau pernikahan dengan Lugalgin hanyalah pernikahan politik. Namun, tampaknya, tanpa disadari aku sudah menggantungkan hidupku padanya. Apakan ini efek kehamilan?
Setelah pernyataan Lord Susa, tidak ada lagi yang menanyakan Lugalgin. Mereka lebih fokus mencari informasi mengenai langkah konkret para Feodal Lord dan Militer Bana'an dalam menjamin keamanan dan kebutuhan hidup masyarakat. Dan, tentu saja, semua pertanyaan dapat dijawab dengan lancar.
Setengah jam berlalu dan konferensi pers berakhir. Setelah bertukar sapa dan ramah-tamah, kami semua memisahkan diri, kembali ke kamar hotel masing-masing.
"Akhirnyaaa ... selesai ...."
Aku langsung lompat ke kasur begitu masuk kamar. Aku benci jadi sorotan ataupun pemimpin. Namun, demi membalas kematian Tera, aku harus menahan semua ini.
"Emir, mau teh?"
"Ya, Inanna, tolong."
"Rina?"
"Cokelat, es."
Tanpa mengangkat kepala dari bantal, aku menjawab Inanna. Sebenarnya, aku dan Emir juga bisa membuat minuman. Namun, rasa minuman yang dibuat Inanna jauh lebih enak dari buatan kami. Meski belum seenak buatan Lugalgin, yang jelas lebih enak dari kami.
Beberapa saat kemudian, Inanna mendorong gerobak kecil ke samping kasur. Di atasnya terdapat dua cangkir teh dan satu gelas es cokelat.
Yeay, cokelat! Dan, seperti biasa, aku menambahkan beberapa balok gula.
"Inanna, apa kamu sadar kalau Rina, akhir-akhir ini, selalu makan dan minum yang manis terus?"
"Tentu saja aku sadar. Hanya orang asing yang mengira Rina memasukkan lima balok gula ke teh dan juga ke es cokelat, yang sudah manis, sebagai hal yang normal."
"..."
Aku sama sekali tidak menyadarinya, tapi ucapan Inanna dan Emir benar. Akhir-akhir ini, tampaknya, aku selalu makan dan minum yang manis.
"Ah, Inanna, apakah mungkin stresku mulai mempengaruhi pola makan? Kalau makan dan minum yang manis terus, nanti aku bisa ...."
Aku tidak ingin mengatakannya. Sangat-sangat tidak ingin mengatakannya. Namun, adalah sebuah fakta kalau terlalu sering makan dan minum manis, seorang perempuan bisa .... tidak! Aku tidak mau memikirkannya.
"Hmm ... jujur, menurutku, kamu mulai cenderung ke yang manis-manis bukan karena stres, tapi lebih karena kehamilan."
"Kehamilanku?"
"Sederhananya, kamu ngidam yang manis."
"...."
"Tunggu dulu Inanna." Emir masuk. "Aku kira perempuan hamil cari yang asam-asam."
"Tidak juga. Sebenarnya, perempuan hamil cari asam dikira sebagai gejala ngidam hanya karena keanehan dan keunikannya. Menurut penelitian, ngidam setiap perempuan beda-beda. Ada yang asin, manis, pahit, dan asam. Namun, asin, manis, dan pahit, bisa dibilang, tidak terlihat aneh oleh orang luar, jadi jarang diperhatikan."
"Inanna, apakah ada cara untuk menekan ngidam ini?"
"Sampai sekarang tidak ada penelitian yang tahu pasti penyebab ibu hamil ngidam. Jadi, sayangnya, tidak."
Meski aku bilang ingin berhenti, tangan dan mulut ini tidak setuju. Aku tetap meminum cokelat dingin dengan tambahan gula tanpa perlawanan.
Kami tenang untuk sejenak, menikmati minuman.
Sudah 3 hari sejak Lugalgin menghilang. Setelah pencarian besar-besaran oleh militer dan pasar gelap Bana'an, bisa dipastikan Lugalgin tidak ada di 3 wilayah yang sudah jatuh atau wilayah tetangga.
Di satu sisi, aku bersyukur karena tidak ada tanda-tanda kalau Lugalgin tewas. Namun, di sisi lain, perasaanku belum tenang karena Lugalgin masih menghilang.
Aku benar-benar kagum pada Inanna dan Emir yang mampu tenang dan mendukungku saat ini. Mereka tampak mampu memercayai Lugalgin sepenuh hati. Emir dan Inanna sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran di raut wajah mereka.
Lugalgin, kalau standar istri yang baik untukmu adalah Emir dan Inanna, aku masih jauh. Aku masih belum bisa memercayaimu seperti mereka.
Sebenarnya, saat ini, ada sebuah kemungkinan yang terlintas di kepalaku. Namun, aku tidak memiliki bukti, lebih kepada dugaan. Untuk Inanna, besar kemungkinan dia sudah mencapai kesimpulan yang sama denganku. Untuk Emir, entahlah.
"Rina, Inanna, aku ingin menanyakan sesuatu, tentang menghilangnya Lugalgin."
Lugalgin dan Inanna bilang kalau insting Emir adalah yang paling kuat. Kalau menuruti ucapan mereka, kemungkinan, Emir pasti sudah memiliki dugaan yang sama denganku.
"Menurut kalian, berapa persen kemungkinan Lugalgin diculik oleh Ratu Amana?"
Aku tidak langsung menjawab, tapi melempar pandangan ke Inanna. Setelah saling menatap, kami mengangguk.
"Jujur, menurutku adalah 100 persen."
"Aku setuju dengan Rina, 100 persen."
"Begitu ya ...."
Tiba-tiba saja, aku merasakan niat membunuh dari Emir. Dan, seperti biasa, aura membunuhnya sangat pekat. Refleks, aku mundur, menjauh dari Emir. Bukan hanya aku, Inanna juga mundur. Kami berdua menjaga jarak dari Emir.
"Um, Emir, bisa tolong kamu tarik niat membunuhmu?"
"Niat membunuh apa, Rina? Sejauh yang aku tahu, aku tidak bisa memancarkan niat membunuh."
Emir menjawab dengan senyum. Namun, matanya sama sekali tidak tersenyum.
Tidak bisa memancarkan niat membunuh? Kamu pasti bercanda, kan? Apa Emir tidak sadar kalau dia sedang memancarkan niat membunuh?
Lugalgin, tolong segera kembali!
***
"Wow. Tidurku nyenyak sekali."
Setelah 3 hari 2 malam, efek serum pembangkit hilang. Setelah efeknya hilang, pagi ini, aku langsung tertidur. Dan, aku sama sekali tidak menduga bisa tertidur, selama 12 jam, dengan begitu nyenyak. Aku sudah 3 hari tidak tidur, terus menahan sakit. Jadi, aku tidak peduli walaupun berada di wilayah musuh. Namun, bukan hanya itu alasan aku bisa tidur nyenyak.
Tiga hari lalu, Ratu Amana menculikku dengan helikopter. Setelah menangkapku, dia langsung mengoleskan darah ke leherku, mematikan segala pengendalian. Jadi, selama 3 hari terakhir, aku hanya terdiam, lumpuh, dan menahan rasa sakit. Kalau orang normal yang mengalaminya, pasti mereka sudah gila.
Setelah tidur nyenyak, untuk pertama kali sejak datang ke sini, aku bisa memperhatikan sekitar. Kasur dengan atap, cahaya terang, furnitur ekstravagan. Yap, tidak salah lagi, aku pasti dibawa ke istana. Pertanyaannya adalah, kamar siapa ini? Pertanyaan itu sedikit terjawab ketika aku melihat pigura kecil di atas meja.
Jarak antara kasur dan meja adalah 10 meter, tapi aku bisa melihat fotonya dengan cukup baik. Pada pigura, terlihat seorang anak perempuan dan laki-laki. Mereka berdua memiliki rambut perak.
Aku bangkit dari kasur dan mendekati pigura. Di foto, terlihat senyum lebar terpampang di wajah dua anak ini. Mereka tersenyum lebar menatap ke arah foto. Siapa pun yang mengambil foto ini adalah sosok yang dipercaya oleh dua anak di foto. Kemungkinan, kamar ini adalah milik Rina atau Tera.
"Itu adalah foto Rina dan Tera ketika masih kecil."
Aku tidak terkejut, hanya tersenyum dan melempar pandangan ke pintu. Sosok yang menghampiriku, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ratu Amana. Aku sudah menemuinya 3 hari lalu, saat dia menculikku. Jadi, aku sudah mengetahui aura keberadaannya.
"Selamat malam Yang Mulia Paduka Ratu Amana. Rambut perakmu seindah rambut Rina."
"Ayolah, jangan panggil aku Ratu. Panggil saja aku ibu. Secara, aku kan sudah jadi mertuamu."
Ratu Amana merespons enteng. Bukan enteng, lebih tepatnya mabuk. Terlihat wajahnya memerah dan pakaiannya berantakan.
"Baiklah. Ibu, bisa tolong jaga harga diri di depan menantumu?"
"Ehehe, apa kamu tergoda dengan tubuh ibu-ibu, Lugalgin?"
Ibu Amana melompat dan memelukku erat, membenamkanku ke dadanya, membiarkan bau alkohol menusuk hidung. Tunggu dulu. Dadanya?
Refleks, tanganku bergerak dan meremas dada Ibu Amana. Kenyal, memiliki volume, dan tidak lepas. Dengan kata lain, dadanya tidak palsu.
"Ahh ...."
Desahan muncul dari Ibu Amana. Namun, aku tidak memedulikannya. Yang paling mengejutkanku, saat ini, hanya 1 hal. Kenapa Ratu Amana memiliki buah dada? Dia adalah perempuan Alhold. Bagaimana bisa perempuan Alhold memiliki buah dada?
"Lugalgin, apa kamu tidak puas dengan tiga istri? Apa kamu juga ingin melakukannya denganku?"
"Ibu, kamu sudah mabuk. Aku hanya penasaran kenapa kamu bisa memiliki buah dada padahal seorang Alhold."
Aku melepaskan diri dan mengantarkan Ibu Amana ke kasur, membiarkannya terbaring.
"Ah, ini?"
Ibu Amana menekan dadanya dari kanan dan kiri, mempertemukannya di tengah.
"...."
Aku tidak tahu harus memberi respon seperti apa. Apa Ibu Amana berniat menjadikanku suaminya seperti Permaisuri Rahayu? Semoga saja tidak. Kalau Ibu Amana dalam kondisi normal, aku bisa mengetahui apakah dia serius atau hanya main-main. Namun, karena mabuk, semua yang Ibu Amana katakan seolah main-main.
"Hahahaha. Tenang saja, Gin. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk menidurimu. Aku masih memiliki suami dan aku menyayanginya. Aku tidak seperti permaisuri lacur itu."
Wow, tampaknya informasi mengenai Permaisuri Rahayu sudah mencapai kerajaan ini.
"Dan, untuk payudara ini, tenang saja, nanti juga dada Rina akan membesar setelah hamil anak pertama."
"Eh?"
"Hehehe. Kami bukan berasal dari keluarga utama, jadi, kutukan dada rata itu tidak kami bawa sampai mati. Ya, memang ukuran kami di bawah standar, tapi tidak full rata seperti keluarga utama. Namun, memang ukurannya tidak cukup mencolok. Apalagi setelah ditutup pakaian. Ah, tapi, kalau kamu, anak perempuan kalian akan menuruni darahmu, Gin."
"..."
Di dalam tubuhku, mengalir darah keluarga utama Alhold. Semua anakku, juga akan memiliki darah Alhold. Dengan kata lain, semua anak perempuanku akan memiliki dada rata. Kalau di masa depan mereka tahu penyebab dada mereka rata adalah aku, ayahnya ... tidak. Aku tidak bisa membayangkan seberapa marahnya mereka padaku.
"Hey, Lugalgin."
"Ya?"
"Kamu tidak tampak siaga padahal sedang ada di istana kerajaan Nina. Apa kamu tidak takut aku bunuh."
"Hah? Pertanyaan konyol macam apa itu? Kalau kamu ingin membunuhku, kamu tidak akan menyelamatkanku ketika jatuh saat pengendalianku hilang."
Ya, benar. Kalau Ibu Amana ingin membunuhku, dia pasti sudah melakukannya ketika menghilangkan pengendalianku. Bukan hanya saat itu. Selama 3 hari ini, ketika aku menahan rasa sakit, Ibu Amana memiliki banyak kesempatan untuk membunuhku. Namun, dia tidak melakukannya.
Perlakuan yang aku dapat di istana justru sebaliknya. Ibu Amana berkali-kali mengecek keadaanku. Lalu, selama itu juga, ada seorang pelayan perempuan yang merawatku setiap saat. Dia terus mengusap keringat yang membasahi tubuhku dan juga mengganti pakaianku. Namun, aku tidak melihatnya ketika bangun.
Selain beberapa alasan tersebut, aku juga tidak merasakan ada aura haus darah, niat membunuh, atau bahkan pandangan benci. Baik Ibu Amana, pelayan, maupun agen marionette yang mengawasiku. Karena beberapa hal itulah aku berani tidur tadi siang. Kalaupun mereka ingin membunuhku, aku akan dibangunkan oleh insting.
Namun, yang membuat bingung adalah kenapa aku bisa mendapatkan perlakukan ini? Aku sudah menggagalkan usaha Kerajaan Nina untuk membunuh Tera. Aku juga sudah menikahi Rina yang mendeklarasikan perlawanan. Terakhir, aku juga sudah menghancurkan militer Anshan. Saat ini, Anshan pasti sudah diduduki oleh Agade. Dan, kalau Mulisu bergerak, mungkin wilayah sekitar Anshan juga sudah tunduk.
Salah satu kemungkinan adalah Ibu Amana masih menginginkanku menjadi Raja Kerajaan Nina. Kalau menjadi Raja, ada kemungkinan aku mengampuni mereka atas keramahan ini. Atau setidaknya ampunan untuk keluarga karyawan. Namun, Rina sudah mendeklarasikan perlawanan dan akan menjadi Ratu di masa depan. Jadi, seharusnya, kemungkinan aku menjadi Raja sudah kandas.
Atau jangan-jangan Ibu Amana menculikku untuk meyakinkan agar aku mengambil posisi Raja dan melawan Rina? Bisa jadi. Namun, rasanya, kemungkinan ini sangat kecil. Emir dan Inanna bersama Rina. Tidak mungkin aku mengkhianati mereka. Dan, Ibu Amana pasti mengetahui hal ini.
Ahh ... sudahlah! Aku bingung! Semua kejadian selama ini dan perlakuan yang kuterima di istana sangat tidak sesuai. Daripada bingung sendiri, lebih baik aku langsung menanyakannya.
"Ibu Amana, apa kamu bisa ...."
Aku terhenti ketika melihat ibu berambut perak ini memejamkan mata di kasur. Melihatnya yang tertidur, aku membatalkan pertanyaan. Aku pun menutup tubuh Ratu Amana dengan selimut dan berjalan keluar.
"Rina ... Tera ..."
Saat berjalan, aku sempat mendengar Ibu Amana yang memanggil nama anaknya. Ketika mengucapkan nama Rina dan Tera, suara Ibu Amana terdengar sayu. Aku penasaran apakah dia terpaksa membunuh Tera dan memisahkan diri dari Rina? Atau jangan-jangan ada orang lain yang memaksanya?
Kalau ini adalah sebuah cerita untuk anak-anak, sangat besar kemungkinan ada orang yang mengancam dan mengendalikan Ibu Amana. Namun, sayangnya, ini adalah kenyataan. Kecil sekali kemungkinan ada orang yang mengendalikan Ibu Amana dari belakang. Apalagi, mengingat dia adalah seorang Alhold.
Baru keluar dari kamar, aku sudah disapa oleh sosok familier, seorang pelayan perempuan. Pelayan berambut coklat ini lah yang merawatku selama tiga hari terakhir. Dia juga memotong semua keloid yang tumbuh di wajah dan leherku.
"Yang Mulia Paduka Ratu memerintahkan saya untuk mengantar Anda ke ruang makan. Beliau mengatakan kalau Anda pasti lapar ketika bangun."
Setelah mengatakan hal itu, si pelayan berbalik dan berjalan. Tanpa mengajukan pertanyaan, aku mengikutinya. Tidak lama, kami tiba di ruang makan besar dengan meja panjang di tengah ruangan.
Si pelayan menarik kursi di tengah, mempersilakanku duduk. Aku duduk dan melahap semua makanan yang disajikan. Meski ada kemungkinan makanan ini diberi racun, aku tidak peduli. Aku sudah terlalu lapar untuk berpikir. Mati gara-gara racun lebih baik daripada mati gara-gara kelaparan.
Tidak lama kemudian, aku selesai makan dan si pelayan merapikan piring kosong.
"Mohon Tuan Lugalgin menunggu di sini. Ada yang ingin menemui Tuan Lugalgin."
"Menemuiku? Siapa?"
Tanpa menjawab, si pelayan pergi sambil mendorong gerobak penuh piring kotor.
Ah, aku lupa menanyakan namanya. Aku ingin berterima kasih karena dia sudah merawat dan membersihkan keloidku selama 3 hari terakhir.
"Uh ... kepalaku ...."
Suara familier muncul. Ibu-ibu yang seharusnya tertidur berjalan masuk. Dia tidak duduk di sebelahku, tapi di seberang.
"Maafkan kelakuanku yang tadi, Gin. Aku mabuk."
"Jangan khawatir. Aku tidak memiliki masalah dengan mertua yang menekan dadanya di depan menantu."
"... oke. Langsung to the point saja."
Ibu Amana membawa topik inti. Tampaknya, dia benar-benar ingin melupakan kejadian tadi.
"Tapi, kepalaku ...."
"Yang Mulia, silakan."
"Ah, terima kasih Ira."
Tanpa perintah, pelayan perempuan yang merawatku datang dengan satu gelas air dan pil. Aku memperkirakan pil itu adalah obat untuk meringankan efek hangover. Di lain pihak, akhirnya aku mengetahui nama si pelayan.
"Ira, aku ingin berterima kasih karena kamu sudah merawatku selama 3 hari ini."
"Terima kasih Anda tidak diperlukan, Tuan Lugalgin. Adalah sebuah kehormatan bagi saya untuk merawat Anda."
Ira tersenyum dan merendahkan badan. Senyum yang dia beri bukanlah senyum bisnis, tapi sebuah senyum tulus.
Baiklah, aku semakin bingung dengan keadaan ini.
"Baiklah Lugalgin. Kamu pasti bingung dengan semua kejadian ini, kan? Jadi, biar aku beri penjelasan lengkapnya."
Bersambung