Chereads / I am No King / Chapter 143 - Arc 4-3 Ch 6 - Tanggal, Tahun

Chapter 143 - Arc 4-3 Ch 6 - Tanggal, Tahun

"Aku pulang!"

"Jadi, ini calon istrimu yang baru?"

" ... Halo, bu."

Di balik pintu, berdiri sebuah sosok perempuan berambut panjang coklat dengan tangan menyilang di depan dada, ibu.

Aku sudah bisa merasakan aura keberadaan ibu ketika turun dari mobil. Jadi, aku tidak terlalu terkejut ketika melihat ibu. Bahkan, aku juga tahu kalau seluruh keluargaku, ditambah tante Filial dan Ninshubur juga ada di rumah. Namun, aku tetap terkejut karena mereka tiba-tiba datang. Ngomong-ngomong, tampaknya instingku semakin peka akhir-akhir ini. Atau aku baru sadar saja? Entahlah.

Di lain pihak, aku merasa kasihan dengan Emir dan Rina. Hanya mereka yang tidak bisa berkumpul dengan keluarganya lagi. Ya, mau bagaimana lagi. Tidak semua orang dilahirkan di keluarga ... normal? Tidak! Kalau aku pikir, keluargaku dan keluarga Inanna juga tidak normal, kami hanya sedikit lebih beruntung. Ya, sedikit lebih beruntung karena keluarga kami masih tahu diri.

"Oke, Rina, silakan masuk dan lewati proses wawancaranya."

"Hah? Wawancara?"

"Emir dan Inanna melalui hal yang sama. Jadi, akan tidak adil kalau kamu tidak melalui proses wawancara."

"Eh? Kamu tidak mengatakan apapun soal ini?"

" ... anggap aku lupa."

Aku mengabaikan Rina dan masuk, meninggalkannya dengan Ibu. Ketika masuk ke ruang keluarga, Ninlil dan Ninshubur menyambutku dengan riang. Selama Ninshubur di rumah, aku penasaran apa yang Ninlil katakan sampai dia tampak begitu senang setiap melihatku. Ya, aku tidak akan protes sih.

Ninlil, Ninshubur. Aku baru sadar kalau mereka memiliki nama yang hampir sama. Aku jadi penasaran apa yang terlintas di pikiran ibu dan tante Filial ketika memberi nama pada dua perempuan ini.

"Selamat datang, gin."

"Terima kasih, tante. Maaf, malah jadi merepotkan."

Tante Filial dan Inanna sedang memasak di dapur, menyiapkan makan siang. Hanya Emir dan ayah yang duduk di depan televisi.

"Tadi Emir ingin ikut memaksa juga. Jadi aku meminta om Barun untuk mengawasinya. Dia belum boleh banyak bergerak."

Aku tersenyum masam ketika melihat Emir yang tampak kesal.

"Kamu kelihatan capek banget, Gin."

"Ya, begitulah." Aku merespons Inanna lemas. "Aku mau tidur sebentar, ya."

"Gin!" Emir memanggil. "Kalau mau tidur sebentar, ke sini saja. Tidur di sofa sama aku."

"Hah? Ada ayah. Aku tidak mau."

"Sudahlah! Sini! Aku bosan tahu disuruh istirahat terus!"

***

Setelah aku paksa, akhirnya Lugalgin menurut. Dia tidur di sofa dengan menggunakan pangkuanku sebagai bantal. Baru 5 hari kami tidak bertemu, tapi wajahnya sudah tampak begitu lelah, penuh kerutan. Setiap malam dia memberi laporan kejadian, tapi aku tidak mendengar apapun yang bisa membuatnya kelelahan. Kemungkinan besar, mentalnya yang kelelahan.

Samar-samar, aku mendengar bu Yueni mencecar Rina dengan pertanyaan. Berdasarkan laporan dari Lugalgin, Rina hanya ingin pernikahan diplomatis berdasarkan kontrak. Aku dan Inanna sudah menyiapkan diri kalau dia memang benar-benar jatuh hati pada Lugalgin. Namun, tampaknya persiapan kami tidak diperlukan. Kalau ikatan Lugalgin dan Rina hanya sebatas pernikahan diplomatis berbasis kontrak, kami tidak perlu khawatir.

Inanna berpendapat keputusan untuk Lugalgin menambah istri bukan hanya wewenangku dan dirinya. Kami harus menanyakan pendapat keluarga Lugalgin. Dalam prosesnya, keluarga Inanna ikut datang. Seandainya saja keluargaku juga ikut, pasti hari ini akan menjadi hari besar. Namun, sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi. Aku sedang tidak ingin melihat ibu. Aku bahkan terkejut Lugalgin bisa langsung pulang ke sini tanpa dihadang oleh ibu.

"Ninlil, Ninshubur, tolong bantu kami memindahkan makanan."

"Baik ... "

Ninlil dan Ninshubur memenuhi panggilan tante Filial dan pergi ke dapur. Makanan sudah mulai siap, tapi aku belum akan membangunkan Lugalgin. Nanti saja kalau makanan sudah siap sepenuhnya baru aku membangunkannya.

"Aku masih tidak menduga anak ini akan menikah. Bahkan, dia akan menikah dan mendapat 3 istri sekaligus." Om Barun tiba-tiba berbicara. "Kamu tahu, Emir, dulu aku sempat berpikir dia tidak akan mau menikah."

"Tidak mau menikah? Kenapa?"

"Tasha?"

Ah, ya, aku paham. Ketika cinta pertamamu direnggut dengan keji seperti itu, akan normal untuk tidak ingin menikah. Banyak orang yang berpikir kalau mereka menikah, sama saja mengkhianati cinta pertamanya. Kalau di posisi Om Barun, aku juga akan berpikiran demikian.

"Kalau Lugalgin benar-benar tidak mau menikah, aku dan Yueni hanya bisa menyalahkan diri kami sendiri. Kami seharusnya bisa mencegah musibah itu terjadi. Namun, kami tidak melakukannya. Bahkan, kami tidak akan marah kalau Lugalgin juga menyalahkan kami. Meskipun memiliki hak, Lugalgin tidak menyalahkan kami. Dia terlalu baik. Dia lebih memilih untuk menyalahkan dirinya sendiri."

Ya, benar, Lugalgin yang aku kenal bukanlah tipe orang yang suka menyalahkan orang lain. Dia lebih suka menyalahkan diri sendiri. Namun, hanya karena lebih suka menyalahkan diri sendiri, bukan berarti dia tidak bisa marah. Sekali dia marah, pertumpahan darah bisa dijamin. Bahkan, pertumpahan darah yang dilakukan oleh Lugalgin benar-benar keji.

Aku masih bisa ingat dengan sangat jelas ketika dia membunuh Liu di depan ibunya, Shu En. Bahkan, yang membuat adegan itu lebih keji, Liu dibunuh oleh anak SMP yang menjadi korban, Suen. Dengan kata lain, Lugalgin memberi hak membalas dendam pada sang korban.

"Aku tidak tahu apa yang telah kalian lakukan, Emir, Inanna. Namun, aku sangat berterima kasih. Berkat kalian, akhir-akhir ini, Lugalgin terlihat lebih rileks dan ceria. Dia tidak menggunakan poker face sesering dulu. Kali ini, kami tidak harus selalu menebak apa yang ada di pikirannya karena dia sudah menunjukkannya di wajah. Sekali lagi, aku sangat berterima kasih."

"Ah, itu, tidak. Kami .... "

Aku tidak bisa tenang setelah mendengar ucapan om Barun. Aku sama sekali tidak menduga Om Barun akan mengatakan itu semua. Ucapannya membuatku malu.

"Tidak perlu berterima kasih, Om Barun." Inanna Nimbrung. "Lugalgin juga sudah memberi kami tempat untuk pulang. Dia pun menerima kami apa adanya, tidak memedulikan latar belakang kami. Dan, Lugalgin juga telah memberi keamanan dan bantuan yang tidak ternilai pada keluargaku. Kami juga berterima kasih pada Om Barun karena telah membesarkan Lugalgin hingga pada titik ini."

"Ya, Inanna benar, Om. Kami juga perlu berterima kasih pada Lugalgin atas segala yang dia berikan."

"Bisa tolong berhenti mengatakan semua itu? Kalian mengatakannya seolah-olah ini adalah pertemuan terakhir kita. Kalian menegakkan sebuah death flag."

***

Aku membuka mata dan bangkit dari pangkuan Emir. Pandanganku masih kabur, tapi aku sudah bisa berbicara dengan cukup lancar.

"Ahaha, Gin, kamu terlalu banyak membaca komik dan nonton kartun." Emir merespons dengan enteng. "Kamu bisa tidur lebih lama kok."

"Aku kan sudah bilang hanya perlu tidur sebentar. Aku hanya perlu menghilangkan kecapekan setelah naik pesawat."

Aku bangkit dan berjalan menuju meja makan. Namun, aku terkejut ketika tidak melihat ada meja makan. Inanna, tante Filial, Ninlil, dan Ninshubur mengatur makan di atas tikar. Kami akan makan siang dengan cara lesehan. Ah, iya juga. Meja makan kami hanya bisa menampung 6 orang. Belum lagi ada tambahan Rina.

"Ah, akhirnya makan siang sudah siap. Pas sekali waktunya."

Ibu muncul dari ruang tamu diikuti Rina. Sementara Ibu terlihat semringah, wajah Rina justru terlihat pucat dan lelah. Aku penasaran ibu menanyakan apa saja pada Rina.

"Emir, Inanna, soft file surat perjanjian sudah kukirim ke email kalian. Nanti baca baik-baik ya. Syarat dan kondisi yang kalian ajukan sudah terpenuhi. Dan, jangan terlalu lega dulu. Tampaknya, persiapan kalian bisa menjadi kenyataan meski tidak dalam waktu dekat."

"Baik!"

Eh? Persiapan? Apa yang mereka maksud.

Aku mengangkat tangan. "Bu, aku bisa lihat surat perjanjiannya juga tidak?"

"Tidak Gin. Ibu tidak akan menunjukkannya padamu. Dan, aku juga menyarankan Inanna dan Emir tidak menunjukkannya padamu. Jangan khawatir. Ibu sudah memastikan kamu tidak akan dikhianati atau dirugikan kok."

Mengingat aku adalah objek dalam perjanjian ini, seharusnya aku juga mendapat hak untuk membaca surat perjanjian tersebut. Dan lagi, untuk soal dirugikan atau tidak, itu subyektif. Bisa saja yang tidak merugikan untuk ibu masih merugikan untukku. Ya, sebenarnya, aku masih ingin menyanggah ucapan ibu. Namun, aku mengurungkannya. Kalau ibu sudah teguh, percuma saja. Apalagi Inanna dan Emir juga tampaknya sudah setuju.

Kami pun makan dengan tenang dan santai, tanpa gangguan. Kompleks perumahan di sekitar sini memang tidak dihuni, tapi bukan berarti kosong. Aku meletakkan anggota Agade dan intelijen yang tersebar secara acak, mengamankan kami. Setiap kali aku merasakan ada aura membunuh atau orang ingin menyerang, dalam waktu singkat, perasaan itu hilang.

Sejak Rina bersamaku, percobaan pembunuhan melalui jalur intelijen dan pasar gelap juga meningkat drastis. Intelijen yang dilumpuhkan oleh Ibla dan yang lain tentu saja berasal dari kerajaan Nina. Untuk pembunuh pasar gelap, rata-rata berasal dari luar Bana'an. Hampir tidak ada pembunuh asal Bana'an yang mengincar Rina.

Setelah makan selesai, Ninlil dan Ninshubur pergi ke kamarku untuk bermain. Kami meminta mereka pergi karena ada hal yang harus dibicarakan, terutama tentang Rina dan Permaisuri Rahayu.

"Jadi, apa yang akan kalian lakukan setelah ini?" Ibu membuka pembicaraan.

Kami duduk di ruang keluarga. Aku duduk bersama Inanna dan Emir. Rina dan tante Filial duduk di kanan dan kiri, di sofa untuk satu orang. Ayah dan ibu duduk di seberangku, bersebelahan.

Aku melempar pandangan ke Rina.

"Aku juga bertanya padamu, Gin. Masalah ini bukan hanya menyangkut Rina, tapi juga menyangkut kamu. Terutama, Permaisuri Rahayu."

Ketika nama Permaisuri Rahayu terdengar, aku bisa merasakan aura membunuh sedikit bocor dari Emir. Aku menggenggam tangan kanan Emir, mencoba menenangkannya.

"Ada alasan kenapa kamu belum mengumumkan identitas Rina yang sebenarnya, kan?"

Aku menyeringai. Tampaknya ibu bisa membaca pikiranku. Benar. Selama beberapa hari bersamaku, Rina masih menggunakan identitas laki-laki yang adalah bawahanku. Aku belum mengumumkan kalau dia adalah tuan putri Nina. Kenapa? Mudah saja. Aku tidak ingin Permaisuri Rahayu siaga. Kalau dia siaga, aku khawatir akan terjadi sesuatu pada Emir dan Inanna.

Aku pun mengatakan alasan ini, membuat semua orang mengangguk. Namun, aku melihat ada yang berbeda dari Rina. Dia tidak hanya mengangguk. Rina juga melihat ke arah Emir dengan pandangan Iba. Apakah dia berpikir kalau mereka berada di posisi yang sama?

"Kalau kita memutuskan untuk langsung menikahkan kalian bertiga di saat yang sama, menurutku, ini bisa membuat masalah sedikit reda."

"Apa ibu yakin aku bisa menikahi mereka bertiga semudah itu? Maksudku, Permaisuri Rahayu sedang mengawasi kita. Di hari pernikahan, pasti ada saja masalah yang muncul, yang mencegahku melangsungkan pernikahan. Apalagi Permaisuri Rahayu memegang tampuk pemerintahan tertinggi Bana'an. Kalau dia memanggilku, tidak ada jalur legal yang bisa mencegahnya."

Ibu menyeringai. "Kamu sendiri yang bilang, kan? Jalur legal."

Yap. Jalur legal. Kalau jalur ilegal, banyak sekali. Namun, mungkin, aku belum bisa menggunakan jalur ilegal melawan Permaisuri Rahayu. Dampak buruknya masih terlalu besar untuk saat ini.

"Emir," aku mengalihkan pembicaraan ke Emir. "Sudah berapa banyak bangsawan yang pergi?"

"Belum terlalu banyak. Mungkin baru 10 persen."

Baru 10 persen ya. Ya, tidak heran sih. Meski setuju, bukan berarti mereka akan bergegas.

Ibu meminta, "Bisa tolong dipercepat? Kabari Yuan aku berharap akhir minggu ini sudah mencapai 30 persen. Kita berlomba dengan ibumu soalnya. Makin cepat, makin baik."

"Baik!"

Emir merespons permintaan ibu dengan penuh semangat. Pada titik ini, Emir lebih terlihat seperti anak ibu Yueni daripada Permaisuri Rahayu.

"Lalu," tante Filial masuk. "Untuk tanggal pernikahan, meski ada tambahan istri, kita tidak akan mengubahnya, kan?"

"Tentu saja tidak," ibu mengonfirmasi. "Justru dengan adanya Rina, kita memiliki alasan untuk tidak mengundurnya."

"Untunglah," Tante Filial tersenyum. "Aku sempat khawatir tanggalnya akan diundur gara-gara penambahan calon. Dan, Yueni, apa kita berpikiran sama?"

"Ya, aku rasa pikiran kita sama."

""Kita umumkan Rina sebagai calon istri Lugalgin H-7, enam hari dari sekarang.""

Ibu dan tante Filial mengatakan hal itu bersamaan, seolah mereka sudah berlatih.

Pernikahanku dengan Emir, Inanna, dan Rina. Kalau pernikahan kami akan diadakan, berarti, sudah hampir 1 tahun sejak Emir datang ke rumah, memintaku untuk menikahinya. Beberapa minggu kemudian, Inanna masuk. Dan, sekarang, hampir satu tahun, Rina bergabung.

Kalau dilihat berdasar tanggal, belum banyak waktu yang berlalu, baru satu tahun. Namun, aku merasa 1 tahun ini berjalan begitu lama, begitu lambat. Seperti kata tokoh penting, waktu adalah relatif. Ketika kamu hanya mengalami hal indah dan bahagia, waktu terasa sangat cepat. Namun, kalau kamu mengalami banyak kesulitan dan kesusahan, waktu akan terasa begitu lama.

Pengumuman Rina sebagai calon istriku adalah H-7 pernikahan yang adalah 6 hari dari sekarang ... tunggu dulu! Kalau aku hitung baik-baik, tanggal pernikahanku adalah 13 hari lagi? Wait! Aku sama sekali tidak mengetahui hal ini.

Aku melihat ke Emir, dia mengalihkan pandangan. Aku menoleh ke Inanna, juga mengalihkan pandangan. Ayah? Dia hanya tersenyum. Bahkan, aku bisa melihat tubuh ayah yang gemetar, menahan tawa. Bahkan Rina tampak tidak terkejut ketika mendengar deklarasi ibu dan tante Filial.

Jadi, hanya aku yang tidak tahu tentang tanggal pernikahan kami? Kalau tidak tahu tapi masih lama tidak masalah. Namun, tanggal pernikahan kami kurang dari 2 minggu lagi! Oi!

"Gin, maaf ya,"

Inanna mencoba menenangkanku yang, mungkin, tampak gusar.

"Bu Yueni dan Tante Filial meminta kami merahasiakannya darimu. Jadi, kami tidak bisa melawan." Emir mencoba membantu Inanna.

"Kenapa? Kamu keberatan?" Ibu masuk. "Bukankah kamu orang yang tidak mau repot? Kami sudah berbaik hati mengatur semua pernikahanmu, lho. Kamu tidak perlu berpikir soal prosesi, makanan, undangan, dan lain sebagainya. Kamu hanya perlu datang sebagai pengantin pria dan selesai. Seharusnya kamu berterima kasih."

"Iya, sih, tapi ... "

"Jangan khawatir, Gin," Tante Filial masuk. "Kami tahu kalau kamu sibuk gara-gara perang dan permaisuri Rahayu. Karena itu kami tidak mau mengganggumu. Dan tidak perlu foto pre-wedding juga. Rasanya susah mencari waktu kosong. Apalagi mengingat kepala kerajaan ini siaga."

"Tapi ... "

"Jangan khawatir," Ayah memotong. "Mulisu sudah sadarkan diri. Aku bisa menjamin kalau dia bisa menghadiri pernikahanmu. Dan para anggota Agade juga senang ketika mendengar tanggal pernikahanmu."

Mulisu dan Agade ya .... Aku tidak kaget kalau Mulisu dan Agade yang bahagia mendengar kabar ini. Namun, aku berpikir ada pihak lain yang pasti ikut bahagia kalau mendengarnya, anak-anak panti asuhan.

Kalau pernikahan ini dilangsungkan beberapa bulan lebih awal, mungkin anak-anak panti asuhan masih bisa menghadirinya. Di situ aku merasa agak sedih dan bersalah. Setidaknya, aku harus mengirim foto-foto pernikahan kami ke mereka.

Tunggu dulu! Pikiranku sudah teralihkan! Dari sebelumnya mengeluh karena tidak diikutsertakan dalam pemilihan tanggal menjadi rasa bersalah ke anak-anak panti asuhan! Ayah benar-benar tahu cara mengalihkan perhatianku. Aku ingin protes. Namun, mengingat ibu dan tante Filial sudah teguh, rasanya percuma. Aku terima saja lah persoalan tanggal pernikahan ini.

"Lalu, bagaimana caranya untuk kita melangsungkan pernikahan ini tanpa diganggu Permaisuri Rahayu? Maksudku, Emir, Inanna, dan Rina adalah mantan tuan putri. Kita tidak mungkin kan menikah diam-diam. Apalagi Rina juga membutuhkan pernikahan ini untuk membalas dendam ke ibunya."

Tadi malam, Emir mengatakan kalau dia membicarakan soal kondisi Rina ke ibu. Jadi, seharusnya, ibu juga sudah tahu mengenai betapa pentingnya pernikahan ini untuk Rina.

"Well, Gin," Ibu menjawab. "Sebelumnya, ibu dan Filial sempat memikirkan banyak hal. Namun, berkat kamu, sekarang kami tidak perlu terlalu pusing."

"Aku?"

"Ya, benar, Gin. Berkat kamu, kami tidak terlalu pusing." Tante Filial membenarkan. "Atau lebih tepatnya, sebelumnya kami perlu membuat banyak skenario. Namun, berkat kamu yang membawa Rina, kami tidak terlalu repot lagi."

"Rina?"

Semua orang di ruangan menoleh ke satu sisi, Rina.

"Ah, ya, begitu ya. Benar ...." Aku paham maksud ibu dan tante Filial. "Berkat Rina, urusan pernikahan ini akan menjadi mudah."

" ... Aku?"

Bersambung