"Apa kalian Serius?"
Meski mengatakannya bersamaan, aku yakin apa yang ada di pikiranku dan Yurika berbeda. Kenapa? Karena cara pandang kami berbeda. Sementara aku sudah tahu kalau permaisuri Rahayu adalah sosok yang licik, Yurika, hingga kini, masih belum menerimanya.
"Ya, kami serius."
Emir memberi respon lemah terhadap pertanyaan kami. Matanya terlihat sayu. Tampaknya, dia sama sekali tidak mengharapkan respons positif dari kami. Tidak! Aku revisi. Menurutku, Emir tampak sayu dan murung karena dia tahu kakaknya tidak akan pernah menerima ide ini. Dia pasti sedih keluarganya sendiri tidak mendukungnya di saat seperti ini.
"Apa Lugalgin sudah gila?"
"Tidak. Lugalgin tidak gila." Emir merespons datar. "Dia sendiri sebenarnya sudah bingung harus melakukan apa. Apa pun yang dia lakukan akan memiliki dampak buruk baginya, dan bagi kami calon istrinya."
"Lalu ini?"
"Ini adalah ideku."
"Eh?"
Yurika terperanjat ketika mendengar ucapan Emir. Tampaknya, dia masih belum menerima fakta kalau adiknya memiliki jalan pikiran yang berbeda dengannya.
Sementara itu, aku mencoba memikirkan ide Emir baik-baik. Aku akui tawaran yang diberi olehnya sangat menarik. Namun, aku lebih ingin tahu apa yang mendorong Emir untuk memberi ide ini dan kenapa Lugalgin menyetujuinya?
Ah! Aku butuh informasi. Aku ingin segera keluar dari sini.
"Emir, tawaran ini juga berlaku untuk kami, keluarga Herizzeta, kan?"
"Ya, tawaran ini juga berlaku bagi keluarga Herizzeta. Bahkan, dalam waktu dekat, kami akan mendatangi bangsawan-bangsawan yang berkuasa untuk memberikan tawaran yang sama."
"Kamu gila!" Yurika memotong pembicaraanku dan Emir. "Apa kamu pikir akan ada bangsawan yang setuju dengan ide ini? Tidak! Mereka tidak akan setuju! Aku bahkan tidak yakin ibu menyetujuinya!"
Yurika terus berbicara dengan nada tinggi. Di lain pihak, Emir tidak memberi respons. Pandangannya masih sayu. Aku jadi kasihan pada Emir.
"Sayang sekali, Yurika, ada bangsawan yang sudah menyetujui ide ini."
"Jeanne, tidak mungkin...."
Aku berjalan ke ujung dan berteriak. "Wahai kakak dan adikku dari keluarga Herizzeta, kalian sudah mendengar ide Emir, kan? Apakah ada dari kalian yang tidak setuju?"
"TIDAK!"
"A–"
"Kak Aaron, kalau kamu menolak, kami akan pastikan kamu akan terpisah dari kami. Dan, jangan harap bantuan dalam bentuk apapun di masa depan."
"...."
Tidak ada respon lain. Berarti, semuanya setuju.
Meski ruangan ini dipisahkan oleh kaca anti peluru, selain pintu kecil di bawah untuk memberi makan, masih ada beberapa lubang kecil untuk sirkulasi udara dan berbicara. Jadi, dengan berteriak, aku sudah bisa berbicara dengan yang lain.
Dan, sesuai dugaanku, tidak ada seorang pun dari keluargaku yang akan menolak tawaran ini. Ya, tidak ada. Tawaran ini sangatlah indah. Bahkan, tidak salah kalau aku bilang tawaran ini too good to be true.
Ya, tentu saja, tawaran ini hanya indah untuk orang-orang seperti kami yang berpikir realistis. Untuk orang yang tidak berpikir realistis dan masih mementingkan harga diri dan kehormatan keluarga kerajaan dan bangsawan, tawaran ini sangat tidak masuk akal.
Meski sedikit, aku bisa melihat ujung bibir Emir yang naik. Aku senang bisa membuat perasaannya lebih enteng.
"Dasar pengkhianat!"
Dan, sialnya, ujung bibir Emir kembali turun ketika mendengar ucapan Yurika. Emir bukan keluargaku, tapi melihatnya seperti ini membuatku ikut sedih.
Aku mencengkeram kerah piama Yurika dan melemparkannya ke atas kasur. Aku masih berbaik hati karena tidak menghempaskannya ke dinding.
"Yurika, jujur, aku kecewa padamu. Aku pikir kamu akan memahami jalan pikir Emir. Ternyata tidak."
"Hah? Kecewa? Harusnya aku yang kecewa! Kalian sudah mengkhianati kerajaan–"
"Kalau aku mengkhianati kerajaan, kamu sebut apa ibumu yang mengkudeta Raja Fahren dan bahkan bersandiwara dengan semua luka itu, huh?"
"Tidak! Aku masih tidak percaya kalau ibu melakukan semua itu!"
Perempuan ini benar-benar keras kepala. Dulu, aku selalu mengira Yurika sebagai sosok yang pintar dan cerdas. Dan, yang lebih penting, mengetahui sisi gelap sistem kerajaan dan bangsawan Bana'an. Namun, tampaknya aku salah. Yang dia pahami hanyalah politik keluarga kerajaan dan birokrasi formal. Dia sama sekali tidak memahami mengenai cara kerja Bana'an dan pasar gelap yang sebenarnya.
"Jeanne," Emir menyela. "Kakak tidak tahu apa-apa. Harap maklum."
"Tidak, Emir!" Aku membentak Emir. "Aku tidak akan memakluminya. Yurika lebih tua dari kita, tapi dia masih belum paham bagaimana kerajaan ini berjalan. Jujur, awalnya, aku ingin menceritakan sisi gelap kerajaan ini setelah kakakmu sudah bisa menerima fakta kalau ibu kalian memang bersandiwara dan ikut turut serta dalam penyerangan itu. Namun, sayangnya, saat itu tidak tiba juga. Dan kalau hal sesederhana itu saja dia tidak mau percaya, apalagi semua hal mengenai sisi gelap Bana'an? Aku....kecewa."
"Kamu–"
Aku menyela, "Yurika! Dari tadi, kamu terus marah dan mencaci makiku dan Emir. Tapi, apa kamu melihat ke Emir baik-baik? Apa kamu melihat raut wajah yang ditunjukkan oleh Emir."
"Jeanne–"
"Diam, Emir!" aku menyela lalu kembali menceramahi Yurika. "Apa aku harus mengatakannya lagi? Kamu kira Emir melakukan semua ini dengan senang hati? Tidak? Dia melakukan ini dengan terpaksa karena kehidupannya dan calon keluarganya terancam. Lihat raut wajahnya! Lihat bagaimana tidak ada cahaya di matanya! Lihat kerut di wajahnya! Apa menurutmu itu wajah orang yang melakukan semua ini dengan senang hati?"
Aku berjalan ke kasur, mendatangi Yurika. Aku menarik kerah piama Yurika dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Ini bukan pertama kalinya Emir menunjukkan raut wajah seperti itu. Apa yang membutakanmu hingga kamu tidak mampu lagi melihat kesedihan adikmu yang terpampang jelas?"
Yurika membuka mulut, tapi tidak ada satu patah pun kata yang terdengar. Dia menengok ke Emir sejenak, lalu membuang wajah. Tampaknya, dia baru menyadari raut wajah sedih yang dipasang oleh Emir.
"Jujur. Aku sedikit berharap kamu akan berubah karena melihat wajah Emir yang seperti itu setiap dia datang dan juga dengan fakta kalau ibumu hanya bersandiwara. Apakah kamu sebodoh ini, Yurika?"
Aku melepas kerah piama Yurika dan duduk di atas kasur.
"Emir, kamu pergi lah dulu. Aku akan mencoba mengatakan borok Bana'an kepada semua orang di tempat ini, terutama hubungannya dengan pasar gelap."
"Tapi–"
"Emir," aku terus menyela. "Ayah mengetahui borok dan sisi gelap kerajaan ini, tapi dia justru mengkhianati Lugalgin yang berusaha memperbaikinya, yang berujung pada pembersihan keluarga kerajaan dan agen schneider yang berkhianat. Keluargaku dan keluargamu, bahkan kakakmu ini, terselamatkan karena kamu dan Permaisuri Rahayu memilih untuk tidak mengkhianati Lugalgin. Kalau kakakmu masih memilih akan memilih Lugalgin, dan tewas, setidaknya, dia harus tahu apa yang dia lawan dan apa yang dia bela. Ini juga berlaku untuk yang lain!"
***
"Jadi, apa tujuan tante Hervia menceritakan semua ini?"
Tante Hervia tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan dingin ke arahku. Sebelum menjawab, tante Hervia menenggak satu gelas teh dingin di kanannya.
"Kamu pasti sudah menyadari maksudku, tapi aku akan mengatakannya dengan tegas. Agade, Akadia, dan Guan, yang tidak dimiliki dan dijalankan oleh bangsawan adalah gangguan bagi kerajaan ini. Uang yang kalian dapatkan dari pasar gelap hanya lari ke dompet pribadi kalian, tidak ada kontribusi untuk keamanan dan stabilitas kerajaan ini."
Akhirnya tante Hervia mengatakannya. Dengan begini, kesalahpahaman sudah dicegah.
Untuk bagian Agade dan Guan, aku setuju karena kami memang tidak memberi kontribusi langsung pada keamanan dan stabilitas kerajaan, berbeda dengan bangsawan yang mengalokasikan banyak dana yang mereka dapat dari pasar gelap ke kerajaan. Walaupun membayar pajak, jumlah yang kami bayar hanyalah sebagian kecil, yang tercatat. Yang dari pasar gelap? Tentu saja tidak tercatat, jadi tidak terkena pajak.
"Untuk Agade dan Guan, aku setuju. Namun, sayangnya, untuk Akadia tidak," aku menyanggah. "Dari informasi yang kuhimpun, lebih dari setengah anggota Akadia adalah bangsawan. Dan bahkan, ibuku sendiri walaupun bukan bangsawan juga memberikan banyak sumbangan ke yayasan dan rumah sakit di kerajaan ini. Dan lagi, meski Akadia adalah organisasi pasar gelap, sebagian besar pemasukan mereka melalui jalur legal. Akadia hanya seperti perkumpulan orang-orang sukses. Jadi, pajak yang mereka bayar ke negara pun sangat besar."
Dan, sebagai catatan tambahan, salah satu dari empat anggota Badan Eksekutif Siswa SMA Eksas, Arde yang adalah bangsawan, berada di Akadia. Orang yang membawanya pun bangsawan.
"Dan, jujur, orang-orang seperti ibumu yang berada di zona abu-abu adalah orang yang paling mengganggu."
Ya, benar. Orang-orang seperti ibu adalah orang-orang yang paling mengganggu di pasar gelap kerajaan ini. Memang benar kalau ibu tidak berasal dari keluarga bangsawan, sehingga normalnya, uang yang dia raih akan masuk ke dompet pribadi. Namun, sayangnya, ibu memberikan sumbangan besar pada bidang sosial dan kesehatan kerajaan ini. Bahkan, tidak jarang juga ibu memberi bantuan langsung kepada korban bencana atau mengirimkan ransum ke medan perang.
Di lain pihak, ibu juga membantu para bangsawan untuk mendapatkan penghasilan sehingga daerah yang mereka kelola bisa stabil walaupun terjadi bencana atau hal tidak terduga lain. Dan walaupun terjadi hal tidak terduga, anggota lain Akadia baik bangsawan dan rakyat jelata akan memberi bantuan kepada bangsawan tersebut.
Secara sederhana, Akadia adalah sebuah organisasi pasar gelap yang paling ideal. Dan, sebagai efeknya, Akadia membuat organisasi pasar gelap lain terlihat buruk. Namun, sayangnya, organisasi seperti Akadia adalah anomali. Bahkan, anggotanya adalah kumpulan orang-orang anomali.
Dari informasi yang kudapat, hampir semua anggota Akadia adalah orang-orang hebat dan berbakat. Latar belakang mereka pun sangat mendukung seperti mendapatkan pendidikan yang memadai atau lingkungan tumbuh yang ideal. Jadi, ketika melihat ketidakadilan, mereka lebih tergugah dari orang lain. Dan, tentu saja, organisasi lain tidak bisa dituntut menjadi seperti Akadia.
Quetzal, Orion, dan Apollo dipimpin dan dijalankan oleh bangsawan. Meski melakukan perdagangan anak, mereka memiliki kewajiban kepada kerajaan. Jadi, sebagian orang menganggap hal ini bisa diterima.
Guan terdiri dari mercenary yang melakukan pekerjaan kotor semua orang, baik bangsawan, kerajaan, maupun pasar gelap. Dan lagi, Guan tidak melakukan perdagangan anak, jadi organisasi lain tidak bisa protes juga karena secara kemanusiaan mereka lebih unggul. Sedikit.
Agade tersusun oleh orang-orang yang disakiti dan menjadi korban pasar gelap Bana'an. Kabar ini sudah beredar luas. Jadi, walaupun uang yang didapatkan dari pasar gelap masuk ke kantung pribadi, tidak ada yang protes secara terbuka. Anggota Agade berhak mendapatkan semua uang dan kemewahan itu sebagai timbal balik atas apa yang dilakukan kerajaan kepada mereka.
"Lalu, apa yang tante Hervia inginkan? Apakah tante Hervia ingin pasar gelap kembali ke kondisi dulu? Memperjualbelikan anak dengan bebas? Kalau begitu, jika suatu ketika Orion hancur dan Illuvia dijual sebagai salah satu komoditi, tante Hervia tidak bisa protes dong."
"Lalu, apa kamu ada ide yang lebih baik?"
"Sebenarnya, keadaan sebelum ini adalah kondisi terbaik dimana setiap organisasi pasar gelap memiliki situasinya masing-masing. Namun, dengan hancurnya Apollo dan Guan, keadaan pun berubah. Belum lagi peperangan dengan kerajaan Nina. Karena perang tambahan ini, situasi dan kondisi Bana'an semakin memburuk."
"Dan peperangan dengan kerajaan Nina...."
Untuk satu hal, mengenai perang dengan Kerajaan Nina, kami sependapat.
"Jujur, kalau aku boleh bilang, lebih baik kita tidak usah terlalu memikirkan alasan dibalik perang pasar gelap ini."
"....hah?"
"Yang kita lalui saat ini, perang pasar gelap, seperti namanya, adalah perang. Dan seperti halnya perang, semua pihak memiliki ideologi dan pendapatnya sendiri. Semua orang merasa paling benar. Jadi, daripada duduk dan membicarakan hal ini, kita selesaikan saja peperangannya. Dan, seperti biasa, biar sang pemenang yang menulis sejarah."
Tante Hervia tidak langsung memberi respon. Dia melihat tajam ke arahku, lagi. Namun, tidak lama kemudian, dia menghela nafas berat.
"Tampaknya aku memang tidak bisa mengubah pikiranmu, ya."
"Sayangnya tidak," aku menjawab sambil memberi senyuman. "Ngomong-ngomong, aku memiliki sebuah saran. Sebenarnya, ini bukan ideku sih. Aku sendiri sudah buntu. Ide ini berasal dari Emir. Tolong dengarkan baik-baik."
Aku memberi penjelasan mengenai ide Emir pada tante Hervia. Tante Hervia mendengarkan dengan saksama, tidak memotong sama sekali. Setelah beberapa saat, penjelasanku pun selesai.
"Bagaimana menurut tante?"
"Jujur, ide Emir sangat-sangat menarik. Hanya orang tidak rasional yang akan menolaknya. Namun, sayangnya, aku adalah satu dari orang tidak rasional tersebut."
"Meski sudah menduga jawaban tante Hervia, aku masih menyayangkannya. Boleh aku tahu alasannya, tante? Aku ingin mendengarnya langsung."
"Noblesse Oblige. Aku tidak mungkin kan meninggalkan wargaku begitu saja? Kalau aku melakukannya, menurutmu, berapa banyak warga yang akan tewas selama proses peralihan? Warga yang aku selamatkan melalui semua pengorbanan itu akan hilang sia-sia. Hal itu sama saja aku menyia-nyiakan pengorbanan mereka, kan?"
Tante, kamu mengatakannya seolah mereka mengorbankan diri dengan senang hati. Padahal, kamu merenggut pilihan itu dari mereka. Namun, aku sendiri tidak akan mempermasalahkan hal ini. Kalau Tante Hervia menerima ide ini, sama saja dia menerima kalau usahanya selama ini, melakukan semua pengorbanan itu, adalah sia-sia.
Apakah keputusan tante Rasional? Tidak. Tentu saja tidak. Tante Hervia sendiri sudah mengatakannya.
"Lalu, Gin, tambahan terakhir. Karena Bana'an dalam kondisi berperang melawan Nina, aku tidak ingin perang pasar gelap ini berlangsung lebih lama lagi. Jadi, aku memiliki sebuah saran. Setelah masa gencatan senjata berakhir, kita selesaikan semuanya dalam satu pertarungan. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju. Bahkan, kalau tante mau, kita bisa mengurangi masa gencatan senjatanya."
"Tidak usah. Masa gencatan senjata kita kurang dari satu minggu. Biar satu minggu terakhir ini kita habiskan untuk bersantai dan bersama keluarga."
"Baiklah kalau begitu. Aku bisa memastikan Agade setuju. Akadia bisa aku lobi, mudah. Tapi, bagaimana dengan Quetzal?"
"Aku akan melobi mereka. Pendiri dan pemimpin Quetzal adalah bangsawan dengan integritas sepertiku, tidak seperti Apollo yang suka membuat masalah. Quetzal pasti akan menyetujuinya."
Baiklah. Kalau saran tante Hervia berhasil, peperangan akan menjadi 2 vs 2.
Tante Hervia menyeringai. "Tampaknya, aku terpaksa harus membuat Illuvia bersedih setelah kamu tewas."
"Tante Hervia mengatakannya seolah Orion akan menang. Tapi, ya, meskipun Orion kalah dan tante tewas dalam proses, Illuvia tetap akan bersedih. Tapi, kalau Illuvia berpartisipasi dan tewas sebelum tante, setidaknya, dia tidak akan merasa sedih."
"Illuvia berpartisipasi? Apa yang membuat berpikir demikian?"
"Satu alasan, Maila. Dia....tunggu dulu, apa tante sudah tahu kalau Maila berpartisipasi pada perang pasar gelap ini?"
"Tidak. Ini adalah hal yang baru sampai di telingaku."
"Ung, selama ini, apakah ada perempuan bersama Ukin?"
"Ya, ada satu perempuan..... dia Maila?"
Karena tante Hervia terkejut, aku bisa memperkirakan Maila mengenakan topeng silikon, mengubah wajahnya. Namun, aku agak terkejut tante Hervia tidak bisa mengenali Maila dari aura keberadaannya.
Apakah hanya kami murid Lacuna yang bisa mengenali orang lain cukup dari keberadaannya? Apakah kami aneh? Ya, sudahlah.
"Tante, Maila adalah alasan kenapa Illuvia menyamar sebagai Sarru. Dan, bukan aku berburuk sangka, tapi kecemburuan bisa menjadi bahan bakar yang sangat efektif. Bisa saja Illuvia berpikir kalau yang menyebabkan aku menjadi seperti ini adalah Emir dan Inanna. Dengan sedikit bisikan, bisa saja dia berusaha membunuh dua calon istriku agar aku mengubah pikiranku. Kalau ini terjadi, maaf, tapi aku tidak bisa menjamin keselamatannya."
"Itu. Harus. Aku. Cegah."
Aku tersenyum. Menurutku, sudah saatnya percakapan ini diakhiri. Aku menekan monitor di samping, di dinding, dan memesan beberapa daging, sayuran, dan minuman. Tidak lama kemudian, pintu diketuk. Aku berdiri dan mempersilakan pelayan masuk. Selain daging dan sayuran, ada beberapa gelas minuman beralkohol.
Setelah pelayan keluar, aku kembali duduk.
"Gin?"
"Biar aku yang bayar. Anggap saja ini makan bersama kita yang terakhir, last supper. Setelah ini, kita tidak mungkin makan bersama lagi, kan? Tidak ada salahnya sedikit lewat batas."
Ya. Dulu, sewaktu SMA, tante Hervia sering mengajak kami anggota badan eksekutif siswa SMA Eksas makan bersama seperti ini. Setelah lulus, kami tidak pernah lagi melakukannya. Dan, saat ini, bisa dipastikan adalah saat terakhir aku bisa makan bersama tante Hervia.
"Baiklah, Gin. Aku akan terima tawaranmu. Aku tidak akan menahan diri."
Bersambung