Tok tok
"Masuk!"
Aku berteriak dari balik meja, mempersilakan siapa pun yang mengetok pintu.
Sudah tiga hari sejak Mari dimakamkan. Operasi Hurrian pun berjalan lancar. Dia akan hidup. Namun, aku tidak yakin apakah setengah lumpuh masih bisa dibilang hidup.
Saat ini, aku berada di kantor, sendiri. Meski ingin bersedih karena kematian Mari dan tragedi menimpa Hurrian, aku masih memiliki banyak pekerjaan dan musuh. Masih ada Quetzal, Orion, dan juga Ukin. Selain itu, aku juga harus segera menemukan Weidner dan Shanna. Aku tidak mau nyawa mereka melayang karena keterlambatanku.
Aku membaca semua dokumen mengenai pergerakan Quetzal dan Orion. Tampaknya, aliansi oposisi telah kandas karena Quetzal mengakuisisi bangunan vital Apollo. Dan, meskipun, mungkin, sebenarnya yang dilakukan Quetzal disebabkan oleh masalah pribadi dengan Apollo, Orion tidak bisa mempercayai organisasi yang menusuk rekannya dari belakang begitu saja.
Di lain pihak, aku belum mendapatkan info mengenai pergerakan Ukin, Maila, dan juga Fahren. Terakhir aku mendengar kabar adalah ketika Ukin mengirim kurir untuk menyatakan gencatan senjata. Padahal, aku sempat mengira kalau mereka akan menggunakan Fahren untuk menumbangkan posisiku dan menyelamatkan Permaisuri Rahayu yang tampak disandera. Tampak.
"Gin,"
Yuan membuka pintu. Terlihat dia mendekap sebuah laporan tebal.
Maaf ya Yuan, aku melimpahkan pekerjaan pembagian aset Apollo dan ganti rugi rumah sakit ayah padamu.
"Tolong jangan minta maaf. Ini sudah pekerjaanku sebagai asistenmu."
"....aku tidak mengatakan apa pun."
"Aku bisa melihatnya dari wajahmu."
Hah? Benarkah? Aku cukup yakin sudah memasang poker face. Perempuan ini, Yuan, hampir setajam Emir, Inanna, dan Mulisu. Padahal, dia baru mengenalku.... dua bulan? Atau tiga bulan? Entahlah. Intinya, dia mengenal paling singkat tapi sudah mampu membaca apa yang tersembunyi di balik poker faceku.
"Oke, kita abaikan itu. Jadi, ada apa?"
"Ada yang ingin menemuimu. Dan, menurutku, kamu harus menerimanya."
Dia benar-benar bisa membaca pikiranku yang bermaksud menolak tamu tidak diundang ini. Kalau sudah seperti ini, tidak mungkin juga aku menolaknya.
"Baiklah. Persilakan dia masuk."
Yuan melangkah minggir dan menahan pintu.
Dari pintu, terlihat sebuah sosok perempuan remaja berambut hitam panjang dikepang samping. Dia Mengenakan kaos V-neck biru muda dengan rok panjang. Benar-benar penampilan yang tampak murni, pure, dan langka. Aku penasaran kapan terakhir kali melihat perempuan berpenampilan seperti ini.
"Aku sudah membuat pesanan pada OB untuk membuatkan minuman dan mengantarkannya ke sini." Yuan mengalihkan pandangan ke perempuan itu. "Maaf, saya terpaksa pergi."
"Ah, ya. Terima kasih banyak, Bu."
Aku bisa melihat pelipis Yuan yang sempat berkedut. Namun, dia tidak mengatakan apa pun dan pergi meninggalkan ruangan. Tampaknya, dia terkejut, dan terganggu, karena dipanggil Bu.
"Maaf, apa aku mengganggu."
Aku langsung berdiri dari kursi kerja dan pindah ke sofa. "Ah, tidak apa. Santai saja. Silakan duduk di sofa."
Sebenarnya, ya, kamu mengganggu. Namun, entah kenapa, aku tidak bisa mengatakannya. Kehadiran perempuan ini terasa begitu familier. Namun, aku tidak mengenal wajahnya. Siapa perempuan ini?
Kami berdua pun duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja kaca rendah.
"Jadi, ada apa? Atau mungkin, maaf, apa saya mengenal Anda?"
Perempuan ini tersenyum masam, "tampaknya ucapan Hanna benar. Kak Lugalgin benar-benar tidak memeriksaku lagi semenjak operasi wajah itu selesai. Atau aku harus memanggilnya Mari?"
Begitu perempuan ini mengatakan hal itu, aku mengerti kenapa kehadirannya terasa begitu familier. Dia adalah salah satu anak panti asuhan Sargon. Dan, seperti ucapannya, setelah memfasilitasi mereka untuk operasi wajah dan membuat identitas baru, aku tidak menemuinya lagi, memberi jarak antara kami agar dia tidak terseret ke masalah lain.
Yang bisa kulakukan hanyalah menyewa informan untuk mengetahui kabarnya dan menggunakan jasa kurir untuk mengirimkan uang padanya setiap bulan.
"Aku dengar Apollo sudah hancur. Dan, Weidner dan Shanna juga sudah tewas, bersamaan dengan kabar salah satu anggota elite Agade tewas."
Aku tidak mendengar semua ucapan perempuan ini. Telingaku berhenti aktif ketika dia mengatakan Weidner dan Shanna juga sudah tewas. Apa tidak salah?
Dan, tampaknya, kali ini, aku tidak mampu mempertahankan poker face.
"Dari reaksi Kak Lugalgin, tampaknya, Mari telah menepati janjinya untuk membendung segala informasi mengenai Weidner dan Shanna. Jujur, aku tidak tahu harus senang atau khawatir melihat hal ini."
Tunggu dulu! Membendung informasi mengenai Weidner dan Shanna? Mari berjanji melakukan hal itu? Kenapa?
Seketika itu juga, semuanya terhubung di otakku. Bahkan, orang normal pun sudah bisa menduga-duga kenapa Mari membendung informasi mengenai mereka berdua atau kenapa anggota elite Agade meminta agar aku menunggu Hurrian memberi laporan lengkap mengenai kematian Mari dan siapa lawannya. Ya, semuanya sudah terhubung.
Aku menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangan. Saat ini, aku merasa begitu malu dan bersalah. Aku tidak mampu menatap perempuan di depanku ini.
"Apollo....apa kamu Lili?"
"Ya, benar...."
Ya. Dari semu anak-anak yang temukan, hanya Lili yang memiliki hubungan dengan Apollo. Organisasi tempat dia berada mengatakan mereka mendapatkan Lili dengan harga murah dari seseorang di Apollo. Dan seseorang itu adalah...
"Yang membuatmu tidak mampu memiliki keturunan.....adalah Weidner dan Shanna?"
"Sebenarnya, yang membuatku tidak mampu memiliki keturunan, dan menjualku, adalah Shanna. Weidner..." Lili terdiam sejenak. "Dia yang merenggut keperawananku dan meniduriku berkali-kali."
Seketika itu juga, tubuhku terasa begitu kaku. Di satu sisi, aku ingin marah pada Weidner dan Shanna. Di satu sisi, aku merasa begitu sedih atas apa yang menimpa Lili. Aku sama sekali tidak menduga yang merenggut keperawanan Lili dan menidurinya berkali-kali adalah Weidner, teman satu panti asuhannya sendiri.
Dan, tampaknya, baik Lili maupun Mari tahu kalau aku berusaha mati-matian untuk mencari anak-anak panti asuhan. Dan, aku bisa menduga ini juga lah yang membuat Mari membendung informasi mengenai Weidner dan Shanna. Dan, mungkin, ini juga lah yang membuat Mari ingin membunuh Weidner dan Shanna dengan tangannya sendiri.
Mari ingin melindungiku dari fakta bahwa orang yang kucari adalah pelaku yang menyakiti Lili. Dengan kata lain, secara tidak langsung, aku lah yang sudah membuat Hurrian setengah lumpuh. Aku lah yang sudah membunuh Mari. Ya, ini semua salahku.
Salahku.
"Ini bukan salah Kak Lugalgin!"
Tiba-tiba saja Lili memegang kedua tanganku dan membukanya, memaksaku melihat wajahnya. Tanpa aku sadari, dia sudah merendahkan badan di depanku.
"Kak Lugalgin, ini semua bukan salah Kak Lugalgin. Bahkan, sebenarnya, Kak Lugalgin tidak memiliki kewajiban untuk mencari kami semua."
"A, apa maksudmu? Tentu saja aku memiliki kewajiban itu. Kalian semua adalah–"
"Kami hanyalah anak yatim piatu, tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara atau kerabat. Kami bukan siapa-siapa. Dan, yang menimpa kami adalah hal yang lumrah terjadi pada anak yatim piatu kerajaan ini. Aku menyadarinya. Kami semua yang menjadi korban menyadarinya. Kami tidak spesial. Kami hanyalah satu dari banyak komoditas kerajaan ini."
"Tidak! Kalian bukan komoditas! Kalian telah memberiku sebuah rumah, tempat aku merasa diterima, merasa tenang, dan aman...."
"Kak Lugalgin..."
Ucapanku mulai terpatah-patah, "kalian adalah orang pertama yang memberiku ketenangan dan keamanan. Kalian lah yang membuatku tahu apa arti rumah yang sebenarnya. Kalian, bukan orang tuaku, tapi kalian. Kalian lah yang pertama."
Tanpa bisa aku tahan, air mata pun mengalir. Dalam beberapa hari terakhir, ini adalah ketiga kalinya aku menangis. Aku tidak yakin masih memiliki harga diri sebagai seorang laki-laki, apalagi pemimpin Agade.
Kalian, anak-anak dan pengurus panti asuhan Sargon, adalah satu-satunya alasan kenapa aku bersedia hidup hingga saat ini. Meski aku sudah mengatakan ingin mengayomi dan melindungi Emir dan Inanna, pada akhirnya, aku sadar kalau kalian adalah orang yang terpenting bagiku.
"Kak Lugalgin,"
Lili merengkuh tubuhku, memelukku. Dia tidak membenamkan wajahku ke dadanya seperti yang dilakukan oleh Emir dan Inanna. Lili memeluk dan menyandarkan kepalanya di dadaku. Tidak membenamkan wajah, hanya menyandarkan kepala.
"Kak Lugalgin, kami semua sangat berterima kasih karena Kak Lugalgin telah menganggap kami seperti itu. Kami juga berterima kasih karena selama ini Kak Lugalgin tidak menyerah untuk mencari kami. Kami benar-benar bersyukur. Aku benar-benar bersyukur Kak Tasha membawa Kak Lugalgin saat itu."
"Lili....."
Cklek
Tiba-tiba, tanpa mengetok atau meminta izin, pintu ruang kerja terbuka. Aku tidak tahu siapa yang masuk. Namun, keberadaan mereka memberi rasa yang familier. Apa....
"AH! Lili curang! Sudah datang duluan sebelum waktu yang disepakati, mencuri kesempatan memeluk lagi!"
Tanpa melepaskan pelukan dariku, Lili menoleh ke pintu dan menjulurkan lidah.
Tanpa aku sempat berkata apa pun, remaja lain sudah berhamburan masuk ke ruangan. Dalam waktu singkat, ruangan ini menjadi penuh dengan remaja yang wajahnya tidak aku ketahui. Namun, aku bisa merasakan kehadiran mereka yang familier.
Begitu mereka semua, 14 orang, masuk, Lili pun melepaskan pelukan dariku. Dia bersama yang lain, berdiri di samping ruangan, di depanku.
"Siapa yang akan memimpin?"
"Aku saja!"
"Eh! Enak saja! Aku!"
"Tidak! Aku!"
Melihat mereka semua yang mengobrol enteng dan bersenda gurau, aku menjadi yakin kalau mereka adalah anak-anak panti asuhan yang masih hidup.
Total, ada 14 orang berdiri di depanku. Sepuluh Orang, termasuk Mari, Weidner, dan Shanna, telah tewas. Lalu, Dua orang tidak hadir, yang satu koma, yang satu tidak sadarkan diri.
Tasha, maafkan aku. Aku tidak bisa menyelamatkan mereka semua.
"Sudah, sudah, segera mulai."
"Iya, benar! Wajah Lugalgin sudah mulai cemberut tuh. Kalau kita tunggu lebih lama lagi, Kak Lugalgin akan menyalahkan dirinya lagi."
Tampaknya, poker faceku belum aktif lagi. Tidak, bukan belum aktif lagi. Namun, aku tidak ingin mengaktifkan poker face di depan mereka. Maksudku, bersama mereka, aku merasa begitu tenang, nyaman, dan aman. Mereka adalah keluargaku.
"Kak Lugalgin,"
Dipimpin oleh Lili, akhirnya, mereka mengatakan sesuatu secara bersamaan.
""Terima kasih atas segala yang telah Kak Lugalgin lakukan. Kami amat sangat berterima kasih.""
Tiba-tiba saja, mereka semua mengepalkan tangan kanan, menghantamkannya ke bahu kiri, dan membungkukkan badan. Mereka melakukan sebuah penghormatan terbesar seorang kesatria. Aku tidak tahu dari mana mereka memelajarinya. Namun, pemandangan ini, membuatku tidak bisa berkata-kata, speechless.
"Mungkin Kak Lugalgin mengira kalau Kak Lugalgin gagal karena 12 dari kami tidak bisa berada di sini sekarang."
"Justru sebaliknya, Kak Lugalgin. Tanpa usaha Kak Lugalgin, tidak akan ada seorang pun dari kami yang berdiri di sini sekarang."
"Kak Lugalgin, kami benar-benar berterima kasih karena Kak Lugalgin telah menyelamatkan kami."
"Berkat uang yang Kak Lugalgin kirim setiap bulan, kami sudah dapat hidup mandiri dan bahkan memiliki tabungan hingga hari tua. Kami benar-benar berterima kasih."
"Jadi, kami mohon dengan sangat, jangan tundukkan kepala Kak Lugalgin. Kami ingin Kak Lugalgin berjalan dengan gagah dan bangga karena telah menyelamatkan kami."
Mereka semua mengatakan itu secara bergantian. Karena tidak pernah melihat wajah mereka setelah operasi, aku tidak tahu siapa yang mengatakan apa.
""Sekali lagi, terima kasih, Kak Lugalgin.""
Pada bagian akhir, mereka kembali mengatakan itu semua secara bersamaan.
Di saat itu, dadaku terasa agak sesak. Tanpa bisa aku tahan, ujung bibirku sedikit naik. Apa aku tersenyum? Tampaknya demikian.
Tasha, Mari, apa ini tidak apa-apa? Apa aku berhak menerima ucapan terima kasih mereka? Tapi, aku gagal menyelamatkan 10 orang. Bahkan, dua orang masih terbaring, tidak bisa bangun. Aku merasa belum pantas mendapatkan ini sem–
Namun, pikiranku terpotong. Mereka semua memberikan sebuah senyum terbaik dan terindah yang pernah kulihat, melebar dari ujung ke ujung. Entah kenapa¸ senyuman mereka terasa begitu menenangkan dan mendamaikan, seolah mencoba mengingatkanku kalau mereka masih hidup dan bisa tersenyum.
"Terima kasih kembali,"
Tanpa kusadari, kata-kata itu muncul dari mulutku.
Mereka tampak terdiam. Tiba-tiba saja, mereka menangis dan mengerumuniku.
"Eh?"
"Kak Lugalgin.... uwaa..... akhirnya aku bisa bertemu Kak Lugalgin....."
"Kak Lugalgin....terima kasih....terima kasih...."
"Kak Lugalgin...."
***
[Apa kamu yakin?]
"Ya, aku yakin. Setidaknya, dengan pergi ke negaramu, mereka akan terlepas dari mata pasar gelap kerajaan ini. Etika pasar gelap kerajaan ini melarang siapa pun untuk mengejar orang yang sudah kabur ke luar negeri. Karena saat ini ada gencatan senjata, tidak ada momen lain untuk memindahkan mereka. Dan lagi, aku memercayakan mereka pada Mercenary terhebat. Apa kamu mau bilang keputusanku salah?"
[Aku tidak menganggap keputusanmu salah, tapi, apa kamu sudah bisa merelakan mereka pergi, lepas dari pengawasanmu di Bana'an?]
Menggunakan handphone candybar yang tidak bisa dilacak, aku menelepon satu orang yang paling kupercaya, Lacuna.
Saat itu, setelah mengobrol lama dengan remaja panti asuhan Sargon, mereka sepakat untuk meninggalkan Bana'an. Dengan meninggalkan Bana'an, mereka bisa meninggalkan pasar gelap. Dan, yang terpenting, menurut mereka, aku tidak perlu merasa waswas karena khawatir mereka akan terseret ke perang pasar gelap.
Awalnya, aku ragu untuk memberi persetujuan. Namun, mereka memaksa. Akhirnya, aku setuju dengan satu syarat. Mereka pergi ke negara pilihanku dan berada di bawah perlindungan kenalanku. Atau lebih tepatnya, guruku.
Untuk pengobatan Nia dan Hurrian, akan diteruskan di negara itu. Ketika aku mengonsultasikan hal ini pada ayah, dia tidak keberatan. Melalui koneksi, ayah berhasil memindahkan perawatan Hurrian di negara tersebut.
Aku sering lupa kalau ayah mengambil sekolah spesialis di luar negeri. Dan kalau ayah memiliki koneksi dengan dokter pasar gelap kerajaan ini, normal baginya memiliki koneksi dengan dokter di negara lain, baik dunia normal maupun pasar gelap.
"Jujur, aku sendiri masih khawatir dan takut karena tidak bisa mengawasi mereka dengan jaringan intelijen dan pasar gelap yang sudah kubuat di Bana'an. Namun, mereka tidak bisa aku kekang selamanya. Mereka bukan anak-anak lagi. Dan lagi, mereka hanya lebih muda dariku beberapa tahun. Selisih umur kami tidak jauh."
[Jadi, umur mereka sama dengan umurmu ketika bersamaku, ya?]
"Bisa dibilang begitu."
[Hmm....]
"Untuk bayaran–"
[Lakukan saja per bulan. Anggap saja seperti jasa mengawal biasa."
"Tidak, aku akan membayar semuanya di awal, untuk 60 tahun. Dan, kalau melanggarnya¸ aku akan pastikan kamu tidak akan disewa sebagai mercenary lagi karena tidak bisa memenuhi perjanjian dengan klien."
[Ehehe. Kamu kira bicara dengan siapa? Ini aku, Lacuna. Aku sudah bekerja di pasar gelap sebagai mercenary jauh lebih lama sebelum kamu terjun,] Lacuna merespon enteng. [Oh, iya. Kalau aku menemui ada yang berbakat dengan anak-anak itu, boleh ya aku jadikan murid?]
"Hobimu tidak berubah, ya," aku menghela nafas. "Silakan, tapi tolong jangan paksa mereka, ya."
[Iya, tenang saja.]
Setelah itu, kami mengobrol panjang lebar, memberi update status dan kabar masing-masing. Setelah sekian lama mengobrol, akhirnya kami sampai pada topik terakhir.
[Mendengar informasi darimu mengenai tidak menggeret orang normal dan juga penyebab gencatan senjata, sudah kuduga, ada yang aneh dengan Bana'an. Untuk standar pasar gelap, peraturannya terlalu banyak dan terlalu kaku. Benar-benar tidak seperti pasar gelap.]
Ya, tidak bisa aku pungkiri. Pasar gelap Bana'an terlalu banyak peraturan, benar-benar tidak seperti pasar gelap yang identik dengan kriminalitas. Namun aku tidak bisa berkata banyak karena satu-satunya standar pasar gelap yang kuketahui, selain Bana'an, adalah Mariander. Kalau hanya ada dua data, aku tidak bisa menarik kesimpulan mana yang umum.
"Oh, iya, Lacuna, mengenai cincin penghilang pengendalian itu."
[Hehe, sudah kuduga kamu akan tertarik.]
Jadi, kamu sengaja ya menyebutkannya padaku.
"Apa cincin itu tersebar luas? Atau bagaimana?"
[Tidak, cincin ini tidak tersebar luas. Bahkan, di seluruh negara ini, hanya ada 10 buah yang terdaftar.]
"Sepuluh ya...."
Berarti, cincin itu tidak diproduksi dalam negeri, tapi didatangkan dari luar negeri. Kalau bisa melakukan produksi dalam negeri¸ maka mereka pasti akan memproduksi lebih banyak. Atau mungkin mereka hanya tidak ingin menghancurkan kesetimbangan yang sekarang. Yah, bisa dipahami.
[Daripada menebak-nebak sumbernya, biar aku katakan. Aku juga penasaran, jadi sempat mencari-cari informasi mengenai sumbernya.]
Hey, Lacuna, kamu tidak melihat wajahku, kan? Jadi, harusnya, kamu tidak tahu apa yang aku pikirkan, kan?
[Cincin penghilang kekuatan itu adalah 'hadiah' dari kerajaan lain. Aku tidak tahu pasti yang menjadi 'hadiah' apakah teknik membuatnya atau bendanya. Namun, karena jumlah yang tidak banyak, kemungkinannya lebih cenderung negara ini mendapatkan barang jadi.]
"Dan, dari mana sumbernya?"
[Kerajaan Nina.]
Bersambung