Chereads / I am No King / Chapter 137 - Arc 4-2 Ch 15 - Kepercayaan

Chapter 137 - Arc 4-2 Ch 15 - Kepercayaan

"AAHHHHHH!!!!!!"

Teriakan terdengar dari luar. Aku penasaran apa yang dilakukan Inanna ke Maila.

Aku menggendong tubuh Illuvia di depanku, menahan punggung dan lututnya.

"Apa kamu harus membawanya dengan cara princess carry?"

Aku bisa merasakan tekanan dan aura dingin dari suara ini.

Aku tersenyum. "Hanya ini penghormatan yang bisa kulakukan padanya."

Aku sampai di depan Emir. Dia masih belum bangkit, masih duduk di lantai.

"Apa dia lebih penting dariku? Aku juga terluka!"

Dalam keadaan normal, aku akan berusaha membujuk Emir untuk memberi penghormatan pada yang tiada. Namun, saat ini, dia terluka. Dan, setelah tadi memarahi aku, aku khawatir kecemburuannya akan mengambil alih.

"Begini saja,"

Aku meletakkan Illuvia sejenak dan membuka peti arsenal palsu yang dia miliki. Setelah membuang semua senjata yang ada di dalamnya, aku memasukkan tubuh Illuvia ke dalam. Kini, aku membawa tiga buah peti arsenal, dua terikat di pinggang dan satu di punggung.

Selain itu, aku juga memutuskan untuk menggendong Emir dengan teknik princess carry. Tanpa memberi aba-aba, tiba-tiba wajah Emir mendekat. Tentu saja aku tidak menghindar. Aku membiarkan Emir memberi ciuman tepat di bibir.

"Terima kasih ya, Gin."

"Kamu tidak perlu berterima kasih. Kamu adalah calon istriku. Sudah selayaknya aku menyelamatkanmu."

"Bukan," Emir menolak. "Terima kasih kamu tidak menerima ciuman perempuan itu."

Saat ini aku merasa damai dan tenang ketika mendengar ucapan Emir. Tidak ada aura haus darah atau niat membunuh di baliknya. Benar-benar murni. Namun, di lain pihak, aku tidak mau tahu apa yang akan terjadi kalau tadi tidak menghindari ciuman Illuvia. Dan, aku tidak mau membayangkannya.

Orang normal mungkin akan berpikir sebenarnya aku bisa saja menerima ciuman Illuvia dan masih bisa meredam amukan Emir setelahnya. Meskipun bisa meredam amukan Emir, menurut kalian, berapa banyak kerusakan yang akan disebabkan oleh Emir? Dia bisa membuat turret tank dan artileri. Kalau mau, dia bisa menghancurkan bangunan apa pun dengan mudah.

Ya, itu alasan logisnya. Alasan yang sebenarnya hanyalah aku tidak mau membuat Emir marah, mengamuk, atau bersedih. Ketika kamu peduli pada seseorang, sebenarnya, semua alasan logis yang muncul hanyalah pembenaran atas perasaanmu, tidak lebih.

Emir tersenyum ketika aku membawanya keluar, menemui Inanna. Sambil berjalan, aku mendengar cerita Emir kenapa dia bisa terluka dan apa saja yang dia lakukan hingga akhir. Aku sangat terkejut ketika dia mengatakan menendang organ vital Illuvia. Apa dia tidak keterlaluan?

Namun, ketika mengingat apa yang terjadi pada Lili, aku tidak bisa banyak protes. Di pasar gelap, tidak ada aturan seperti perang antar negara. Setidaknya Illuvia langsung tewas. Dia tidak akan menderita.

Ketika tiba di pinggir taman, aku tidak mengira akan melihat pemandangan ini.

"Ini....."

Aku melihat sebuah tubuh terbaring di atas rumput. Tidak! Daripada terbaring, lebih tepatnya terpatri. Terlihat pedang dan pisau menancap di lengan dan paha tubuh itu, membuatnya menempel ke tanah.

"Ah, Lugalgin. Selamat datang. Seperti permintaanmu, aku tidak membunuhnya."

Inanna menyambutku dengan senyum lebar yang sangat hangat dan cerah, kalau kamu mengabaikan cipratan darah yang menempel di wajah dan tubuhnya.

"Apa ini tidak berlebihan?"

"Menurutku tidak," Inanna menjawab. "Awalnya aku ingin memotong kedua tangan dan kakinya. Namun, aku khawatir dia akan mati karena shock berat yang dialami. Jadi, aku hanya menusuk kedua paha dan lengannya."

Memotong kedua tangan dan kakinya?

Calon istri pertamaku, Emir, menendang organ vital lawan. Lalu, calon istri kedua, Inanna, ingin memotong kedua tangan dan kaki lawan. Apakah dua calon istriku memang sebengis ini? Tampaknya, aku belum mengenal dua calon istriku sepenuhnya. Masih banyak hal yang harus kupelajari tentang dua calon istriku ini.

Di lain pihak, fix, aku tidak akan pernah mengirim mereka berdua ke medan peperangan internasional. Mereka terlalu kejam dan bengis. Kalau terjun ke medan peperangan internasional, meski menang, mereka tetap akan diadili atas kejahatan perang. Ya, mereka memang lebih cocok bekerja di pasar gelap dan intelijen dimana tidak ada aturan mengenai kejahatan perang.

Meski dibesarkan di militer, pada akhirnya, mereka menjadi agen schneider dan gugalanna. Aku mulai berpikir alasan mereka dialihkan ke intelijen bukan karena pencapaian, tapi karena sifatnya. Ya, sudahlah. Terima saja mereka apa adanya.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu menginginkan perempuan ini hidup?"

"Ada dua hal. Pertama," aku mengalihkan pandangan ke Maila. "Maila, dimana Fahren?"

"Fahren?"

Maila tidak langsung menjawab. Perlahan, tubuhnya mulai bergetar pelan. Tidak lama kemudian, sebuah tawa keras terdengar dari mulutnya.

Apa yang terjadi? Apa perempuan ini sudah gila karena lukanya?

"Hahahahaha! Lugalgin, saat ini, Fahren pasti sudah mencapai istana. Dia pasti sudah bertemu Permaisuri Rahayu. Dengan kamu berada di tempat ini, Permaisuri Rahayu tidak perlu takut lagi atas ancamanmu. Begitu Yang Mulia Paduka Raja dan Permaisuri membongkar rencanamu untuk mengkudeta kerajaan ini, semua ini sudah selesai. Aku, menang."

Ah, begitu ya. Ternyata ini yang membuatnya tertawa begitu senang.

"Ah, tidak kusangka endingnya akan antiklimaks seperti ini."

"Antiklimaks untuk kita. Tapi untuk ayah, ini adalah sebuah plot twist."

"Yap. Sebuah plot twist untuk Fahren. Mind blown."

Aku, Emir, dan Inanna mengobrol santai seolah ini adalah film dimana Fahren dan Rahayu adalah tokoh utama. Di lain pihak, tawa Maila tidak lagi terdengar. Dia terdiam. Wajahnya yang sebelumnya sempat berwarna, kini kembali pucat. Bahkan, jauh lebih parah dari sebelumnya.

"Antiklimaks? Plot twist? Tidak mungkin...."

"Well, tidak heran sih kamu tidak menyadarinya. Orang normal pasti akan mempercayainya. Maksudku, dia bahkan membuatku mematahkan tangannya. Hanya orang ekstrem yang akan menduga sebaliknya."

Orang normal akan menggunakan logika, "tidak mungkin Permaisuri Rahayu di balik ini semua. Dia juga korban. Tangannya patah. Tidak mungkin dia akan menyakiti dirinya sendiri kan?". Kalau hanya sekedar lecet, mungkin orang masih bisa ragu. Namun, karena sampai patah, sulit diragukan.

"Maila, biar aku mengatakan sebuah plot twist untukmu. Yang merencanakan kudeta bukanlah aku, tapi Permaisuri Rahayu. Permaisuri Rahayu adalah dalang dibalik tewasnya anggota keluarga kerajaan."

"Tidak.....mungkin..."

Yap. Aku paham kenapa Maila sulit mempercayainya. Di mata publik, posisi permaisuri adalah sebuah posisi yang didambakan. Permaisuri bisa hidup dalam kemewahan hanya dengan membantu pekerjaan Raja dan melayaninya di ranjang. Dan, bisa dibilang, musuh permaisuri tidak terlalu banyak, hanya para selir. Musuh seorang permaisuri tidak sebanyak bangsawan yang bisa saling berkhianat dan mengambil manajemen kekuasaan wilayah lain.

Namun, sayangnya, Rahayu berpikir lain. Menjadi permaisuri memiliki risiko yang sangat tinggi. Kalau risiko itu hanya dia emban seorang diri, Rahayu tidak akan peduli. Yang repot adalah anak-anaknya juga mengemban risiko itu. Selir bisa saja menyandera atau bahkan membunuh anak-anak Rahayu untuk memaksanya mundur dari posisi permaisuri. Bahkan, hal ini sudah terjadi beberapa kali pada permaisuri yang sebelumnya.

Di lain pihak, Fahren sama sekali tidak memedulikan ini semua. Dia menganggap semua itu adalah risiko yang setimpal jika seorang wanita ingin menjadi permaisuri. Menurutku, Fahren adalah contoh laki-laki tidak bertanggung jawab. Dan, akhirnya, ketika kesempatan tiba, dia merasakan karmanya.

Kalau seandainya Fahren memilih hanya untuk menikahi satu perempuan, atau setidaknya dia tegas menyatakan posisi permaisuri tidak bisa diganti, atau setidaknya melindungi anak-anak permaisuri, atau yang lainnya, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Namun, semua itu hanya "kalau", hanya perandaian. Semuanya sudah terjadi, tidak bisa diperbaiki.

"Jadi, karena kita sudah mendapat hasil yang antiklimaks, boleh aku membunuhnya?"

"Belum! Dia masih berguna. Semoga."

Inanna mode bertarung benar-benar liar dan haus darah.

"Inanna, tolong ambil smartphoneku di saku jaket kanan."

Inanna menurut. Dia pergi ke sebelah kanan dan mengambil smartphone dari saku jaket kanan. Inanna menuruti instruksiku dan membuat sebuah panggilan. Kami menunggu. Namun, hingga akhir, panggilanku tidak diangkat.

"Halo, Yuan,"

[Ya, Lugalgin?]

Aku mencoba mencari informasi. Melalui earphone, aku memanggil Yuan.

"Tolong cari anggota Orion bernama Joseif?"

"Eh?"

Maila yang sempat terdiam akhirnya kembali merespons.

[Sebentar......Ah, ketemu. Gin, anggota Orion yang bernama Joseif ini sudah tewas.]

Karena melalui earphone, hanya aku yang mendengar balasan Yuan.

"Hei! Gin! Kenapa kamu mencari ayahku! Apa yang terjadi dengannya?"

Aku mengabaikan Maila yang membentak.

"Bagaimana dengan anggota Orion bernama Martha?"

[Dia tidak ikut pertarungan ini. Dia di rumahnya.]

"Baik, terima kasih."

Berbeda dengan sebelumnya dimana Yuan membutuhkan waktu untuk merespon permintaanku, kali ini dia bisa melakukannya dengan cepat. Yuan pasti sudah tahu setelah sang suami, aku akan menanyakan istrinya. Yuan benar-benar asisten yang terampil dan cekatan.

Ngomong-ngomong, aku cukup terkejut dengan posisi ini. Aku tidak menduga Om Joseif yang ikut pertarungan ini dan Tante Martha malah tidak. Normalnya, perempuan lebih sering ditemukan berkecimpung di dunia pasar gelap Bana'an daripada laki-laki. Kenapa? Karena laki-laki lebih polos dan naif dari perempuan. Laki-laki tidak cocok bekerja di pasar gelap. Laki-laki Bana'an lebih sering ditemukan di kepolisian, militer, atau pekerjaan normal yang lain.

"Inanna, ganti tujuan panggilan."

Inanna kembali membuat panggilan. Kali ini, hanya dua dering sebelum teleponnya diangkat. Smartphoneku membuat proyeksi di udara, menunjukkan sosok perempuan paruh baya berambut hitam.

"Tante Martha, dengarkan aku. Suamimu sudah tewas. Dan kini, Maila ada di depanku."

Seolah paham dengan maksudku, Inanna mengarahkan smartphoneku ke Maila.

"LUGALGIN! BRENGSEK KAU! KEPARAT! MATI–"

Umpatan Maila berhenti. Dia tidak menghentikannya dengan sukarela, tapi di hentikan. Kini. Di mulutnya sudah ada sol sepatu Inanna.

Tanpa aba-aba, Inanna kembali menghadapkan smartphone ke arahku.

[Apa yang kau inginkan?]

"Tante Martha, anggap kau beruntung. Karena Maila teman SMA ku, dan aku bisa bilang teman akrab, aku memberi kesempatan untuk tante mempertimbangkan kembali keputusan yang telah dibuat. Kalau tante menerima tawaranku, aku akan mengembalikan Maila dalam keadaan hidup dan tidak akan menyakitinya lebih jauh lagi."

[....baiklah, aku terima tawaranmu. Aku harap kamu pegang ucapanmu.]

Aku bilang lebih jauh lagi, bukan tanpa luka. Kenapa? Karena saat ini luka yang dialami Maila sudah cukup parah. Jadi, aku masih memegang ucapanku.

"Terima kasih, tante Martha."

Inanna langsung mematikan panggilan.

"Jangan biarkan mulutnya tertutup. Aku khawatir dia akan menggigit lidah dan membuat dirinya tercekik oleh darah."

"Kalau begitu,"

Inanna menarik sol sepatunya dari mulut Maila dan langsung melepas tendangan. Tendangan Inanna mendarat tepat di pelipis Maila, membuatnya tidak sadarkan diri.

Aku sempat khawatir Inanna menendang terlalu keras dan mematahkan leher Maila. Namun, tampaknya, aku tidak perlu khawatir.

"Yuan, aku ingin kamu mengirim tim untuk menjemput Maila, Emir dan Inanna. Maila dan Emir akan langsung menuju rumah sakit. Inanna akan kembali ke medan pertarungan, membantu anggota Agade yang masih bertarung."

[Baik!]

***

Jujur, perasaanku tidak enak. Ada apa ini? Aku sudah tahu kalau kemungkinanku untuk menang untuk kecil, tapi perasaan ini baru saja muncul. Ada apa?

Meski kuakui keadaanku saat ini tidak cukup baik, dikepung oleh serangan dari segala arah, tapi bukan ini yang kukhawatirkan. Bahkan, justru sebaliknya. Semakin banyak anggota Agade yang mengerumuniku, semakin besar kemungkinan untuk Orion menang. Aku sangat yakin pada pengendalianku. Dan bahkan aku membuat tentakel di sekitar tubuhku kecil dan terpisah-pisah, memastikan senjata penghilang pengendalian Lugalgin tidak berfungsi.

Namun, meski berada di posisi yang menguntungkan, perasaanku benar-benar tidak enak.

"Tante Hervia!"

Sebuah teriakan familier terdengar. Aku melihat ke kanan, ke salah satu jalanan kota yang seharusnya kosong. Di tengah jalan, terlihat sosok laki-laki, Lugalgin, turun dari sepeda motor. Tanpa mengatakan apapun, dia melepas peti mati yang ada di punggungnya.

Aku langsung meningkatkan kewaspadaanku. Sejauh yang aku dengar, peti mati yang dibawa Lugalgin berisi senjata. Kalau dia membukanya ke arahku, mungkin ada misil atau rudal yang akan langsung melesat ke arahku.

Eh? Apa itu? Tidak ada misil, rudal atau peluru tambahan yang melesat ke arahku. DI dalam peti mati itu hanya terlihat satu sosok. Apa sosok itu memegang senjata? Namun tidak ada peluru tambahan yang meluncur. Aku tidak merasakan ada logam dari arah Lugalgin.

Di saat itu, entah kenapa, dadaku terasa sesak. Tubuhku pun terasa agak lemas

Ada apa ini? Apa Lugalgin menggunakan gas beracun? Tidak mungkin! Kalau dia menggunakan gas beracun, dirinya juga akan menjadi korban.

Sosok...di depan...Lugalgin.....

Tanpa bisa kukendalikan, pandanganku fokus sepenuhnya ke sosok di dalam peti mati Lugalgin. Aku menyipitkan mata, berusaha mendapatkan penglihatan yang lebih jelas di antara tentakel yang bergerak cepat.

Tidak....mungkin.....

Di saat itu, Jari-jemariku kaku. Selain itu, aku bisa merasakan semua darah mengalir begitu cepat ke otak. Tanpa memedulikan apapun, mulutku hanya meneriakkan satu nama sekuat tenaga, menghabiskan semua udara di paru-paru.

Semuanya menjadi gelap, hilang. Tidak ada apapun di mataku, selain dua hal, tubuh Illuvia yang terpejam dan laki-laki di sampingnya.

"LUGALGINN!!!!"

***

Aku tetap berdiri, teguh. Meski melihat puluhan tentakel menerjang dengan cepat, aku tetap berdiri kokoh, tidak bergerak.

Satu detik berlalu. Lima detik berlalu. Tidak peduli sampai selama apa pun aku menunggu, tentakel-tentakel itu tidak akan mencapaiku.

Dalam waktu tidak sampai lima detik ini, tante Hervia mengerahkan seluruh tentakel yang dia kendalikan untuk menyerangku, menghilangkan pertahanannya. Seketika itu juga, belasan peluru bersarang di tubuh tante Hervia.

Kenapa tidak ratusan peluru? Karena Ninmar ikut maju. Tampaknya, Ninmar dan Umma berpikir walaupun ratusan peluru menembus tubuh tante Hervia, masih ada waktu beberapa detik sebelum dia benar-benar tewas dan pengendaliannya hilang. Asumsi ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli dimana manusia masih hidup selama 8 detik walaupun kepalanya sudah terpisah dari tubuh. Dan, 8 detik sudah cukup untuk semua tentakel itu membunuhku.

Oleh karena itu, kelihatannya, Umma dan Ninmar memerintahkan semua personel menghentikan tembakan. Di saat terakhir, hanya Umma yang melepas tembakan.

Saat itu juga, Ninmar maju dan menusuk tante Hervia dengan pedangnya. Karena pedang yang dipegang Ninmar adalah senjata penghilang pengendalian, pemberianku, serangannya akan menghentikan tentakel yang menerjangku.

Dan, rencana mereka berhasil. Pedang sepanjang satu meter menembus dada tante Hervia.

[Gin, kita berhasil!]

Dor dor dor dor

Aku menjatuhkan peti mati berisi Illuvia dan mengambil rifle dari arsenal. Tanpa babibu, aku melepas empat tembakan ke tangan dan kaki tante Hervia. Tembakanku pun praktis membuat tante Hervia terjatuh, telungkup, ke atas jalanan beton yang dingin.

"Jangan lengah!"

[Eh?]

Aku bisa mendengar suara Ninmar dan Umma yang terkejut melalui earphone karena dibentak.

"Pergi! Menyebar! Pastikan tidak ada anggota Orion di sekitar yang bisa menyerang. Nyawa kita belum aman selama masih ada di kota ini, mengerti?"

[Ba-baik!]

Mungkin aku terdengar dingin karena tidak memberi selamat pada mereka berdua dan justru membentak. Namun, ini demi kebaikan mereka. Aku tidak mau mereka langsung tewas karena serangan musuh.

Aku berkali-kali melihat adegan itu di komik dan film. Ketika murid mendapat pencapaian dan bahagia, dia akan melihat ke arah guru. Sang guru, juga melihat ke arah murid dengan bangga. Dengan kata lain, mereka lengah. Dan karena lengah, pemandangan itu langsung berubah drastis di panel selanjutnya. Di saat itu, pasti ada momen yang langsung membunuh si murid. Entah musuh yang bersembunyi, atau musuh yang belum benar-benar tewas, atau yang lain.

Aku tidak mau momen di komik dan film itu menjadi kenyataan. Aku tidak mau ada anggota Agade lain yang tewas. Aku tidak mau.

Menurut, Ninmar pergi dari samping tante Hervia, meninggalkan pedangnya. Kehadiran Umma juga terasa menjauh dari tempat ini.

Setelah memasukkan sniper ke dalam Arsenal, aku menutup peti mati yang tergeletak di jalan dan membawanya, mendekat ke arah tante Hervia.

"Illu.....via....."

Ketika sampai di dekat tante Hervia, aku meletakkan peti mati ini dan mengeluarkan Illuvia, membaringkannya di samping tante Hervia. Tentu saja aku memastikan wajah Illuvia, yang terpejam, menghadap ke tante Hervia.

"Terima, kasih, gin."

Meski dalam kondisi akan mati, dan jasad putrinya ada di depan mata, tante Hervia tetap mengucap terima kasih padaku. Kenapa? Karena aku memberinya kesempatan untuk melihat wajah putrinya di akhir nafas.

Kalau orang lain, mungkin mereka akan lebih fokus untuk menghina dan melempar umpatan ke arahku, tapi, Tante Hervia tidak. Dan, jujur, untukku, akan lebih mudah kalau Tante Hervia juga menghina dan melempar umpatan. Namun, aku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Aku akan menerima ucapan terima kasih Tante Hervia dan mengembannya untuk seumur hidupku.

Dan, aku tidak akan mengatakan "seandainya tante mau bekerja sama". Aku tidak akan menginjak dan menghina keputusan tante Hervia di akhir hidupnya. Daripada itu, aku lebih memilih untuk memonitor keadaan.

Melalui layar smartphone, aku melihat peta yang dipenuhi dengan titik-titik merah dan biru. Dalam waktu cepat, titik-titik merah berkurang. Titik-titik merah ini menghilang ketika bertemu dengan tiga titik biru yang bergerak ke semua tempat. Aku mengasumsikan tiga titik biru ini adalah Ninmar, Umma, dan Inanna.

Aku memilih melihat melalui layar smartphone, bukan proyeksi ke udara, karena aku tidak ingin mengalihkan perhatian tante Hervia. Biar dia menghabiskan waktunya fokus pada Illuvia.

"Illuvia, maafkan ibu. Ibu tidak bisa melindungimu. Maaf....."

Illuvia tewas bukanlah salah tante Hervia, tapi salahnya sendiri. Namun, adalah hal normal bagi tante Hervia, sebagai seorang ibu, merasa bersalah. Saat ini, dia pasti merenung, kira-kira apa yang bisa dia ubah di masa lalu untuk mencegah kematian Illuvia. Meski semua itu hanya berandai-andai, tapi, hal ini lah yang membuatnya layak disebut menjadi seorang ibu.

"Gin, aku ingin mengajukan satu permintaan,"

"Ya, tante?"

"Cabut pedang ini dan putar badanku. Dan, tolong, letakkan Illuvia di atas tubuhku. Aku ingin memeluknya untuk yang terakhir kali."

Aku tidak merasakan ancaman dari ucapan tante Hervia sama sekali. Namun, untuk berjaga-jaga, membiarkan jari telunjukku tergores oleh pedang Ninmar dan mengusap darahnya ke dada tante Hervia, langsung ke tubuhnya.

Menuruti permintaan tante Hervia, aku membuat tubuhnya terlentang dan meletakkan Illuvia di atas dalam posisi tengkurap. Meski tidak diminta, aku menggerakkan kedua tangan tante Hervia ke belakang Illuvia, membuatnya memeluk Illuvia.

"Terima kasih, gin."

"Tidak usah berterima kasih."

Aku bangkit dan berjalan menjauh, memberikan waktu sendiri untuk tante Hervia dan Illuvia.

Aku kembali mengecek layar handphone. Akhirnya semua titik merah di peta menghilang.

[Gin, dengan ini, Orion telah resmi hancur.]

***

Agade menang. Orion resmi hancur

Aku tersenyum ketika melihat pesan yang masuk. Bukan hanya aku, perempuan berkulit sawo matang dan rambut putih di seberang meja ini, Stella, pimpinan Quetzal, juga tersenyum. Tidak seperti biasa dimana pakaiannya minim sekali, malam ini dia mengenakan celana jeans dan jaket jumper normal. Di lain pihak, aku mengenakan celana, kaos, dan blazer.

"Lugalgin benar-benar tidak bisa dibendung."

"Heh, siapa dulu ibunya. Aku...."

"Hehehe," Stella terkekeh. "Kamu tidak benar-benar memiliki hak untuk mengaku sebagai ibu Lugalgin. Secara, kamu hanya melahirkannya dan membantunya makan di awal, sudah itu. Begitu dia sudah bisa makan sendiri, kamu lebih fokus membesarkan Akadia. Bahkan, dia yang membesarkan putrimu."

"Hah? Dari mana kamu mendengarnya?"

"Lugalgin. Dia juga datang kepadaku dengan tawaran itu, ingat?"

Sebenarnya, aku ingin menyanggah ucapan Stella. Meskipun begini, aku tetap ibunya. Di lain pihak, ada sebagian dari diriku yang ingin memarahi Lugalgin. Kenapa dia menceritakan aib keluarga ke pihak luar.

Namun, meski demikian, aku tidak melakukan semua itu. Ucapan Stella benar. Yang aku lakukan hanyalah melahirkan dan membesarkannya hingga balita. Setelah balita, atau lebih tepatnya setelah resmi Lugalgin menjadi inkompeten, aku lebih fokus membesarkan Akadia. Kalaupun di rumah, aku hanya bertengkar dengan Barun, tidak lebih. Aku tidak layak memanggil diriku sebagai ibu karena aku tidak bisa memberi kasih sayang yang sepatutnya didapatkan oleh anak-anakku.

Dan, Lugalgin yang menceritakan hal ini ke Stella, yang adalah orang luar, menandakan bahwa ada sebagian dari dirinya yang marah padaku. Menurutku, kemarahan Lugalgin bukan karena aku menelantarkannya. Lugalgin pasti masih marah ketika mengetahui aku adalah pemimpin Akadia tapi tidak bisa menyelamatkan anak-anak panti asuhan Sargon itu. Dan, meski tidak sadar, tampaknya Lugalgin masih memendam kemarahan itu.

Maafkan ibu, Lugalgin. Maaf.

Meski hati dan pikiran ini sedang berkecamuk, aku tidak membiarkannya muncul ke wajahku begitu saja. Aku memiliki satu skill yang bisa diandalkan, poker face.

"Jadi, bagaimana? Apa Quetzal mau mencoba melawan Akadia dan Agade? Ah, jangan lupa intelijen dan militer kerajaan."

"Tidak, terima kasih. Aku tidak mau melakukan pertarungan yang sia-sia. Lagi pula, sebagian besar anggota Quetzal, yang bangsawan, sudah menerima tawaran Lugalgin."

"Termasuk kamu?"

"Termasuk aku."

Aku masih sulit percaya kalau perempuan ini mau menerima tawaran Lugalgin.

"Ah, sebelum kamu berpikir yang aneh-aneh, tampaknya, tawaran yang diberi Lugalgin padaku berbeda dengan yang didapat bangsawan pada umumnya."

"Berbeda? Berbeda di bagian mana?"

"Hehe. Maaf, tapi aku tidak ada niatan membocorkannya. Lugalgin sendiri yang meminta agar aku tidak membocorkannya. Bahkan, aku mengatakan ini saja sudah berada di zona abu-abu. Kamu tidak mau aku mengingkari janji yang kubuat dengan putramu, kan?"

"Hah. Kalau kamu sudah berjanji dengan Lugalgin, ya sudah. Aku tidak akan mencari tahu lebih jauh."

Kalau tawaran yang diberikan pada Stella berbeda, kemungkinan ada bangsawan lain yang juga mendapat tawaran berbeda. Namun, aku akan mengabaikannya. Untuk saat ini.

Stella mengambil pena di atas meja dan menandatangani sebuah dokumen. Dia memberi tandatangan dengan luwes dan tegas, tidak tampak ada keraguan atau paksaan dari gerakan tangannya.

"Dengan ini, Quetzal resmi menghentikan perdagangan anak. Aku harap Akadia juga akan memenuhi kesepakatan ini."

"Jangan khawatir. Akadia akan menjunjung tinggi kesepakatan ini."

***

Agade menang. Orion resmi hancur. Oh, dan, aku dengar Fahren dalam perjalanan menemuimu.

Aku tersenyum melihat pesan yang masuk.

"Sayang sekali, sayang. Agade menang. Lugalgin, menang."

Aku menampilkan proyeksi pesan ini ke udara, membuatnya bisa dilihat oleh orang lain.

"Mmm....mmm..."

Tidak terdengar balasan sama sekali dari lawan bicaraku. Atau suara yang barusan dia keluarkan adalah balasannya? Kelihatannya iya.

Beberapa saat lalu, Fahren datang bersama dua orang mercenary ke kamar. Dia benar-benar yakin kalau aku dilukai dan diancam oleh Lugalgin. Lucu sekali. Aku tidak langsung membuka kartu. Aku berpura-pura untuk sejenak. Ketika dia datang, aku menunjukkan wajah bahagia, berbinar, seolah-olah bahagia dengan kedatangannya.

Fahren sempat memeluk dan mengusap punggungku, berusaha menenangkanku. Namun, tidak lama kemudian, dua mercenary yang membawa Fahren roboh. Mereka tewas, dibunuh oleh Jin.

Hingga Jin datang, Fahren masih percaya kalau aku diancam. Dia bahkan berdiri di antara kami dan berkata, "aku akan menjadi bonekamu! Jangan sakiti Rahayu lagi!". Ah, aku benar-benar ingin tertawa ketika mendengar Fahren mengatakan hal itu.

Akhirnya, aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku mengambil pistol syringe yang tersimpan di peti, tersembunyi di balik bantal, dan menyuntikkannya ke leher Fahren. Sebelum dia lumpuh, Fahren sempat berbalik dan melihat ke arahku. Pandangan terbuka lebar dan mulut menganga. Aku bisa melihat matanya yang bergetar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Dan, setelah itu, Jin mengikat Fahren dan menyumpal mulutnya. Meski sebenarnya dia tidak perlu mengikat Fahren, karena aku sudah menggunakan obat pelumpuh, Jin tetap saja melakukannya. Dia bilang berjaga-jaga lebih baik daripada menyesal.

"Fahren, apa kamu benar-benar berpikir Orion memiliki peluang menang? Haha, lucu sekali. Lugalgin sudah memiliki kuasa atas intelijen dan militer kerajaan. Apa yang menurutmu bisa membuat Orion menang? Bukan hanya itu. Lugalgin pun mendatangi bangsawan-bangsawan oposisi, membuat mereka tunduk. Menurutmu kenapa Quetzal tidak ikut bertarung? Hahahaha."

Ya. Aku mendapat laporan dari agen schneider kalau Lugalgin memberi tawaran ke pihak oposisi, menghancurkan sebagian kekuatan lawan sebelum bertarung. Lugalgin benar-benar pintar dan ahli strategi.

"Ahh.....Fahren, apa kamu bertanya-tanya kenapa aku melakukan semua ini? Mudah saja. Karena kamu membiarkan semua ini terjadi. Kamu membiarkan para istrimu saling membunuh untuk mendapatkan posisi permaisuri. Bukan hanya itu, kamu juga membiarkan anak-anakmu menjadi korban. Menjadi permaisuri adalah kehormatan dan impian? Hah! Menjadi permaisuri adalah kesalahan. Kematian mengintaiku dan anak-anakku setiap saat."

Mata Fahren terus membelalak. Aku tidak akan kaget kalau bola matanya lompat saat ini juga.

Aku benar-benar bahagia. Puas melihat Fahren yang terkejut dan tidak mampu menerima kenyataan.

Ahh...benar-benar memuaskan.

"Oke, Jin, bunuh dia. Aku sudah merasa cukup."

"Baik."

Laki-laki dengan rompi dan dasi ini maju dari pintu dan menusuk leher Fahren.

"MMMM!!!!!!"

Fahren berusaha berteriak. Namun karena mulutnya disumpal, tidak terdengar suara yang berarti dari mulutnya.

Tidak lama kemudian, tubuh Fahren tidak bergerak lagi, menyisakan tubuh tidak bernyawa di atas lantai.

"Lakukan sesuai rencana."

"Baik."

Jin menurut dan membawa tubuh Fahren.

Akhirnya aku sendirian di ruangan ini. Aku menutup pintu dan kembali duduk di kasur.

Semuanya berjalan sesuai rencana.

"Hihihihi,"

Aku tidak bisa menghentikan senyum dan tawaku.

Pandanganku tidak salah. Lugalgin benar-benar sosok yang tepat. Pandanganku sudah tertarik padanya sejak pertemuan pertama, sejak membawa Emir ke rumahnya. Tidak banyak orang yang bisa mengancam dan melawan keluarga kerajaan.

"Ah, Lugalgin. Apakah aku harus menjadi permaisuri dan kamu menjadi Rajanya? Ataukah aku saja yang menjadi Ratu dan kamu cukup menjadi suamiku? Ah....Lugalgin..."

Bersambung