Chereads / I am No King / Chapter 150 - Arc 4-3 Ch 13 - Akhirnya! Pernikahan!

Chapter 150 - Arc 4-3 Ch 13 - Akhirnya! Pernikahan!

Halo, Tasha. Halo semua.

Maaf ya akhir-akhir ini aku tidak mengunjungi kalian setiap pagi. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan. Dan lagi, anak-anak panti asuhan juga sudah mengirim pesan agar aku tidak setiap hari datang ke sini. Mereka ingin agar aku lebih fokus pada Emir dan yang lain.

Menurut mereka aku cukup datang sesekali atau bahkan kalau perlu hanya setahun sekali. Meski ingin menolak ucapan mereka, tapi, aku sendiri sadar kalau datang ke sini setiap hari tidak baik untuk mental dan keluargaku. Apalagi kalau nanti sudah memiliki anak. Aku jelas tidak mungkin datang ke sini setiap hari.

Jadi, oleh karena itu, Tasha, semuanya, aku minta maaf kalau ke depannya akan jarang datang ke sini. Namun, jangan khawatir, anggota Agade akan senantiasa membersihkan tempat peristirahatan kalian secara rutin.

Alasanku datang sebenarnya kali ini adalah ingin memberi tahu kalau besok, akhirnya, aku menikah. Bukan hanya dengan satu wanita, tapi langsung tiga. Hahaha. Konyol sekali ya. Sekalian lah biar aku cerita tentang pernikahanku ini.

Menurut ibu dan tante Filial, ibu Inanna, pernikahanku sangat merepotkan. Yang menurut mereka repot bukanlah kemungkinan mata-mata atau penyusup yang ingin membunuh kami. Militer, kepolisian, intelijen, bahkan pasar gelap mengawal pernikahanku. Yang merepotkan, menurut mereka, adalah prosesi pernikahannya.

Seperti yang kalian tahu, calon istriku, ditambah Rina, berasal dari tiga kerajaan yang berbeda. Dan, tentu saja, ketiga kerajaan memiliki tradisi pernikahan yang berbeda. Kalau pernikahannya tidak bersamaan, tidak akan repot. Namun, sayangnya, hal ini tidak mungkin dilakukan karena Bana'an, Nina, dan Mariander sedang di tengah perang.

Banyak pernikahan akan berujung pada banyak perayaan. Menurut kami, hal ini bisa mengundang kecemburuan sosial dari tentara dan orang di perbatasan. Kalau salah langkah, kecemburuan sosial ini bisa menjadi bibit pemberontakan.

Sempat ada ide, dari ayah, untuk melangsungkan tradisi pernikahan Kerajaan Kish. Namun, ide itu ditolak mentah-mentah oleh ibu dan tante Filial. Kalau aku adalah orang normal, mungkin tidak masalah. Namun, karena aku menikahi dua mantan tuan putri dan satu calon ratu, penggunaan tradisi pernikahan Kerajaan Kish sama saja seperti aku mendeklarasikan kebangkitan Kerajaan Kish.

Karena semua masalah ini, akhirnya, ibu dan tante Filial memilih untuk membuat prosesi pernikahan baru. Aku sendiri tidak tahu bagaimana prosesi pernikahannya nanti.

Di lain pihak, baik Emir dan Inanna tidak terlalu peduli dengan prosesi pernikahan apa yang akan dianut selama mereka bisa tampil menawan dengan gaun pernikahan. Untuk Rina? Dia lebih tidak peduli. Selama Kerajaan Bana'an mengakui Rina sebagai istriku, dia bahkan tidak masalah kalau pun tidak ada prosesi pernikahan.

Namun, di sini yang menarik. Tasha, apa kamu tahu kalau tiga kerajaan ini memiliki satu tradisi yang sama? Kesamaan itu adalah mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah sehari sebelum pernikahan. Jadi, sejak pagi ini, aku tidak bersama Emir dan yang lain. Mereka bertiga menginap di hotel sedangkan aku di rumah, sendirian.

Menurut ibu dan tante Filial, mempelai laki-laki dan wanita harus diberi waktu sendiri untuk memikirkan tentang pernikahan. Dan, karena dipisah, hari ini adalah momen terakhir bagi keluarga, mantan, teman, selingkuhan, atau siapa pun untuk meyakinkan mempelai agar membatalkan pernikahan.

Seharian tadi, tentu saja, banyak orang yang berkunjung. Namun, tidak ada satu pun yang membujuk untuk aku membatalkan pernikahan. Mereka semua datang untuk mengucapkan selamat dan meninggalkan kado. Bahkan, saking banyaknya kado, kamar Emir, Inanna, dan Rina menjadi gudang kado.

Yang paling banyak memberi kado adalah Militer dan Kepolisian. Rahayu ... ah iya, sekalian. Saat ini, Mulisu, atau yang kalian kenal dengan Melinda, telah berganti identitas lagi. Kini, dia menjadi Kepala Kerajaan Bana'an, Permaisuri Rahayu.

Setelah menjadi Permaisuri Rahayu, Mulisu menyatakan dukungan terhadap pernikahanku. Berkat pernyataan ini, kemungkinan perang sipil antara kepolisian dan militer pun terhindarkan. Jadi, kedua pihak ini adalah yang paling bahagia. Bahkan, kurasa, mereka lebih bahagia dari mempelai.

Banyak juga teman SMA ku yang datang. Beberapa dosen dari kampus mereka ikut datang dengan embel-embel "saya dosen si A". Bahkan, ada beberapa kampus meliburkan kuliah besok untuk menyaksikan siaran langsung pernikahanku.

Jujur, hingga saat ini, aku masih terkejut karena pernikahanku akan disiarkan ke seluruh Kerajaan. Ah, tidak. Koreksi. Ada negara dan kerajaan lain yang juga menyiarkan pernikahanku. Keluaran Panti Asuhan Sargon pun mengatakan akan menonton pernikahanku di televisi. Aku penasaran berapa banyak uang yang ibu dapat dari hak siar pernikahanu.

Hah ... aku benci jadi pusat perhatian.

Oke, kembali lagi ke tradisi. Setidaknya, berkat tradisi memisahkan diri dari mempelai sehari sebelum pernikahan, aku bisa datang ke sini, malam ini, untuk memberi update dan kabar pada kalian.

Sebenarnya, aku ingin lebih lama di sini. Namun, tampaknya, aku tidak mungkin melakukannya. Sudah ada orang lain mengantre.

Aku pulang dulu ya, Tasha, Hanna, Fira, Morgiana, Aaron, Jica, Luci, Roko, dan Oni.

***

"Akhirnya Lugalgin pergi juga."

Emir lega setelah Lugalgin pergi meninggalkan makam. Meskipun hanya tradisi, kami berusaha sebaik mungkin menaatinya dengan tidak menemui Lugalgin. Namun, ketika tadi di kamar hotel, tiba-tiba saja sebuah pemikiran lewat di benakku. Dan, ternyata, Emir juga memiliki ide yang sama.

Kami harus mengunjungi makam Tasha, Mari, dan anak panti asuhan Sargon.

"Jadi, ini adalah makam orang-orang yang telah membentuk Lugalgin?"

Aku mengangguk. "Ya, benar."

Aku dan Emir jongkok di atas tanah, di depan makam Tasha. Rina akhirnya ikut jongkok setelah melihat kami berdua.

Lugalgin bilang, selain Tasha, ada 8 orang lain yang dimakamkan di sini. Namun, dari 8 orang itu, aku dan Emir hanya mengenal Mari. Kami tidak kenal atau bahkan tahu nama yang lain.

"Baiklah, biar aku duluan ya."

Aku mempersilakan.

"Selamat malam, Tasha, Mari, dan juga yang lain. Maaf aku tidak tahu nama kalian. Malam ini, aku datang sebagai calon istri pertama Lugalgin bermaksud meminta restu dari kalian. Aku harap kalian menerimaku di kehidupan Lugalgin. Lalu, Tasha, meski statusku besok adalah istri pertama, bagi Lugalgin, kamu tetap adalah cinta pertamanya. Karena itulah, sudah sewajarnya untuk kami datang dan meminta restu darimu."

Aku tersenyum mendengar ucapan Emir. Setelah Emir selesai, kini, adalah giliranku.

"Tasha, Mari, dan yang lain, aku adalah Inanna. Meski statusku adalah istri kedua, kedudukan kami adalah sama di mata Lugalgin. Namun, meski demikian, kami sadar kalau kami tidak akan pernah bisa menggantikan posisi kalian di hati Lugalgin. Dan, kami sama sekali tidak memiliki niat untuk menggusur kalian dari hati Lugalgin. Kami berharap kalian bersedia memberi restu pada pernikahan kami. Dan, setelah ini, aku juga ingin mendengarkan cerita tentang kalian dari Lugalgin dan, mungkin, keluaran panti asuhan Sargon. Aku juga ingin meletakkan kalian dalam hatiku."

Aku dan Emir mempertemukan tangan di depan dada dan berdoa, berharap ucapan dan permintaan kami mampu mencapai mereka di atas sana.

"Ah, anu, Tasha, dan ... yang lainnya. Perkenalkan namaku Rina."

Aku langsung membuka mata dan menoleh ke kiri, terkejut dengan Rina yang membuka ucapan. Seharusnya dia tidak memiliki rasa berhutang pada Tasha karena belum mendengar kisahnya langsung dari Lugalgin.

"Sebelumnya, aku minta maaf karena menikahi Lugalgin untuk mendapat bantuan dan perlindungan. Namun, setidaknya, aku bisa berjanji kalau aku tidak akan mengkhianati Lugalgin."

***

Hari yang dinanti telah tiba. Kini, aku berdiri di depan rumah, menanti kendaraan yang menjemput.

Aku tidak tahu sejak kapan, tapi membawa peti arsenal sudah menjadi kebiasaan. Hari ini, tanpa peti arsenal, punggungku terasa kosong, kesepian. Meski keamanan sudah terjamin karena elemen berpengaruh kerajaan melindungiku, tetap saja ada rasa waswas.

Dulu, sebelum keterlibatanku di pasar gelap menjadi konsumsi publik, aku sering merasa waswas karena tidak membawa peti arsenal. Beberapa bulan yang lalu, ketika mulai membawa peti arsenal walaupun siang bolong, aku mulai tenang.

Akhirnya, sebuah mobil sedan panjang datang. Mobil ini anti peluru dan kedap, membuatku tidak bisa merasakan hawa keberadaan siapa pun yang ada di dalam. Mobil ini adalah barang langka. Bahkan, pemerintahan kerajaan Bana'an tidak memiliki mobil sekedap ini.

Normalnya, aku akan siaga. Bisa saja kan ada pihak lain datang dan berusaha membunuhku? Namun, aku tahu benar siapa yang mengirim mobil ini. Sejauh yang aku tahu, hanya ada 3 unit mobil ini di Bana'an. Dan, semuanya, dimiliki oleh Akadia.

Pintu mobil terbuka, memperlihatkan sosok yang familier.

"Masuk, Gin."

"..."

Aku terdiam ketika mendengar suara sosok berpakaian rapi di balik pintu, Arde.

"Jangan bengong! Ayo masuk!"

"Ah, iya ..."

Aku menurut dan masuk ke mobil.

Arde memang menjadi anggota Akadia. Jadi, seharusnya, ini adalah hal yang wajar. Namun, meski demikian, seharusnya ibu memberi tahuku. Kemarin, seharian, Arde tidak datang ke rumah. Aku pikir dia tidak merestui pernikahanku.

"Kenapa kamu diam saja? Kaku banget. Gugup?"

"Ah, um, sebenarnya..." Aku mengalihkan pandangan. Tidak berani memandang mata Arde.

"... Illuvia dan Maila?"

Aku mengangguk.

"..."

Arde tidak langsung merespons. Dia juga mengalihkan pandangan ke jendela. Namun, tidak butuh waktu lama untuk Arde menghilangkan kesunyian ini.

"Jujur, aku sangat sedih ketika mendengar informasi kalau Illuvia dan tante Hervia tewas pada pertarungan malam itu. Dan, aku juga sedih ketika mendengar kondisi Maila. Aku sempat berpikir untuk mengunjungi dan meminta penjelasan pada Maila setelah kondisinya normal. Namun, ternyata, Malia sudah dibawa oleh keluarganya, meninggalkan Bana'an untuk selamanya."

"Mungkin ini terdengar tidak sensitif dan tidak tahu diri, mengingat aku yang membuat mereka berdua mengalami semua itu, tapi kenapa kamu tidak mendatangiku kemarin?"

"Karena kamu bukanlah Lugalgin yang aku kenal."

Jujur, aku ingin kaget dan tertegun. Namun, aku tidak memiliki hak. Ucapan Arde adalah benar. Sosok Lugalgin yang kutunjukkan di masa SMA adalah Lugalgin yang lain, bukan Lugalgin yang terjun di pasar gelap.

"Gin, apa kamu keberatan kalau kamu menceritakan siapa dirimu yang sebenarnya? Dan, apa yang membuat Illuvia dan Maila harus berhadapan denganmu?"

"Jujur, kalau meminta cerita lengkap, akan butuh waktu lama. Bisa seharian atau bahkan lebih lama. Namun, kalau mau diringkas, seringkas-ringkasnya ... "

Aku terhenti sejenak. Tidak. Aku tidak khawatir Arde akan membocorkan informasi ini. Dia adalah teman baikku selama SMA. Dan, aku percaya dia bisa menjaga rahasia. Ditambah lagi dia bekerja di Akadia, yang adalah milik ibu. Yang aku khawatirkan adalah si sopir.

"Jangan khawatir. Sopir mobil ini adalah Pak Marlien. Dan mobil ini tidak memiliki alat perekam sama sekali. Rahasiamu aman."

Karena mobil ini begitu rapat, aku tidak bisa merasakan hawa keberadaan sopir yang dipisahkan oleh pembatas. Jadi, aku baru tahu kalau sopirnya adalah Marlien. Kalau Marlien mah dia sudah tahu seluk beluk masalah pasar gelap dan identitasku. Jadi, kurasa, tidak masalah menceritakannya ke Arde sekarang.

"Oke, aku berikan cerita singkatnya. Aku adalah Sarru, pendiri Agade. Untuk memenuhi janji, aku berusaha menghilangkan perdagangan anak di Bana'an. Maila dan tante Hervia sebagai pendukung perdagangan anak melawan. Mereka menganggap ideku akan membuat kestabilan kerajaan terganggu. Diskusi gagal. Tante Hervia lebih memilih mati daripada menurut. Maila mengonfrontasi Inanna tapi kalah. Efeknya dia terluka parah. Untuk Illuvia, dia tidak terima aku menjadikan Emir dan Inanna calon istri. Illuvia hampir membunuh Emir, aku pun terpaksa membunuhnya."

"..."

Arde terdiam, pandangan kosong.

Apakah ceritaku terlalu padat? Atau sulit dicerna? Atau mungkin dia tidak memercayainya? Ya, tidak kaget sih. Maksudku, sebuah kisah selama berbulan-bulan, tersusun atas puluhan atau bahkan ratusan event, diringkas menjadi beberapa kalimat. Tentu saja dia pusing. Sebenarnya, aku ingin meringkasnya menjadi kurang dari 20 kata. Namun, tampaknya tidak mungkin. Atau mungkin?

Arde kembali. "Lalu, apakah Lugalgin yang menjadi temanku adalah orang lain?"

"Tidak. Lugalgin yang menjadi temanmu adalah aku, Lugalgin Alhold. Namun, Lugalgin yang kamu kenal bukanlah seluruh Lugalgin, hanya sebagian. Percayalah. Aku tidak pernah berbohong ... padamu."

Aku sebenarnya hanya ingin bilang "tidak pernah berbohong". Namun, aku sering berbohong kalau keadaan memaksa. Oleh karena itu aku menambah "padamu". Arde adalah orang pertama yang tidak pernah menerima kebohonganku. Aku masih beberapa kali berbohong pada Illuvia dan Malia. Emir dan Inanna pun masih menerima kebohonganku di awal pertemuan. Namun, aku tidak pernah berbohong pada Arde. Aku hanya tidak mengatakan seluruh kejadian.

"Apa kamu marah padaku?"

Arde menggeleng, "Aku tidak punya hak untuk marah. Ada sebagian dari diriku yang tidak kamu ketahui. Jadi, menurutku, kita impas."

Sebenarnya, aku mengetahui semua hal tentangmu, Arde. Namun, aku tidak akan merusak suasana dan mengatakannya. Dan, ini bukanlah kebohongan. Kalau aku tidak mengatakan apapun, aku tidak berbohong.

"Gin, aku bergabung dengan Akadia karena ayah menceritakan bagaimana Akadia mampu menjadi Enam Pilar tanpa memperdagangkan anak. Aku mengagumi Akadia karena hal ini. Kalau tante Hervia dan Maila menentangnya, tanpa kamu, mungkin aku lah yang akan berhadapan dengan mereka. Dan, untuk Illuvia, aku hanya bisa bilang cinta membutakan logika."

Sesuai ucapan Arde cepat atau lambat, tanpa Agade, Akadia lah yang akan berhadapan dengan Orion. Namun, berkat kehadiranku dan Agade, Akadia tidak pernah berhadapan dengan Orion. Akadia hanya berhadapan dengan Quetzal. Jadi, aku menghindarkan Arde dari skenario dirinya melawan tante Hervia dan Maila.

"Suatu saat nanti, kalau semua konflik ini sudah selesai, apakah kamu mau berbagi cerita hidupmu?"

"Tentu saja. Pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu."

Arde tersenyum ringan. "Terima kasih, Gin."

Mobil berhenti. Aku membuka pintu dan turun dari mobil. Kami tidak berhenti di depan, tapi di belakang gedung.

"Ayo kak, cepat!"

"Ayo Kak Lugalgin!"

Ninlil dan Ninshubur sudah menunggu. Mereka berdua langsung menarik kedua tanganku, meninggalkan mobil.

"Selamat atas pernikahanmu, Gin."

"Terima kasih, De."

Tidak banyak yang tahu, tapi, ucapan selamat dari Arde sangatlah berarti bagiku. Dia bukanlah anggota Agade yang merasa berhutang padaku. Arde juga bukan orang yang memiliki kepentingan. Dia juga tidak seperti teman SMA lain yang tidak mengetahui keterlibatanku di pasar gelap. Bahkan, Arde sudah melihat sosokku sebagai anak SMA. Sosok yang tidak pernah disaksikan oleh Emir, Inanna, atau Rina.

Ke depannya, seiring Arde aktif di Akadia, dia akan sering berhubungan denganku. Aku tidak akan memungkiri kalau orang mengatakan Arde akan menjadi teman terbaik yang paling mengenalku. Ya, aku tidak akan memungkirinya.

***

Oke. Proses pernikahan macam apa ini? Aku tidak pernah melihat atau mendengar prosesi seperti ini!

Aku berteriak dan mengeluh di dalam hati ketika membaca buku panduan pernikahan yang dibuat oleh ibu dan tante Filial. Tampaknya ibu dan Tante Filial benar-benar membuat tradisi baru.

Awalnya, aku hanya membaca bagian yang diberi bookmark. Setelah selesai, aku membaca bagian lain buku. Ternyata, buku ini juga memiliki panduan pernikahan normal untuk jumlah istri 1 orang. Di bagian cover dan belakang buku ini, terdapat tulisan dan logo You Wedding, salah satu EO pernikahan milik ibu, tempat Tante Filial bekerja.

Tampaknya, setelah pernikahanku, ibu dan Tante Filial berencana mengomersialkan prosesi pernikahan ini. Bagi orang-orang yang ingin menjalani pernikahan berbeda dari tradisi Bana'an, anti mainstream, prosesi ini akan menjadi pilihan utama.

Pernikahanku yang disiarkan ke seluruh Kerajaan Bana'an dan luar kerajaan juga merupakan publikasi dan marketing yang maksimal. Aku bisa membayangkan, setelah pernikahanku, banyak pasangan meminta prosesi pernikahan ini.

Lalu, hal kedua yang aku keluhkan, baju pernikahannya. Baju dengan warna dasar hitam dengan garis putih ini penuh dengan ornamen. Tidak berhenti di situ, aku juga mengenakan jubah putih panjang yang dikaitkan ke bahu. Jujur, aku bingung apakah penampilanku seperti bangsawan atau pahlawan super komik?

"Kak, ayo!"

"Ayo Kak Lugalgin!"

Ninlil dan Ninshubur masuk ke kamar ganti untuk menjemputku. Aku bangkit dan mengikuti mereka. Kami berjalan menyusuri lorong berkarpet merah. Seperti hotel elite pada umumnya, pencahayaannya memberi kesan hangat, warm white. Dinding putih pun berubah warna menjadi kecokelatan.

Tidak lama kemudian, aku tiba di depan pintu besar. Ninlil dan Ninshubur pergi menyusuri lorong, masuk dari pintu lain.

Di depan pintu ini, di kanan kiriku, terlihat dua meja dengan buku tamu. Di belakang meja, berdiri sosok yang aku kenal, Ufia dan Nammu. Mereka bersama kakak dan adiknya. Tentu saja, hanya Ufia yang ditemani oleh kakak adiknya. Nammu hanya ditemani oleh seorang adik.

Yang dirias bukan hanya pengantin, semua pihak yang terlibat juga ikut dirias, tidak terkecuali Ufia dan Nammu. Mereka mengenakan pakaian ketat bermotif bunga diselimuti rompi panjang dengan kerah lapel. Sungguh menawan. Di lain pihak, laki-laki hanya mengenakan jas dengan jubah pendek di bahu kiri.

"Kalian benar-benar menawan, Nammu, Ufia."

"Terima kasih, Gin."

"Jangan sampai Emir mendengarnya, ya. Aku tidak mau menjadi sasaran selanjutnya."

Sementara Nammu menerima pujianku dengan tulus, Ufia justru membalas dengan nada dingin. Bukan nada dingin, lebih tepatnya, merinding. Dia pasti khawatir akan bernasib seperti Rahayu. Hal ini wajar karena dia melihat langsung keganasan Emir berapa hari yang lalu.

Ngomong-ngomong soal Rahayu, aku harus bilang staminanya cukup besar. Rahayu mampu bertahan hingga 3 jam padahal dia dipaksa melayani beberapa orang sekaligus tanpa istirahat. Aku tidak bisa membayangkan kalau dia melakukan hubungan normal bisa bertahan berapa lama.

Kalau rahayu kuat selama 3 jam tanpa istirahat dan melakukannya dengan banyak orang, aku jadi penasaran pada hal lain. Kira-kira berapa lama Emir bisa bertahan kalau melakukan hubungan normal denganku? Selama ini, aku selalu berhenti ketika Emir sudah terlihat lelah, lega, atau tertidur. Ya, selama ini, aku lah yang menentukan kapan waktunya berhenti. Emir tidak pernah meminta berhenti.

Dan, karena melakukannya, hampir selalu, bersamaan, Inanna pun tidak pernah meminta berhenti. Mungkin jiwa kompetitifnya bangkit di atas ranjang.

Pintu terbuka, memperdengarkan alunan musik orkestra lembut.

"Mempelai Pria silakan masuk."

Sebuah suara kencang terdengar dari dalam ruangan.

Aku masuk. Sesuai prosedur pernikahan di buku, aku berjalan perlahan, di antara kerumunan orang. Di kanan kiri terlihat sebuah pembatas, memisahkan jalan dengan kursi tamu. Di ujung, di samping kanan tamu, terdapat panggung tempat para pemain musik.

Ratusan tamu mengarahkan pandangan mereka, melihatku yang berjalan perlahan dengan elegan. Jujur, situasi ini mengingatkanku pada inaugurasi setelah memenangkan battle royale. Saat itu, aku juga memasuki aula besar dengan banyak orang di kanan kiri.

Tidak lama, aku tiba di ujung ruangan. Di bagian depan, tidak lagi terlihat tamu di kanan dan kiri. Lantai di ujung ruangan lebih tinggi dari lantai aula, seperti panggung. Namun, tidak terlalu tinggi, hanya satu anak tangga.

Terlihat empat buah kursi merah dengan ornamen kuning keemasan. Susunan kursi adalah 1 menghadap ke tamu dan 3 kursi membelakangi. Di sisi kanan terlihat satu orang laki-laki tua mengenakan pakaian serba putih, penghulu, berdiri dan memegang sebuah map berwarna merah.

Tiga kursi yang membelakangi tamu tidak memiliki punggung yang tinggi. Mungkin, kalau Emir dan yang lain duduk, hanya setengah punggung yang tertutup. Namun, lain ceritanya dengan kursi paling ujung, yang akan aku duduki. Kursi ini memiliki sandaran punggung yang tinggi. Kalau warnanya hitam dan tanpa ornamen, mungkin aku akan pada teringat kursi kantor. Namun, karena warnanya merah dengan ornamen emas, satu-satunya kesan yang kudapat adalah kursi raja, singgasana.

Seketika itu juga, bulu kudukku merinding. Aku sudah membersihkan keluarga kerajaan Bana'an, membuat Bana'an berperang dengan Mariander, dan menerima pernikahan dengan Rina. Semua itu kulakukan untuk menghindari posisi raja! Namun, kini, aku harus duduk di kursi yang mirip dengan singgasana?

Di saat ini, sebuah bayangan dimana aku menjadi raja dan menyatukan 3 kerajaan muncul. Kalau hal ini terjadi, berarti aku menjalankan rencana Ratu Amana. Apakah aku akan duduk di kuri sini? Tidak! Aku tidak mau! Tasha, tolong aku. Aku–

"Mempelai pria dipersilakan duduk."

Ah! Untung saja!

Suara penghulu, yang dikeraskan dengan microphone tempel, menggaung ke seluruh ruangan, membangunkanku dari ketakutan tanpa alasan. Kata ayah, saat pernikahan berlangsung, sebuah ketakutan tidak logis pasti akan muncul, memberi alasan untuk tidak melanjutkan pernikahan. Kenapa Muncul? Ayah bilang tidak penting kenapa. Yang menjadi pertanyaan adalah hal lain. Apakah kasih sayang dan cinta yang dimiliki mempelai cukup besar untuk menghadapi ketakutan itu dan melanjutkan pernikahan?

Ayah bilang, kalau ketakutan itu muncul, aku perlu mencari 1001 alasan kenapa pernikahan ini adalah penting dan harus dilanjutkan. Alasan yang digunakan bisa penting seperti hubunganku dengan Emir, Inanna, dan Rina. Lalu bisa juga menggunakan alasan logika berupa politik dan sosial. Bahkan, alasan tidak penting seperti tidak mau hidup sendiri juga tidak masalah. Alasan apapun boleh selama itu bisa membuatku tetap melangsungkan pernikahan.

Namun, aku tidak membutuhkan alasan apa pun untuk menghilangkan keraguan dan ketakutan itu. Yang aku butuhkan hanyalah suara penghulu, tidak lebih. Dengan kata lain, aku berani bilang, keputusanku untuk menikah sudah amat sangat kuat.

Aku tersenyum simpul dan berjalan, melewati tiga kursi. Dengan sebuah senyum penuh percaya diri, aku duduk, memandang tamu yang hadir.

Pintu yang sebelumnya tertutup, setelah aku masuk, terbuka dan memperlihatkan tiga sosok.

"Mempelai Wanita silakan masuk."

Tiga sosok wanita, para calon istriku, berjalan.

Di saat ini, waktu serasa berjalan begitu lambat. Aku sadar kalau mereka bertiga memang cantik. Namun, hari ini, aku merasa mereka menjadi amat sangat cantik dan menawan. Pandanganku tidak bisa lepas dari mereka bertiga. Gaun yang dikenakan berbeda, tapi ada satu hal yang sama, sebuah jubah dan tudung putih tembus pandang menyelimuti tubuh.

Emir mengenakan gaun putih yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajahnya dan tangan. Roknya tidak mekar seperti gaun pernikahan bangsawan pada umumnya, tapi lemas seperti gaun pesta malam. Pada gaun putihnya, terlihat ornamen bunga merah membara, senada dengan rambut dan senyum di bibir. Pada bagian kepala, rambut merah yang diikat dan dipasangi klip pada sisi kanan terlihat menonjol dari balik jubah tembus pandang.

Inanna mengenakan gaun dengan warna dasar yang sama, putih. Namun, model dan ornamennya berbeda dari Emir. Ornamen pada gaun Inanna adalah motif fraktal kotak hijau muda, senada dengan matanya yang bercahaya. Gaun Inanna berhenti di atas dada dan kembali muncul di leher. Kedua lengan putihnya tidak tertutup oleh kain, hanya sarung tangan putih dengan ornamen di telapak. Dia membiarkan rambut hitam berkilaunya terburai, jatuh, di balik tudung dan jubah putih tembus pandang.

Rina mengenakan gaun yang bisa dibilang paling kasual dibanding Inanna dan Emir. Namun, dia tidak kalah menawan dan cantik. Sebuah gaun panjang dari leher hingga kaki, tanpa lengan, dengan belahan di samping paha memberikan kesan elegan. Kesan elegan Rina semakin kuat dengan sarung tangan panjang, menutup hingga siku. Motif garis melengkung biru langit memberi kesan mengalir, menenangkan. Tudung putih di kepala Rina seolah menjadi satu dengan rambutnya, seolah menjadi perpanjangan, bagaikan dewi yang turun dari langit.

Mereka bertiga berjalan dengan perlahan diiringi orkestra lembut, melewati karpet putih, memikat semua mata yang memandang, terutama aku. Aku bingung harus memandang ke siapa. Baik Emir, Inanna, maupun Rina benar-benar menawan. Mereka bertiga adalah tokoh utama untuk hari ini. Kalau seandainya ketakutan tanpa alasanku masih ada, pasti saat ini sudah hilang, tertutup oleh kekaguman pada ketiga calon istriku ini.

"Mempelai wanita dipersilakan duduk."

Posisi duduk adalah Emir di depanku, Inanna di kiri, dan Rina di kanan.

Musik berhenti.

"Pada hari ini, kita hadir untuk menyaksikan upacara sakral, upacara pemersatu insan-insan yang terikat oleh takdir. Bersama-sama, mari kita saksikan dan dengarkan pertukaran kesetiaan para mempelai. Mempelai wanita pertama dipersilakan."

Emir berdiri. Wajahnya tidak terlihat tegang. Justru sebaliknya, sebuah senyum lebar terpampang, memberi kesan lega dan bahagia.

Emir menarik nafas dan berteriak lantang, "Namaku Emir Falch Exesias dengan ini menerima Lugalgin Alhold sebagai suamiku. Dengan pernyataan ini saya resmi menjadi istri pertama Lugalgin Alhold."

"Saya, Lugalgin Alhold, dengan ini menyatakan bersedia menjadi suami dari Emir Falch Exesias, menerimanya sebagai istri pertama."

Normalnya, kedua mempelai, baik aku maupun Emir, akan menyebutkan nama orang tua juga. Namun, karena pernikahan ini bisa dibilang tidak normal, ibu dan tante filial memutuskan untuk tidak menyebutkan nama orang tua. Cukup sebutkan nama lengkap diri sendiri.

"Dengan ini, Lugalgin Alhold dan Emir Falch Exesias telah resmi menjadi suami istri. Kedua mempelai dipersilakan untuk melakukan ikatan pernikahan."

Tidak! Ikatan pernikahan tidak ditunjukkan dengan ciuman seperti di film-film timur! Di benua ini, kami memiliki cara lain untuk menunjukkan ikatan pernikahan.

Emir melangkah dan berdiri di depanku. Aku pun berdiri dari kursi, menghadapi Emir dengan senyuman. Aku meletakkan kedua tangan di bawah wajah Emir. Kami berdua sedikit menundukkan kepala dan perlahan mempertemukan kening dan ujung hidung. Emir dan aku pun memejamkan mata.

"Terima kasih Lugalgin. Ini adalah momen paling bahagia yang pernah kurasakan dalam hidupku."

"Aku juga."

Kami tidak mengatakan hal itu dengan lantang, tapi berbisik.

Bukan hanya Emir, aku juga merasa momen ini adalah momen paling bahagia dalam hidupku. Melalui beberapa kalimat ini, kami menghilangkan kata "calon" dan resmi menjadi suami istri.

Emir, kita bertemu setahun yang lalu. Disebabkan oleh kesalahpahaman yang membuatmu mengompol, hubungan kita berubah menjadi putri dan kesatria, lalu menjadi calon suami istri. Kamu rela meninggalkan status keluarga kerajaan demi bersamaku yang membenci status bangsawan. Dan, berkat kamu lah aku bisa bertemu dengan Inanna dan Rina.

Ketika hidupku terombang-ambing tanpa arah, hanya memikirkan untuk mencari anak-anak panti asuhan Sargon, untuk memenuhi janji dengan Tasha, kamu datang, meyakinkan kalau kebahagiaanku juga penting. Terima kasih Emir.

Melalui kontak di kening dan hidung ini juga aku merasakan semua emosi Emir mengalir ke tubuhku. Nafas yang begitu tenang dan lembut menunjukkan bagaimana leganya perasaan Emir setelah melalui berbagai macam rintangan. Mulai dari penolakan ibu tahun lalu hingga usaha Rahayu yang mengerahkan kepolisian. Ya. Semuanya mengalir ke dalam diriku.

Setelah menyampaikan perasaan, kami pun memisahkan diri. Emir adalah pihak pertama yang memisahkan diri. Matanya tampak begitu bahagia, tapi, tampaknya, dia tidak lupa bahwa kebahagiaan ini bukanlah miliknya semata. Kebahagiaan ini juga milik Inanna dan Rina.

Kami pun mundur dan kembali duduk.

"Mempelai wanita kedua dipersilakan."

Kali ini giliran Inanna yang berdiri dan memberi pernyataan. Sama seperti Emir, sebuah senyum lebar melekat di wajahnya. Bahkan, Inanna menitikkan air mata.

Inanna berteriak lantang, "Namaku Inanna Arc Spicante dengan ini menerima Lugalgin Alhold sebagai suamiku. Dengan pernyataan ini saya resmi menjadi istri kedua Lugalgin Alhold."

Aku benar-benar terkejut dengan Inanna yang berteriak lantang. Suaranya tidak terdengar sendu walaupun dia menitikkan air mata. Bahkan, aku mendapat kesan lebih tegas pada suara Inanna jika dibandingkan dengan Emir.

"Saya, Lugalgin Alhold, dengan ini menyatakan bersedia menjadi suami dari Inanna Arc Spicante, menerimanya sebagai istri kedua."

"Dengan ini, Lugalgin Alhold dan Inanna Arc Spicante telah resmi menjadi suami istri. Kedua mempelai dipersilakan untuk melakukan ikatan pernikahan."

Penghulu merespons ucapan tulus kami dengan pernyataan resmi sebagai suami istri dan mempersilakan untuk melakukan ikatan pernikahan.

Aku berdiri dan berjalan ke kiri, ke depan Inanna. Aku meletakkan kedua tangan di bawah wajah Inanna. Kami memejamkan mata dan mempertemukan kening dan ujung hidung, membiarkan perasaan dan emosi kami mengalir. Di saat itu, kami pun berbisik.

"Terima kasih Lugalgin. Kamu tidak hanya menyelamatkan ibu dan Ninshubur. Kamu juga telah menghancurkan rantai yang membelengguku dari kerajaan Mariander. Tidak hanya itu, kamu pun memberi banyak pengalaman hidup baru dan indah. Aku menyayangimu, Gin."

"Aku juga menyayangimu, Inanna."

Inanna, awalnya kita bertemu sebagai musuh. Bahkan, kamu hampir membunuhku dan Emir di jalan tol itu. Namun, berkat kamu yang memercayai bualanku, kami berdua mampu bertahan hidup. Dua bulan setelahnya, kami bertemu lagi denganmu, tidak sebagai musuh, tapi sebagai sekutu.

Kamu memercayai ucapanku mengenai penghilang pengendalian. Kamu juga memercayaiku ketika ibu dan adikmu disandera. Sejak awal hingga akhir, kamu meletakkan kepercayaanmu padaku dengan sepenuh hati.

Di saat ini juga aku bisa merasakan semua perasaan Inanna. Nafasnya agak pendek dan terdengar suara isak yang lirih. Jika Emir menganggap momen ini sebagai momen paling indah dan lega, aku merasakan hal lain dari Inanna. Yang aku rasakan dari kontak ini adalah Inanna menganggap pernikahan ini sebagai sebuah pencapaian, sesuatu yang sebelumnya mustahil dicapai, menikahi pria yang dia sayangi.

Semua ingatan dan kilas balik sejak awal pertemuan dengan Inanna muncul di benakku. Dan, mungkin karena ketularan mood Inanna, aku juga menitikkan air mata.

Tidak lama kemudian, kami melepaskan kontak. Sama seperti Emir, Inanna adalah pihak yang lebih dahulu mengakhiri ikatan pernikahan.

"Terima kasih, Gin."

"Kembali kasih, Inanna."

Aku menyeka air mata Inanna dengan jari dan membiarkannya kembali ke kursi. Tentu saja, tidak lupa, aku juga mengusap air mataku.

Setelah memastikan aku dan Inanna telah duduk di kursi, penghulu melanjutkan prosesi pernikahan.

"Mempelai wanita terakhir dipersilakan."

Akhirnya! Rina berdiri dan memberi pernyataan. Namun, berbeda dengan Emir dan Inanna, senyum yang ditunjukkan oleh Rina adalah senyum bisnis.

"Namaku Rina dengan ini menerima Lugalgin Alhold sebagai suamiku. Dengan pernyataan ini saya resmi menjadi istri terakhir Lugalgin Alhold."

Orang umum akan menduga teriakan lantang Rina adalah sebuah ketulusan. Namun, aku mengenalnya seperti diri sendiri. Teriakan itu bukanlah ketulusan, tapi formalitas.

Apa aku tersinggung? Tentu saja tidak. Aku sudah berjanji pada Tera untuk melindungi Rina. Dan lagi, aku tidak mungkin meninggalkan perempuan rapuh ini begitu saja. Tanpa kami, Rina tidak akan bertahan seminggu di luar sana. Dan lagi, tampaknya, sebuah ikatan khusus sudah muncul antara Rina, Emir, dan Inanna.

"Saya, Lugalgin Alhold, dengan ini menyatakan bersedia menjadi suami dari Rina Silant, menerimanya sebagai istri terakhir."

"Dengan ini, Lugalgin Alhold dan Rina Silant telah resmi menjadi suami istri. Kedua mempelai dipersilakan untuk melakukan ikatan pernikahan."

Penghulu menyatakan status kami sebagai suami istri telah resmi. Dan, sesuai prosesi, aku menunjukkan ikatan pernikahan dengan Rina.

Aku berdiri dan berjalan ke kanan, ke depan Rina. Aku meletakkan kedua tangan di bawah wajah Rina, melihat matanya yang berwarna biru kental, hasil mata biru yang menggunakan lensa kontak biru.

Rina menunjukkan sebuah senyum simpul, seolah menertawakan prosesi ini. Namun, aku tidak memedulikannya. Kami memejamkan mata dan mempertemukan kening dan ujung hidung, membiarkan kontak tubuh yang berbicara.

"Jangan terbawa suasana, Gin. Ingat, pernikahan kita hanya pernikahan diplomatis."

"Ya, aku ingat itu."

Berbeda dengan Emir dan Inanna, pertemuanku dengan Rina relatif baru dan singkat. Bahkan, sejak awal, hubungan kami adalah saling memanfaatkan.

Kami, dua orang inkompeten, memiliki kepribadian dan jalan pikir yang sama. Orang mungkin berpikir menemukan orang lain yang mirip adalah jodoh, tapi tidak dengan kami. Rina dan aku sama-sama merasa aneh, tidak nyaman, dan terganggu ketika ada orang lain yang mirip. Namun, kami mengesampingkan itu semua demi tujuan yang sama.

Namun, semua itu hilang ketika kening dan ujung hidungku melakukan kontak. Rina bilang pernikahan ini hanyalah pernikahan politik, tapi tubuhnya berkata lain. Aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetar.

Rina menahan nafas dan tubuhnya terasa kaku, menunjukkan dia ketakutan. Saat ini, dibandingkan kami, kehidupan Rina adalah yang paling tidak pasti. Dia membutuhkan orang lain untuk menenangkannya di malam hari.

Rina tidak membiarkan kening dan hidungku melakukan kontak dengan lembut dan tenang. Dia menekan kuat, seolah tidak ingin aku memisahkan diri, tidak ingin aku pergi. Mungkin alasan dia tidak ingin aku pergi adalah dendam pada Ratu Amana. Dan aku tidak keberatan. Aku akan menemani dan merengkuh perempuan ini selama dia membutuhkannya.

Tidak lama, aku terpaksa mengakhiri kontak. Prosesi ini harus segera diakhiri. Saat aku melepaskan kontak, terasa Rina masih mencondongkan wajah ke depan.

Aku berbisik, "mari segera kita akhiri prosesinya, Rina."

Rina tampak sedikit terentak, seolah baru bangun dari mimpi. Kelihatannya dia tidak sadar kalau tubuhnya hampir menopang padaku. Ya, tampaknya, Rina tidak sadar kalau dirinya ketakutan.

Aku mundur dan kembali ke kursi. Setelah kami kembali ke kursi, penghulu datang, menghampiriku. Dia menyodorkan satu surat di atas map. Surat ini berisi keterangan nikah yang telah dicap jari dan ditandatangani oleh Emir, Inanna, dan Rina. Di surat ini sudah ada cap jempolku. Untuk mengesahkannya, diperlukan tanda tangan dariku di akhir prosesi.

Dengan pena dari penghulu, aku menandatangani surat keterangan pernikahan ini.

Penghulu mengambil surat dan melayangkan pandang ke tim musik, mempersilakan musik kembali dimainkan.

"Dengan ini, prosesi pernikahan Lugalgin Alhold, Emir Falch Exesias, Inanna Arc Spicante, dan Rina Silant resmi berakhir. Mereka telah resmi menjadi suami istri yang telah diakui oleh Kerajaan Bana'an. Para tamu yang terhormat, terima kasih telah menyaksikan upacara sakral ini. Saya, mewakili pihak yang bersangkutan, mengucapkan terima kasih."

***

Akhirnya selesai juga!

Hari ini benar-benar melelahkan. Tidak! Aku tidak lelah secara fisik! Aku lelah batin! Hari ini, baik selama prosesi pernikahan maupun resepsi, aku terus menjadi pusat perhatian semua orang. Selama itu pula aku harus memberikan senyum terbaik. Untuk orang yang memang aku kenal sih tidak masalah. Namun, banyak dari tamu adalah undangan ayah, ibu, tante filial, pejabat kerajaan, dan lain sebagainya. Intinya, orang yang tidak aku kenal.

Jujur, rasanya, hari ini, perasaanku seperti dipermainkan. Selama prosesi pernikahan aku duduk di kursi penuh ornamen bak singgasana, lalu menyambut semua pejabat tinggi, dan kini tidur di kamar King Suite. Aku terus menerus menghindar untuk dijadikan Raja. Namun, hari ini, sebuah kesan kalau aku adalah seorang Raja melekat.

Dan, tentu saja, bukan hanya aku yang kelelahan. Inanna, Emir, dan Rina juga kelelahan. Kalau aku hanya lelah batin, mereka ditambah lelah fisik. Setelah mandi bersama, di jacuzi terbesar yang pernah kulihat, kami terbaring di kasur dengan posisi yang aneh. Saat ini, Rina menggunakan badan kananku sebagai bantal, Inanna badan kiri. Dan yang terakhir, Emir malah menggunakan paha dan selangkanganku sebagai bantal.

Tante Filial mengatakan rumahku berantakan, penuh oleh kado. Jadi, sementara orang dari You Wedding merapikan rumah, kami tinggal di hotel paling elite di kota Haria.

Selama beberapa menit, kami hanya mengobrol dengan posisi aneh ini. Yang kami obrolkan hanya mengenai prosesi pernikahan yang unik, undangan resepsi yang banyak, dan makanan dan minuman yang enak. Setelah mengobrol beberapa menit, tidak ada seorang pun dari tiga istriku yang masih bangun. Mereka sudah memejamkan mata dengan nafas pelan, damai.

Sejak mandi hingga tidur, tidak seorang pun dari mereka yang meminta jatah. Ucapan ibu benar, malam pertama hanyalah mitos. Hampir tidak ada pasangan yang menghabiskan malam pertama setelah pernikahan untuk melakukan hubungan. Para mempelai, umumnya, akan kelelahan secara fisik dan batin oleh semua prosesi dan resepsi pernikahan yang dijalani. Karena itu, di malamnya, mereka hanya tidur, pulas, kecapekan. Dan, tampaknya, keluargaku juga sama.

Selamat malam. Selamat tidur, wahai istri-istriku.

Bersambung