Aku berdiri di atas satu dari 20 kontainer yang berserakan, memandang Ukin di sisi lain lapangan.
Aku membutuhkan 10 truk trailer panjang untung memindahkan semua kontainer ini dari Haria, jadi, aku sudah siap di sini sejak siang. Beberapa jam setelahnya, tiba-tiba Ukin datang dengan kontainer berjumlah sama.
Semua anggota Agade dan Orion tersebar di seluruh penjuru kota Abu. Aku memilih stadion bola karena tempat ini adalah yang paling lapang, memudahkanku untuk mengendalikan semua senjataku.
Awalnya, aku tidak tahu apakah Ukin datang ke stadion ini untuk bertarung melawanku atau hanya karena tempat ini lapang. Namun, perasaanku mengatakan dia memang ingin mengakhiri konflik denganku untuk selamanya.
Pakaian bertarung Ukin hampir mirip dengan kami, anggota elite Agade. Dia mengenakan pakaian igni hitam, celana kargo coklat, sepatu bot, dan jubah. Hampir sama karena dia tidak mengenakan jaket.
Ukin dan aku berdiri di ujung stadium, dipisahkan oleh lapangan sepak bola sepanjang 110 meter. Di samping stadion, layar raksasa masih menyala, menunjukkan jam 11.59. Normalnya, anggota kedua organisasi akan berada di tempat yang berbeda, menghindari konflik sebelum waktunya. Namun, aku dan Ukin sama sekali tidak mengkhawatirkan itu. Kami adalah orang yang menaati kode etik.
Selain jam dan menit, juga ada perputaran yang menunjukkan detik. Namun, aku sama sekali tidak melihat ke arah perputaran detik itu. Pandanganku fokus pada sosok di seberang lapangan. Pergerakan waktu mundur sudah otomatis muncul di kepala, terhitung sejak masuk minus 5 menit. Dan, aku yakin, Ukin melakukan hal yang sama.
Tiga puluh detik lagi.
Aku membuka semua kontainer dengan pengendalian dan mengeluarkan semua senjata yang ada di dalamnya. Seolah sedang merakit model, aku menyambungkan semua senjata yang telah dibuat khusus. Aku melompat ke kepala lipan, membiarkan sudut pandangku semakin tinggi. Dalam waktu kurang dari 10 detik, sebuah lipan raksasa dengan panjang hampir 400 meter dan lebar 5 meter sudah bersiap.
Aku tidak membuat banyak lipan seperti sebelumnya, tapi hanya fokus pada 1 lipan panjang. Dan, satu perbedaan lain adalah posisi senjata tajam dan senjata api di dalam lipan ini tidak menentu, acak. Hanya orang-orang dengan pengendalian utama tembaga dan telah menjalani latihan berat sepertiku lah yang bisa mengetahui lokasinya dengan pasti.
Di sisi lain lapangan, ribuan pedang dan senjata api beterbangan dan berputar bagaikan pusaran angin. Di tengah-tengahnya, terdapat sosok yang menaiki satu pedang seolah dia sedang bersiap untuk berselancar, Ukin. Tidak akan berlebihan kalau aku mengatakan pedang dan senjata api yang dikendalikan Ukin memenuhi langit stadium. Dan, kami sama-sama memegang pedang di tangan kanan dan assault rifle di tangan kiri.
"Lugalgin, aku ingin kamu meletakkan pembicaraanku dan Ukin sebagai prioritas. Ada sesuatu yang harus kamu dengar."
[Baiklah. Aku sudah memindahkan pembicaraan kalian ke saluran pribadi. Jadi, hanya aku yang bisa mendengarkan.]
Aku sama sekali tidak menduga Lugalgin akan langsung menjawab. Tampaknya, dia mulai menyadari ada hal lain di balik perseteruanku dengan Ukin. Dan, aku tidak heran kalau dia tidak curiga. Saat ini, satu-satunya hal yang mencegah Lugalgin memeriksa masa laluku dan Ukin hanyalah karena kami berdua juga murid Lacuna. Dia menghormati privasi kami. Kalau bukan, semua masa lalu kami pasti sudah diketahui olehnya.
Suara sirene terdengar kencang.
Aku menggerakkan Lipan ke bawah, melayang tidak terlalu tinggi dari tanah. Di lain pihak, Ukin memilih berselancar di atas pedangnya dari ketinggian.
"Selamat tinggal!"
Dengan ratusan atau bahkan ribuan senjata yang dia kendalikan, Ukin melepaskan tembakan. Dia menghujani stadium ini dengan peluru, literally.
"Dalam mimpimu...."
Aku membuat lipan ini berhenti dan mengibaskan ekornya. Sambil menghalau semua peluru yang mendekat, aku membuat semua senjata api di ekor melepaskan tembakan. Meski bentuknya lipan, gerakannya sama sekali tidak mirip lipan. Aku menggerakkannya semauku, tidak ada pola gerakan.
Ukin tidak diam begitu saja. Dia menggunakan pedang yang dia kendalikan untuk mengelak peluru yang mendekatinya.
Tembakan yang dilepaskan tidak benar-benar terarah dan kami tidak benar-benar berharap akan membunuh lawan hanya dengan ini. Kami lebih menggunakan ribuan peluru yang beterbangan sebagai pengalih perhatian. Tidak hanya peluru, kadang, kami melemparkan beberapa granat, membuat ledakan dimana-mana.
Dalam waktu kurang dari 1 menit, lapangan bola ini sudah berubah menjadi tanah penuh lubang. Bukan hanya lapangan bola. Tribune, layar raksasa, dan gedung di sekitar pun tidak lepas dari peluru dan granat yang melayang ke semua arah.
Kepala lipan menuju ke atas. Menerjang ke tengah-tengah senjata yang melayang. Meski ukuran lipan ini besar, pengendalianku membuat gerakannya cepat. Dalam waktu singkat, aku berhasil mencapai Ukin. Pedang kami pun berhadapan.
"Akhirnya kita bisa menyelesaikan semua masalah ini, Ukin."
"Aku tidak memiliki masalah denganmu. Kamu yang memiliki masalah denganku?"
"Hah? Benarkah?"
Ukin dan aku sama-sama melepas tembakan dari assault rifle di tangan kiri. Namun, kami sama-sama menghindar. Pedang di tangan kanan saling bertikai. Namun, bukan hanya pedang di tangan kanan. Semua senjata di sekitar kami juga saling bertikai. Ukin terus melepaskan tembakan dari segala arah. Sama, lipan raksasa ini terus melepaskan tembakan dan meluncurkan senjata tajam sebagai proyektil. Dari luar, pemandangan ini seperti sebuah lipan dikerubungi oleh nyamuk yang beterbangan.
"Akhirnya kamu serius. Tidak seperti di rumah sakit yang menjaga jarak karena berusaha melindungi perempuan itu, kali ini kamu benar-benar serius ingin mengakhiri hidupku."
"Tentu saja serius, sebagai senior dan kakak yang baik, aku harus sungguh-sungguh jika ingin menghukummu, kan?"
"Senior? Kau bukan seniorku! Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa yang benar-benar senior sebagai murid Lacuna."
"Bukan senior yang itu, tapi yang lain."
Ketika mendengarku, Ukin sedikit berkedut. Meski sejenak, sangat singkat, Ukin tampak terkejut. Dan, waktu yang sangat singkat ini membuat pedangku hampir menebas tubuh Ukin. Namun, dia bergerak cepat dan menahannya. Meski demikian, pedangku terlalu dekat dengan tubuhnya. Dengan siku yang terlipat hampir 180 derajat, sulit baginya menghalau pedangku. Satu-satunya pilihan adalah mundur.
Ukin, dengan berselancar di atas pedang, mulai mundur. Namun, aku tidak membiarkannya begitu saja. Lipan ini terus mengejar Ukin. Aku, dari atas kepala Lipan, terus dan terus melancarkan serangan ke Ukin.
"Tidak seperti Lugalgin yang menghormati privasi kita, aku yakin kamu sudah menyelidiki latar belakangku, kan, Ukin? Di lain pihak, aku tidak perlu menyelidikimu untuk mengetahui latar belakangmu."
"Ah, itu ya yang kamu maksud."
Ukin berhenti sejenak lalu mengambil dua pedang lain di udara dan memegangnya di tangan kanan. Ukin tidak menggenggam ketiga pedangnya dengan kepalan, melainkan di antara jari. Ukin mengayunkan assault rifle ke arahku tapi berhasil kuelak. Namun, ternyata, Ukin tidak mengayunkan assault riflenya, dia melemparnya dan mengambil tiga pedang lain. Kini, Ukin memegang enam pedang di kedua tangan.
Aku melempar assault rifle di tangan kiri dan mengambil senapan laras panjang dengan bayonet. Gerakanku lebih cepat, jadi aku bisa menusuknya dengan bayonet dengan segera walaupun terlambat. Namun, Ukin bergerak cepat dan memasukkan bayonetku di antara tiga pedang di tangan kanan. Dengan putaran tangan, dia mencoba melempar bayonetku. Namun, aku menahannya.
Karena Ukin berusaha melempar bayonetku, aku bergerak ke samping kiri untuk mengimbanginya. Tidak mau aku berputar ke belakangnya, Ukin juga mengikuti pergerakanku. Kami pun mulai bergerak ke samping. Kami berdua sudah melayang di atas ketinggian stadium, jadi tribune tidak langsung hancur. Namun, aku lupa dengan tubuh lipan raksasaku. Begitu aku yang di kepalanya keluar stadium, tubuh lipan menghantam dan menghancurkan stadium. Kini, kami bertarung di jalanan.
Sementara satu tangan terkunci, satu tangan yang lain masih saling menyerang dan mengelak serangan lawan. Selama waktu ini juga, tebasan-tebasan lain mendarat di tubuh kami. Jalan pikiran kami sama. Kalau hanya luka gores kecil, tidak usah dielak atau dihindari, tapi kalau luka yang fatal, harus.
Jubah anti peluru mulai hancur dan mengganggu pandangan. Aku meluncurkan beberapa senjata tajam dari kepala lipan dan juga pedang di tangan kananku ke arah Ukin. Sementara dia mengelak senjata yang kuluncurkan, aku membuang jubah ini dan mengambil senjata lain dari kepala Lipan. Ukin melempar jubahnya ke arahku, bermaksud menghalangi pandanganku. Namun, aku berhasil menebasnya.
Walaupun jubah yang dikenakan Ukin adalah anti peluru, dengan ketajaman pedang dan sudut menebas yang tepat, aku bisa memotongnya dengan mudah.
"Jadi, apa kamu sudah bisa menyimpulkan kenapa aku membenci Lugalgin?"
"Ya. Sangat bisa. Jawabannya sederhana, kamu iri."
Ukin tidak menolak ucapanku mentah-mentah, dia masih tersenyum sambil bertukar serangan.
Semua bangunan di tempat ini tidak ada yang lolos dari kerusakan. Pilihannya adalah hancur karena terkena hantaman lipan raksasa, berlubang oleh gerakan pedang Ukin, menjadi tempat mendarat peluru, atau terkena ledakan granat.
"Aku tidak mengelaknya. Aku memang cemburu."
Aku mengerahkan tenaga di tangan kiri, membuat bayonetku dan tiga pedang Ukin terlepas. Pedang lain meluncur dari kepala lipan ke tanganku dan Ukin mengambil pedang lain yang melayang. Kami kembali bertukar serangan.
"Lugalgin, dengarkan aku. Ukin dan aku adalah keluaran Panti Asuhan Sargon."
[...]
Lugalgin tidak memberi respon, tapi aku akan mengasumsikan dia mendengarnya.
"Kenapa kamu melakukannya di tengah pertarungan? Kenapa tidak nanti saja setelah pertarungan kita selesai?"
"Karena belum tentu aku masih hidup nanti. Sedangkan sebelum pertarungan terakhir ini, aku sibuk dengan persiapan Agade."
Ukin melompat mundur dan meluncurkan puluhan pedang ke arahku. Aku meluncurkan puluhan pedang dari kepala Lipan. Sebagian pedang masih lolos, membuatku terpaksa mengelaknya dengan pedang di tangan.
Ukin kembali mendekat. Namun, kali ini, dia yang mendorongku mundur.
"Begitu ya. Namun, jangan salahkan aku kalau konsentrasimu sempat buyar karena berbicara di tengah pertarungan. Aku tidak akan ragu-ragu."
"Benarkah demikian?"
Aku membuat kepala lipan ini terburai menjadi ratusan senjata. Jika dilihat dari jauh, kepala lipan ini seolah menjadi butiran pasir. Namun, aku hanya melakukannya sejenak untuk menjatuhkan tubuhku ke bawah, memberi jarak, sambil melakukan serangan. Sementara kepalanya hancur, ekor lipan bergerak ke samping, menghancurkan gedung yang menghalangi dan menuju Ukin. Sabetan ekor sukses membuat Ukin terpental dan menembus tiga dinding gedung.
"Nama Ukin yang sebenarnya adalah Arya. Kami sama-sama anak panti asuhan Sargon."
Sebuah gedung terangkat dan terlempar ke arahku. Namun, karena lipan ini tersusun atas ribuan senjata, gedung yang dilempar Ukin tidak memberi efek yang berarti. Lipan ini terburai untuk sesaat, membiarkan gedung terjatuh, dan kembali terbentuk.
Sementara kepala lipan terburai, aku melayang ke samping untuk menghindar lalu kembali ke atas kepala.
Tidak berhenti pada satu gedung. Dua, tiga, empat, dan seterusnya. Ukin terus melempar gedung ke arahku. Dengan pengendalian besi, dia mengangkat kerangka gedung dan melemparnya.
Aku tidak ingin menguraikan dan membentuk lipan ini berkali-kali. Ketika menguraikannya, aku harus menghentikan peluru yang meluncur dari tubuh lipan. Kalau begitu, sama saja pertahananku akan terbuka untuk sejenak. Oleh karena itu, aku memilih menghancurkan gedung yang datang dengan sabetan ekor lipan.
"Aku tiga tahun lebih tua dari Tasha. Arya lebih tua setahun dari Tasha. Jadi, sebenarnya, kami berdua sama-sama lebih tua darimu, gin. Aku tidak pernah bertemu denganmu langsung karena saat berumur 12 tahun, aku sudah keluar panti asuhan. Arya, di lain pihak, keluar sebelum aku."
Aku tidak mau hanya menerima serangan. Lipan ini pun turun ke atas jalan dan bergerak cepat. Kali ini, aku tidak menghancurkan gedung yang datang, hanya menghindarinya.
Melihatku yang bergerak di jalan, di antara gedung, Ukin pun merobohkan dua gedung untuk menguburku. Karena material yang terbuat dari aluminium dan ferum sedikit jika dibandingkan semennya, Ukin tidak bisa menggerakkan gedung dengan cepat seperti aku menggerakkan lipan raksasa. Oleh karenanya, aku masih bisa memukul gedung itu dengan ekor lipan dan membuatnya roboh ke tempat lain.
"Arya memiliki pengendalian ferum dan aluminium. Dan, kebetulan, sebagian besar alat rumah tangga terbuat dari ferum dan aluminium. Gara-gara ini, dia tidak mengikuti aturan panti asuhan yang mengharuskan kita tidak bergantung pada pengendalian. Tidak jarang dia merasa spesial dibandingkan anak panti asuhan yang lain."
Aku menebaskan pedang ke samping kiri. Tepat di sebelah kiriku, Ukin tiba-tiba muncul dengan tebasan pedang. Tubuh Ukin sudah penuh luka. Bahkan, di beberapa bagian tubuh, terlihat kaca yang menancap. Pertukaran serangan menjadi jarak pendek kembali. Dan, tentu saja, di sekitar kami masih ada ribuan peluru beterbangan setiap menitnya, membuat lawan siaga.
"Selama di panti asuhan, karena pengendaliannya, Arya mengundang rasa iri anak lain. Mereka ingin Arya juga tidak menggunakan pengendalian untuk kegiatan sehari-hari, sama seperti mereka. Ditambah dengan sifat Arya yang congkak dan arogan, hubungannya dengan anak panti asuhan pun semakin memburuk. Bahkan–"
Ukin memotong, "aku hanya menggunakan apa yang aku miliki sejak lahir! Apakah aku salah?"
"Menggunakan apa yang kamu miliki sejak lahir tidak salah. Yang salah adalah kesombongan dan sikapmu yang merendahkan anak panti asuhan lain. Dulu, kamu selalu menganggap semua orang di bawahmu. Bahkan sifat ini masih awet beberapa tahun ketika aku bertemu denganmu, ketika kamu menjadi murid Lacuna."
Serangan Ukin semakin intensif. Aku pun harus meningkatkan intensitas serangan untuk mengimbanginya.
"Ketika Bu Aria dan anak lain mencoba menjauhi Arya, untuk memberinya pelajaran, hanya satu anak yang tidak melakukannya, Tasha. Tasha tidak setuju dengan langkah bu Aria dan menganggap Ukin pasti mau berubah tanpa perlu dijauhi. Dia masih mencoba menarik dan membujuk Ukin agar mau berteman dengan yang lain. Dan, karena hal itu, Tasha menjadi cinta pertama Arya."
Aku melangkah mundur dan melepaskan tembakan dari kepala Lipan. Ukin menghindar dan melepaskan tembakan dari belakangku. Aku mengendalikan beberapa senjata tajam di bagian kepala lipan untuk membentuk perisai berlapis di belakang. Namun, aku lengah. Salah satu tembakan yang menghantam perisai berlapis adalah granat. Ledakannya membuatku terpisah dari kepala lipan.
Meski terpisah dari lipan, aku tidak membiarkan seranganku berhenti begitu saja. Aku membuat agar lipan itu langsung menerjang Ukin. Hanya mendorong, memberi tekanan. Namun, kalau beruntung dan Ukin masuk ke mulut lipan, ratusan pedang akan menusuknya dari semua arah.
Karena fokus pada serangan, aku membiarkan pertahananku berkurang. Aku menghantam dan menjebol jendela salah satu gedung. Aku lebih berharap menghantam dinding beton daripada jendela. Kalau menghantam jendela, seperti sekarang, beberapa bilah kaca pun akan menancap. Bahkan, jaket dan celana anti peluru ini tidak bisa menahan kaca secara penuh.
Bukan hanya badan. Beberapa kaca pun menancap di wajahku. Ah, sial! Tampaknya aku harus operasi wajah lagi setelah pertarungan ini berakhir.
Meskipun sedang diserang oleh lipan, Ukin tidak menurunkan serangannya. Puluhan pedang menembus dinding beton dan meluncur ke arahku. Aku lebih memilih untuk menghindar. Jika masih berada di atas kepala lipan, aku akan mengelak atau menangkis serangan Ukin. Walaupun pedangku rusak atau patah, aku bisa mengambil yang lain. Namun, saat ini, menghindar adalah pilihan yang tepat. Sambil menghindari semua serangan, aku berusaha menuju ke samping gedung.
Sementara itu, aku melanjutkan monolog ke Lugalgin.
"Sayangnya, keadaan berkata lain. Karena Arya terus membuat masalah, dia pun diusir pada usia 9 tahun, 1 tahun sebelum kamu datang. Tidak lama kemudian, aku dan beberapa anak lain juga keluar dari panti asuhan karena menginjak usia 12 tahun. Kami tidak mau membebani panti asuhan lebih lama lagi dan memutuskan untuk keluar."
Sekarang!
Aku berlari dan melompat ke salah satu lubang di dinding.
"Sial!"
Tepat di depanku, terlihat sosok tubuh Ukin yang didorong oleh Lipan dan mengumpat. Aku tidak menebasnya, tapi menendangnya dari belakang, membuatnya masuk ke mulut lipan. Seharusnya.
Tiba-tiba saja sebuah kumpulan pedang datang dan menghancurkan kepala lipan, membuat tendanganku hanya melemparkan Ukin. Dalam waktu singkat, aku sudah kembali di atas kepala lipan yang terbentuk kembali.
"Meski sudah keluar dari panti asuhan, aku masih sering menelepon, bertukar kabar. Dan, dari situ, aku mendengar namamu, Lugalgin. Aku masih teringat Tasha yang sesenggukan waktu bercerita ketika kamu pertama kali datang ke panti asuhan. Dia tidak tega melihat anak yang lebih muda darinya mengalami hidup yang berat."
Ukin kembali. Kali ini, dia membawa sebuah tombak. Aku melempar pedang di tangan ke lipan dan menggantinya dengan tombak. Kalau aku masih menggunakan pedang, Ukin lah yang akan mengatur jalannya pertarungan.
"Tasha juga menelepon ketika kamu tidak datang beberapa hari berturut-turut. Dia semakin panik saat mendengar gosip kekerasan yang kamu alami semakin parah, hingga tanganmu patah. Kamu tidak tahu betapa repotnya aku berusaha menenangkan Tasha gara-gara kamu menghilang selama saat itu."
Beberapa seranganku berhasil menusuk tangan dan kaki Ukin. Namun, tubuhku pun tidak lolos dari tusukan Ukin.
"Apa kamu tahu Lugalgin," Ukin menyambung. "Suatu ketika, aku berkunjung ke panti asuhan, berharap dapat bertemu dengan Tasha. Memang, dia masih menyambut hangat dan masih menerimaku. Namun, Tasha tidak henti-hentinya membicarakan tentang kamu, kamu, dan kamu."
Aku melanjutkan, "Tasha berkata, itu adalah terakhir kalinya dia bertemu dengan Arya. Beberapa tahun kemudian, tragedi itu terjadi. Ketika aku menelepon, teleponku tidak menyambung. Ketika pulang, aku mendapati panti asuhan Sargon tidak ada. Bukan hanya panti asuhan. Aku tidak mengenal satu pun orang di tempat itu. Sempat terpikir untuk menghubungimu, tapi aku mengurungkannya. Dan, gara-gara kejadian itulah aku mulai terjun ke pasar gelap, mencari informasi mengenai panti asuhan Sargon."
Ukin kembali meluncurkan pedang ke punggungku. Namun, kali ini, aku lebih awas. Aku membentuk lipan yang lebih kecil, sepanjang 5 meter, untuk menghalau serangan Ukin.
"Beberapa bulan setelahnya, aku mendapatkan informasi mengenai Tasha. Namun, aku sama sekali tidak menyukai informasi itu. Informasi yang kudapat adalah Tasha sempat dijadikan pelacur dan lalu dibuang setelah tewas. Tubuhnya tidak ditemukan. Setelah itu, aku putus asa. Dan, ketika sedang minum di satu bar, Lacuna mendatangiku, memberi tawaran untuk menjadi muridnya. Dan, aku menerimanya."
Sebuah memori datang ketika aku menenggak bir dari botol. Saat itu, tiba-tiba, seorang perempuan berambut putih datang dan mengatakan berbahaya untuk perempuan muda sepertiku minum sendirian di bar.
"Beberapa bulan kemudian, Lacuna mempertemukanku dengan kalian. Aku masih mengenali wajah Arya walaupun dia sudah mengganti nama menjadi Ukin. Wajahnya tidak banyak berubah. Namun, aku yakin dia tidak mengenaliku karena aku sudah operasi ganti wajah saat itu. Hingga sekarang, aku ragu Ukin mengenaliku."
"Aku tidak perlu mencari identitas orang lain yang tidak penting. Dan, ngomong-ngomong, aku sudah menjadi murid Lacuna sebelum panti asuhan Sargon menghilang. Jadi, aku memang benar-benar senior kalian."
"Ah, begitu ya. Setelah Tasha jatuh hati pada Lugalgin, dengan posisi patah hati, kamu jatuh hati pada Lacuna, gurumu. Masuk akal."
"Diam!"
Ayunan tombak Ukin menjadi sangat kuat, membuat tombakku terlepas. Aku mengambil tombak lain dan kembali menghadapi Ukin.
"Lugalgin, kamu tidak tahu bagaimana marahnya aku ketika Lacuna memperkenalkanmu sebagai muridnya. Kamu, orang yang telah merebut Tasha dariku, seorang inkompeten, tanpa pengendalian, menjadi murid Lacuna? Bukan hanya itu! Kamu juga rutin datang ke apartemen Lacuna. Laki-laki dan perempuan di satu apartemen yang sama jelas melakukan hal itu. Namun, aku berusaha menolaknya. Aku tidak ingin mempercayainya."
"Namun," aku menyambung. "Ukin, kamu akhirnya menyadari kalau Lacuna lebih memilih Lugalgin ketika dia mengatakan tidak akan membersihkan Agade dengan syarat. Ini menyulut kemarahanmu, membuatmu hampir membunuh Lacuna."
"Saat itu, di tengah keputusasaanku, aku berusaha menyerang keluarga Cleinhad beberapa kali. Namun, koneksi mereka terlalu banyak. Bahkan, mereka bisa membuat organisasi tingkat enam pilar bergerak untuk memburuku. Dan lalu, ketika keluarga Cleinhad dibantai, aku tahu hanya ada satu orang yang bisa melakukannya, yaitu kamu, Lugalgin."
"Ah, jadi buronan yang diinginkan oleh keluarga Cleinhad saat itu adalah kamu, Ukin. Haha. Kami tidak tahu karena Agade tidak mau berurusan dengan keluarga Cleinhad."
"Beberapa tahun aku menjadi mercenary tanpa arah, hanya menjalani hari demi hari. Suatu ketika, di saat terluka, aku dipertemukan dengan Maila. Dia benar-benar mengubahku. Berkat dia, aku menyadari cara pandangku mengenai pengendalian adalah salah. Namun, apa kamu tahu dia mengatakan apa? Dia bilang, 'aku memiliki teman bernama Lugalgin. Tampaknya, dia ingin menghancurkan kerajaan ini. Aku tidak mau kerajaan ini hancur. Aku tidak mau hidup sengsara,'."
Oke. Bagian ini baru aku dengar.
"Lugalgin. Kenapa kamu selalu hadir di hidupku? Kamu merebut Tasha, cinta pertamaku. Setelah itu, kamu tidur dengan Lacuna, cinta keduaku. Kamu bahkan menghancurkan keluarga Cleinhad, yang seharusnya kuhancurkan sebagai pelampiasan amarah. Tidak berhenti sampai situ. Kini, kamu mau menghancurkan hidup Maila? Aku tidak akan membiarkanmu!"
Sebuah ledakan kembali muncul dari belakang. Namun, kali ini berbeda. Ledakan ini hanya mengeluarkan asap.
Ukin melompat. Entah dari mana, sebuah pedang sepanjang 20 meter datang dan mendarat di tangannya.
Aku membuat lipan di belakangku melilit tanganku dan menahan tebasan Ukin. Kalau terus berusaha menahannya, tanganku bisa hancur. Aku pun membiarkan tubuhku terdorong ke bawah. Tebasan Ukin sukses membuatku dan lipan besar terjebab di atas tanah.
Begitu melihat ke langit, aku membenci mataku. Jadi ini, ya alasan dia tiba-tiba berbicara banyak. Dia ingin mengalihkan perhatianku.
"Sial!"
Terlihat puluhan gedung sudah melayang di langit, tidak memiliki celah. Kalau ini siang hari, pasti aku sudah menyadarinya karena gedung-gedung itu akan menghalangi sinar matahari. Namun, karena malam, aku menyadarinya terlambat.
"Begitu kamu tewas, Lugalgin selanjutnya."
Ukin terbang ke atas. Dia bisa menggeser gedung itu sedikit dan melewatinya.
Seketika itu juga, gedung-gedung itu turun, berusaha melumatkanku. Aku tidak bisa bergerak dengan leluasa karena di bawah gedung-gedung masih ada ribuan senjata api menghujani peluru dan senjata tajam siap menusuk.
Gedungnya terlalu banyak. Walaupun bergerak ke samping, aku tidak akan bisa menghindarinya. Satu-satunya cara adalah memanfaatkan tatanannya yang dijejer ke samping. Aku hanya bisa berharap dari cakupannya yang luas, Ukin tidak meletakkan gedung lain di atasnya, membuatnya berlapis.
Aku membuat lipan raksasa mengelilingiku. Sekarang, daripada lipan raksasa, kumpulan logam ini lebih mirip kaki seribu yang melingkar.
Aku melepaskan tembakan, melontarkan granat, dan meluncurkan senjata tajam ke atas, berusaha menghancurkan gedung yang datang. Terus dan terus, tanpa henti, aku melancarkan serangan. Dinding semen dan beton terlihat hancur dan berlubang karena peluru. Namun, sayangnya, hanya sebagian dinding yang hancur. Bahkan, aku tidak yakin tembakanku menghancurkan tiga perempat gedung.
Akhirnya gedung-gedung itu mencapai tanah, berusaha melumatku.
"AAAHHHH!!!!!!"
Aku berusaha menahan beban gedung ini dengan lipan yang menggulung. Namun, bukan hanya bobot gedung, aku bisa merasakan tekanan lain, pengendalian Ukin. Aku terus mengendalikan lipan ini. Karena bukan satu lipan besar, melainkan tersusun atas ribuan senjata, lipan ini bisa hancur dan membuatku terlumat oleh gedung.
Semakin memperburuk keadaan, aku bisa mendengar ledakan dan tembakan yang masih muncul dari luar lipan. Bahkan, aku merasakan beberapa ledakan yang mungkin berasal dari luar gedung.
Sial. Kekuatanku semakin habis. Aku bisa merasakan sebagian dari lipan ini mulai terburai, mempersempit jarakku dengan gedung. Dan, akhirnya, gedung ini sepenuhnya jatuh dengan posisi aku di bawahnya, menguburku hidup-hidup.
"Uhuk, uhuk,"
Aku terbatuk pelan. Tubuhku terasa begitu berat, dan sakit. Bukan hanya gedung yang berada di atasku, bahkan, senjata tajam yang menyusun lipan ini pun menusukku seluruh tubuhku, tidak terkecuali rangka besi yang membuat kakiku bisa bergerak. Nafasku terasa berat. Bukan hanya karena luka, tapi juga karena semua gedung dan senjata yang menguburku.
Karena tidak ada satu pun senjata yang menusuk organ vital, aku cukup beruntung, atau tidak. Meski tidak menusuk organ vital, terlalu banyak senjata menusuk tubuhku. Tidak hanya luka tusuk. Beberapa bagian tubuhku sudah mengalami luka bakar karena ledakan yang tadi. Ditambah tempat ini berada di pegunungan. Dengan darah terus mengalir, aku akan mati karena kehabisan darah. Dalam prosesnya, aku akan kesulitan bernafas, tercekik oleh udara yang tipis. Dengan kata lain, aku akan mati tersiksa.
[Halo, Mulisu, apa kamu masih hidup?]
Tiba-tiba saja terdengar suara dari earphone.
"Lugalgin, mungkin aku–"
Sebelum menyelesaikan kalimat, aku tiba-tiba terhenti. Awalnya, aku ingin mengatakan, "mungkin aku tidak akan bertahan hidup lebih lama,". Namun, aku mengurungkan niatku. Aku belum mau mati.
Tidak! Bukan belum mau! Aku belum boleh mati!
Aku mengerahkan seluruh stamina dan pengendalianku yang tersisa, mengangkat lipan ini dari dalam reruntuhan. Sayang sekali, aku tidak bisa mengangkat seluruh lipan. Saat ini, aku hanya bisa mengendalikan lipan sepanjang 20 meter. Dengan sekuat tenaga, aku dan lipan 20 meter akhirnya keluar dari dalam timbunan gedung dan senjata.
"Ternyata kamu masih hidup ya."
Aku memandang ke langit, melihat Ukin yang melayang. Tidak terlihat ada pedang atau senjata api atau apapun yang melayang di dekatnya. Senjata yang ada di dekat Ukin hanyalah tombak di tangan dan pedang yang dia jadikan sebagai pijakan.
Ukin melempar tombak ke langit. "Namun, tidak akan lama."
Dengan pandangan setengah kabur dan tertutup darah, aku melihat tombak di tangan Ukin hancur menjadi kepingan-kepingan tajam kecil. Dia akan menggunakan serangan efektifnya, membunuhku dengan kepingan logam, hujan meteor. Lipan 20 meter ini tidak akan bisa melindungiku. Serangan Ukin tetap akan melubanginya.
"Apa kamu mau aku menyebut nama seranganku seperti dulu? Sama seperti Lugalgin?"
"Tidak, terima kasih."
"Baiklah."
Tanpa mengatakan apa pun, aku bisa melihat beberapa titik pantulan cahaya menerjangku dengan cepat.
Tadi, aku berpikir pisau lipan menusuk tubuhku adalah senjata makan tuan. Namun, saat ini, aku sangat bersyukur. Aku melepas pengendalian pada lipan dan fokus pada semua senjata tajam yang menusukku.
"Apa?"
Dengan mengendalikan senjata tajam yang menancap di tubuhku, sama halnya dengan aku mengendalikan tubuh ini. Karena menggunakan pengendalian, aku bisa menggerakkan badanku lebih cepat. Namun, teknik ini bukan tanpa efek samping. Karena aku menggerakkan senjata tajam ini dengan cepat, terjadi sedikit perubahan lokasi. Sebagian senjata menusuk semakin dalam, sebagian hampir terlepas. Rasa sakit pun muncul ketika aku bergerak.
Setelah menghindar, aku langsung menuju ke Ukin, menabraknya. Normalnya, tabrakan saja tidak akan cukup untuk membunuh Ukin. Namun, aku memastikan agar yang menabrak Ukin adalah senjata tajam yang telah menembus tubuh dan tanganku. Dengan kata lain, senjata tajam yang ujungnya siap menusuk.
"Agh..."
Beberapa bilah pedang menusuk dada Ukin. Aku kehabisan stamina sepenuhnya dan kami berdua terjatuh ke atas reruntuhan. Meskipun Ukin jatuh di bawah, sedikit meredam jatuhku, sebagian senjata tajam masuk semakin dalam ke tubuhku.
Kalau tubuh Ukin tidak mengalami luka sedikit pun, dia akan mampu menghindar atau setidaknya memutar tubuh, membuat pedang ini menusuk hanya di tangan atau kaki. Namun, luka yang dialami Ukin selama pertarungan ini tidak sedikit. Walaupun tidak mengancam nyawa, dia tetap kehilangan stamina dan konsentrasi. Dan, semua itu berakhir dengan serangan terakhirku.
"Aku tidak mengira kamu akan senekat ini, Mulisu."
"Hehehe, kita sama-sama murid Lacuna. Apa yang membuatmu, berpikir aku tidak akan nekat?"
"Benar juga. Haha."
Aku yang terjebab di atas tubuh Ukin bisa merasakan dadanya yang bergerak saat dia bicara. Aku bisa mendengar detak jantung Ukin yang semakin melambat.
Kami tidak bisa berbicara normal. Ucapan kami sama-sama putus-putus.
"Mulisu, sebelum tewas, bolehkah, aku mengetahui namamu, yang sebenarnya?"
"Aku kira, kamu, sudah mengetahuinya,"
"Belum. Sampai sekarang, aku tidak tahu namamu. Aku hanya tahu, kamu keluaran panti asuhan Sargon."
Kenapa? Apa dia masih menghormati privasiku? Atau dia hanya merasa informasi mengenai namaku tidak penting? Sudahlah. Tidak ada gunanya memikirkan hal itu.
"Melinda. Namaku, Melinda."
"Ah, Kak Melinda ya. Begitu ya..."
Aku tidak lagi merasakan dada Ukin yang naik turun. Tidak lagi terdengar suara detak jantung. Apakah ini berarti Ukin sudah tewas?
Dan, melihat keadaanku, tidak lama aku akan menjemputnya. Perlahan, dingin semakin merayap ke seluruh tubuhku. Nafasku pun semakin pendek, semakin sulit untukku bisa bernafas. Mataku terasa begitu berat. Tanpa bisa dicegah, mataku pun terpejam.
Lugalgin, tampaknya, setelah ini kamu yang harus mengurus Agade.
Maafkan aku, Lugalgin.
Bersambung