"Selanjutnya?"
Satu tubuh terjatuh, lagi. Dengan ini, aku sudah membunuh 37 orang, tersisa 6 orang.
Jujur, awalnya, aku mengira para regal knight akan mengeroyok, menyerang bersamaan. Namun, ternyata tidak. Mereka benar-benar memegang teguh kode etik kesatria, melakukan pertarungan satu lawan satu.
Awalnya, aku tertawa kencang, menganggap mereka semua bodoh. Sayangnya, meski beberapa orang tewas tapi mereka tetap teguh memegang kode etik kesatria, aku berhenti tertawa. Kalau menjadi seorang kesatria, aku akan menerima keteguhan mereka dan melawan sepenuh hati, menghormati lawan.
Namun, sayangnya, aku bukan kesatria. Saat ini, di dalam hati, aku hanya bisa mengelus dada, kasihan pada lawan-lawanku ini. Bahkan, walaupun aku sudah mengatakan keluarga mereka akan dibersihkan kalau masih bersikeras, para regal knight masih bersikeras melawan.
"Giliranku."
Satu orang maju, seorang wanita paruh baya. Di punggungnya terdapat 8 assault rifle melayang, bagaikan sayap. Di tangan, dia menggenggam sepasang pistol dengan bayonet.
"Perkenalkan, namaku adalah Melinda Pristina. Adalah sebuah kehormatan bagi saya untuk dapat menghadapi regal knight terkuat, Lugalgin Alhold."
Perempuan ini berbeda. Dia, Melinda, adalah orang pertama yang mengenalkan diri dan menyebut namaku secara tulus, tidak ada dendam atau merendahkan. Melinda benar-benar menghormatiku dari lubuk hatinya. Bahkan, dia membungkukkan badan.
"Bu Melinda, apakah anda tidak ada niatan untuk mengundurkan diri? Bukan hanya Anda yang terancam, nyawa putra dan putri Anda pun terancam."
"Jangan khawatir. Aku sudah memutus hubungan dengan keluarga. Kedua putra putriku pun sudah berada di bawah perawatan dan pengawasan teman dekatku."
"... kau sadar kan kalau aku kepala intelijen? Aku bisa saja mengklaim kalau kamu tidak pernah melakukannya dan tetap membersihkan mereka."
"Kamu tidak akan melakukan itu, Lugalgin. Aku bisa melihat kalau kamu adalah orang yang baik. Kamu tidak akan melakukan hal ini tanpa alasan yang jelas."
"Kalau begitu–"
"Tapi, ini dan itu adalah urusan berbeda." Melinda menyela. "Walaupun aku tahu kalau keluarga kerajaan ini sudah busuk. Walaupun aku tahu kalau kamu mampu memimpin Bana'an ke arah yang lebih baik. Aku tetap memiliki kewajiban untuk menentangmu hingga akhir. Kenapa? Karena aku adalah kesatria kerajaan. Aku telah disumpah untuk terus melindungi kerajaan dan keluarga kerajaan. Tidak peduli apa pun alasanmu, kita memang ditakdirkan untuk bertikai."
Bu Melinda telah berhenti menjadi Regal knight beberapa tahun lalu dan menjadi polisi. Dan, entah kenapa, Rahayu memanggilnya malam ini.
Jujur, hatiku hancur ketika dipaksa membunuh orang sejujur dan sebaik Bu Melinda. Sungguh disayangkan kalau aku harus membunuhnya.
"Bu Melinda, kalau Rahayu mengubah–"
"Tidak! Aku tidak akan mengubah keputusanku." Bu Melinda kembali memotong. "Aku bisa memperkirakan langkah yang akan kamu ambil. Dan, aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak akan mengubah keputusanku."
"...Baiklah kalau begitu." Aku menghela nafas. "Perkenalkan, namaku adalah Lugalgin Alhold, mantan regal knight Tuan Putri Emir. Sekarang, aku adalah kepala Intelijen Bana'an, calon suami Emir, Inanna, dan Rina."
Tanpa aba-aba, kami berdua melompat ke depan. Delapan assault rifle di belakang Bu Melinda menjauh, melepaskan tembakan dari berbagai arah.
Aku tidak berhenti, justru mempercepat lari. Dengan berlari semakin cepat, aku hanya perlu menggunakan peti arsenal untuk menghalau peluru dari depan. Dengan tombak tiga mata di tangan kanan, aku mencoba menusuk Bu Melinda. Namun, dia mengelak seranganku dengan bayonet pistol. Tombak tiga mata tidak menghilangkan pengendalian Bu Melinda karena dia mengenakan sarung tangan.
Tembakan lain datang. Namun, aku masih bisa menggunakan peti arsenal di tangan kiri untuk berlindung.
Walaupun di ambang kematian, Bu Melinda masih memegang teguh kode etik kesatria. Dia tidak pernah melepas tembakan dari belakangku.
Namun, sayangnya, aku bukan kesatria. Aku melepas peti arsenal dan berputar ke kiri, menerjang Bu Melinda dari belakang. Tombak tiga mata siap menusuk lawan .. atau tidak.
Bu Melinda terkejut dan berusaha mengelak seranganku. Namun, dia termakan tipuan. Tombak tiga mata tidak menyerang Bu Melinda, tapi menebas semua assault rifle yang melayang di sekitar. Semua assault rifle yang tidak bisa dikendalikan pun terjatuh ke lantai.
"Penghilang pengendalian?"
Aku mengabaikan Bu Melinda yang terkejut dan melempar tombak tiga mata, menembus dadanya.
"Si–"
Aku membuka peti arsenal dengan cepat dan mengambil pedang. Tanpa membiarkan Bu Melinda tersiksa lebih lama, aku langsung memenggalnya. Samar-samar, aku melihat sebuah senyuman dari kepala Bu Melinda yang menggelundung.
"FUCK! BRENGSEK!" Aku berteriak dan menendang lantai, meluapkan kekesalan.
Sungguh sangat disayangkan orang sebaik Bu Melinda memberi sumpah dan kesetiaan pada Rahayu. Tidak peduli sebaik apapun kamu, kalau atasanmu sampah, masa depanmu pun akan suram.
"LIMA ORANG SISANYA, KEROYOK SAJA AKU!"
Meski aku berteriak, mereka tidak maju bersamaan. Regal knight yang tersisa masih maju satu per satu. Dan, seperti sebelumnya, aku mengalahkan mereka dengan mudah.
"RAHAYU! MALAM INI KAMU MATI!"
Aku memasukkan senjata yang berserakan kembali ke peti arsenal dan meninggalkan ruang aula.
"Gin!"
"Tunggu!"
Aku tidak menunggu Zage dan Ufia, tetap berjalan ke kamar Rahayu. Semakin lama, kekesalanku semakin memuncak. Malam ini bukanlah pertama kalinya aku terpaksa membunuh seseorang dengan kualitas tinggi gara-gara atasannya sampah. Ketika terjadi, perasanku selalu bercampur aduk antara marah, sedih, dan kecewa. Dan, aku tidak pernah menyukai perasaan ini.
"RAHAYU!"
Aku menendang pintu, mendobraknya. Namun, sebuah pemandangan yang tidak kuduga justru tersaji.
"Ah, Gin, akhirnya kamu datang juga."
Yang menjawabku, tidak lain dan tidak bukan, adalah Emir. Dia berdiri di samping kasur dengan sebuah lilin di tangan.
Di atas kasur, terlihat sosok wanita paruh baya dengan rambut merah muda lembut, Rahayu. Namun, matanya tidak selembut rambutnya. Kedua bola Rahayu membelalak seolah akan keluar. Kedua tangan dan kakinya diikat ke ujung kasur. Tidak terlihat sehelai kain menutupi tubuhnya.
"NNGGG!!!!"
Rahayu berusaha untuk berteriak ketika lilin menetes di perut. Namun, sebuah kain di mulut menghalanginya.
Melihat pemandangan ini, entah kenapa, emosiku yang sebelumnya meluap-luap langsung hilang, seolah tidak pernah marah.
"Ah ... Emir? Kamu sendirian?"
"Iya, aku sendiri. Malam ini aku memberikan jadwal piket ke Inanna karena ingin menghukum ibu."
Emir memandangku tajam. Pandangannya fokus, tidak santai seperti biasanya. Saat ini, Emir berada pada mode bertarung. Namun, ini bukan mode bertarung yang biasanya, tapi mode bertarung yang berbeda. Pada mode ini, sisi liar Emir muncul
Namun, apa yang membuat mode bertarung ini muncul? Dia tidak sedang bertarung.
"Gin, menurutmu, tubuh siapa yang lebih baik? Tubuhku atau tubuh ibu?"
"Kamu! Tentu saja kamu!"
Aku refleks menjawab, tidak pikir panjang. Entah kenapa, baru saja, mode bertarung Emir sempat diarahkan ke sini. Aku bisa merasakan aura haus darah dan niat membunuhnya yang begitu pekat. Bahkan, aura haus darah dan niat membunuh yang dipancarkan Emir membuat bulu kudukku merinding.
"Baguslah kalau begitu ..."
"NGGG!!!!"
Tetesan lilin lain turun. Perlahan, Emir meneteskan lilin ke bawah, mendekati kemaluan Rahayu.
"Tuan Putri Emir, tolong hentikan!"
"Emir, dia ibumu sendiri!"
"Hah? Ibu? Ibu macam apa yang berusaha menggagalkan pernikahan anaknya sendiri, hah? Ibu macam apa yang berusaha merebut dan bahkan menikahi menantunya sendiri, hah?"
Emir yang emosi menggerak-gerakkan tangan ke sana–sini. Di saat itu, lelehan lilin di tangannya tersebar ke mana-mana. Tidak jarang juga lelehan lilin mendarat di tubuh Rahayu yang bugil.
Di satu sisi, aku merasa kasihan dengan Rahayu. Namun, di sisi lain, dia layak mendapatkannya ... atau tidak?
"Gin, kamu tidak mengasihani ibu dan berpikir untuk memaafkannya, kan? Lalu, setelah memaafkannya, apa kamu juga akan menjadikan ibu calon istri, hah?"
Oke, ada yang salah dengan Emir. Dan, momen seperti ini hanya memiliki satu penjelasan.
"Emir, apa kamu datang bulan?"
"..."
Bingo!
Ya, setiap datang bulan, Emir mengalami perubahan. Mode bertarungnya berubah menjadi seperti mode bertarung Inanna. Ditambah lagi, mode bertarung Emir sangat mudah muncul di saat datang bulan. Sebelumnya, dia selalu melampiaskan emosi yang menumpuk, saat datang bulan, dengan latih tanding, berusaha mengalihkan pikiran. Namun, tampaknya, kali ini Emir memilih cara lain.
Di lain pihak, Emir datang bulan lagi ya. Jujur, aku tidak menghitung sudah berapa kali melakukannya dengan Emir dan Inanna. Namun, entah kenapa, mereka berdua masih belum hamil sampai sekarang. Aku tidak terlalu mengharapkan keturunan untuk saat ini, hanya penasaran.
"Oke, tenang. Tidak apa-apa."
Aku mendatangi Emir dan memeluk Emir, membelai rambutnya dengan lembut dan perlahan.
"Wah, tampaknya aku terlambat. Aku tidak melihat Emir yang menyiksa permaisuri Rahayu."
"Eh?"
"Permaisuri Rahayu?"
"NNGG??"
Semua orang, selain aku dan Emir, terkejut ketika melihat sosok yang baru saja datang. Di pintu, terlihat sosok wanita paruh baya dengan rambut merah muda lembut, Permaisuri Rahayu. Namun, wanita itu bukanlah Rahayu yang asli, tapi Mulisu.
"Yap, kamu benar-benar menjadi seperti Rahayu, Mulisu. Bahkan, tinggi badan, lingkar dada, dan lingkar pinggangmu juga sama persis dengan Rahayu."
"Apa kamu tergoda?"
Aku melirik ke kanan, ke tubuh Rahayu yang tidak tertutupi sehelai kain, memperhatikan lekuk tubuhnya dengan saksama.
"Gin, aku melarangmu melihat ibu dengan pandangan seperti itu."
"Pandangan seperti apa?"
"Pandangan seperti itu! Seolah kamu mau melakukannya dengan ibu."
Aku tidak akan melakukannya dengan ibumu, hanya mengagumi tubuhnya. Untuk ibu setengah baya, dada dan bokong Rahayu masih sangat kencang. Bukan hanya dada dan bokongnya, bagian lain juga tampak masih kencang.
Oke, kembali ke Mulisu. Lupakan dulu fisik dan figur tubuh Rahayu.
Mulisu mengatakan tujuannya di pasar gelap sudah terpenuhi. Oleh karena itu, dia berpikir sudah saatnya membuang nama Mulisu. Dan, kebetulan, ada masalah dengan permaisuri kerajaan ini. Jadi, Mulisu memberi saran agar dirinya melakukan operasi untuk mengubah wajah dan suaranya menjadi seperti Rahayu, menjadi permaisuri.
Awalnya, aku hanya berencana membunuh Rahayu dan membuat rencana Emir berjalan lebih awal. Namun, Mulisu berpendapat lain. Kalau kepala kerajaan tiba-tiba menghilang, besar kemungkinan Bana'an akan hancur, baik karena serangan dari luar atau kolaps dari dalam. Oleh karena itu, Mulisu mengajukan diri untuk menggantikan Rahayu.
Lalu, siapa yang mengoperasi wajah dan pita suara Mulisu? Orang itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah, Barun Alhold.
Di kehidupan normal, ayah adalah pemilik rumah sakit. Dan, kehidupannya di pasar gelap tidak jauh berbeda. Ayah, sebagai dokter pasar gelap, menerima segala macam permintaan mulai dari menyembuhkan luka hingga mengganti wajah dan suara.
Di saat seperti ini, jujur, aku penasaran bagaimana ayah dan ibu bertemu. Apakah mereka bertemu di pasar gelap? Atau mereka bertemu di kehidupan normal dan baru tahu identitas pasar gelap pihak lain setelah menikah? Atau bagaimana? Ya, sudahlah. Aku akan menanyakan ayah dan ibu kalau ingat.
"Mulisu, kamu datang sendirian?"
"Jangan panggil aku Mulisu. Sejak hari ini, aku adalah Permaisuri Rahayu. Hahaha."
Mulisu tertawa kencang ketika menjawab pertanyaanku. Dia tampak bersenang-senang.
"Kamu belum resmi menjadi Rahayu selama yang asli masih hidup. Kamu tidak datang sendirian, kan?"
"Tentu saja tidak. Anggota Agade sudah ada di seluruh penjuru istana, membersihkan sisa-sisa kekacauan yang kamu buat."
"Baguslah."
"Tapi, Gin, daripada membunuh Rahayu, aku memiliki ide lain."
***
"Dimana aku?"
Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul di benakku ketika membuka mata. Hal terakhir yang aku ingat adalah Emir menyekapku dan ... seseorang yang mirip denganku muncul! Sial! Brengsek! Aku harus segera membunuhnya.
Aku berusaha bangkit dari kasur. Namun, sayangnya, aku tidak bisa bergerak. Aku melihat ke kanan dan kiri, melihat kedua tangan yang tidak dirantai atau diikat. Namun, entahlah, aku tidak bisa menggerakkan tanganku. Tidak! Jangankan menggerakkan. Aku bahkan tidak bisa merasakannya. Tidak hanya tangan, kakiku juga. Terlihat bekas potongan di siku dalam dan lututku.
"Sial! Ada apa ini?"
Aku tidak lagi berusaha menggerakkan tangan dan beralih melihat ke sekitar. Tempat ini mirip seperti kamarku, mulai dari dekorasi, kasur, bahkan warna barang-barangnya. Namun, ada satu hal di tempat ini yang berbeda dari kamarku. Terpasang sebuah televisi besar di seberang kasur, menghadap ke sini.
Baik, coba tenang. Kondisiku sekarang terbaring di atas kasur, di ruangan yang mirip dengan kamarku. Kondisi tangan dan kaki tidak bisa bergerak. Tidak terlihat sehelai kain pun menutupi badan, mengekspos seluruh tubuhku.
Tiba-tiba saja, layar televisi yang sebelumnya mati menyaka.
[Halo ibu!]
"Emir?"
[Apa ibu tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki? Ya, tentu saja. Aku sudah meminta Om Barun untuk menghancurkan syaraf tangan dan kaki ibu. Jadi, tangan di bawah siku dan kaki di bawah lutut tidak akan bisa bergerak lagi untuk selamanya, lumpuh. Hahahaha!]
"Anak brengsek! Apa ini balas budimu setelah aku melahirkan dan membesarkanmu?"
[Ya, benar. Ini balas budiku setelah ibu berusaha menggagalkan pernikahanku dan merebut Lugalgin.]
Brengsek!
[Ibu jangan khawatir. Bana'an tidak akan hancur. Kenapa? karena kami sudah menemukan seseorang yang lebih layak menjadi kepala negara.]
Ketika mendengar Emir, sebuah bayangan muncul di benakku ketika perempuan yang mirip denganku muncul. Bahkan, samar-samar, aku bisa mendengar Lugalgin yang mengatakan ukuran tubuh kami mirip.
[Namun, ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal lain. Saat ini, yang perlu ibu khawatirkan adalah berapa lama ibu bisa bertahan.]
"Bertahan?"
[Ya, bertahan. Baiklah, rekan-rekan sekalian, silakan dimulai.]
Pintu terbuka, membiarkan dua perempuan masuk. Salah satu membawa koper.
"Siapa kalian?"
Koper terbuka dan sebuah syringe muncul.
"Tidak! Apa yang akan kalian lakukan? Aku adalah permaisuri Rahayu, kepala kerajaan Bana'an. Kalian tidak bisa melakukan hal ini."
Aku menjelaskan posisi dan statusku. Namun, dua perempuan ini tidak memedulikannya. Satu orang memegangi tubuhku dan satu lagi menusukkan jarum syringe ke leherku.
"A – apa yang kalian masukkan ke dalam tubuhku? A–"
Tiba-tiba saja, tubuhku terasa panas. Tidak hanya panas, kepalaku pun terasa pusing dan tertekan. Dadaku berdegup kencang dan nafasku tersengal-sengal. Dan, yang paling parah, aku bisa merasakan kalau aku sudah basah. Aku sangat ingin bergerak dan memasukkan jari ke dalam. Namun, aku tidak bisa melakukannya.
"Emir, apa yang – "
[Yang baru saja disuntikkan adalah obat perangsang dengan dosis tinggi. Dengan obat ini, ibu akan terangsang selama beberapa hari ke depan? Dan ...]
Dua perempuan yang baru saja datang keluar, digantikan oleh beberapa laki-laki, mengitari tubuhku yang tidak bisa bergerak. Mereka semua tidak mengenakan pakaian, mempertontonkan organ vitalnya padaku.
"Tidak. Kumohon. Ampuni aku."
Semua laki-laki ini tidak mendengar permintaanku. Mereka pun mulai meraba dan meremas tubuhku.
"Lugalgin, tolong, selamatkan aku."
Bersambung