"Bagaimana Inanna?"
"Lukanya tidak terlalu parah. Pembedahan untuk mengeluarkan proyektil dan pecahan roket yang masuk ke tubuhnya juga sudah selesai. Tapi....."
"Tapi?"
Beberapa saat setelah Rina dan adiknya pergi, Yuan menjemputku dan Mulisu. Dia melakukannya ketika mendapat kabar dari Ibla kalau aku menyerang Apollo. Sebenarnya aku sedikit meragukan keputusannya. Kalau dia diserang di tengah jalan bagaimana? Yang ada justru aku harus membuat operasi penyelamatan. Untung saja hal itu tidak terjadi. Namun, percuma saja aku berpikir seperti itu. Aku hanya bisa percaya pada Yuan.
Yuan tidak mengantar kami ke rumahku, tapi langsung ke rumah sakit. Dan bukan sekedar rumah sakit. Yuan mengantarkan kami ke rumah sakit milik ayah, tempat aku dirawat sebelumnya. Yuan memutuskan memasukkan Inanna ke rumah sakit yang dikelola ayah karena musuh di tempat itu pastilah lebih sedikit dari tempat lain. Dan, aku setuju.
Aku dan Mulisu langsung menuju lantai 4 sementara Yuan mampir ke apotek. Meski penasaran kenapa dia pergi ke apotek, aku mengabaikannya.
Dalam waktu singkat aku sudah sampai di kamar yang dimaksud. Ruangan ini berbeda dengan ruang yang sebelumnya digunakan untuk merawatku. Kamar yang ditempati Inanna adalah kamar rawat inap normal dengan 1 jendela mengarah keluar gedung.
Namun, saat aku akan masuk, Emir berdiri di depan pintu, mencegahku.
"Tapi apa, Emir?"
"Gi-Gin...." Emir menurunkan pandangan. "Maafkan aku, Gin. Aku tidak mampu menolong atau membantu Inanna. Kalau kamu ingin membenci seseorang. Benci aku. Jangan membenci Inanna. Kumohon. Aku...."
"Emir." Aku meletakkan tangan di pundak Emir. "Itu bukan salahmu. Itu bukan salah siapa pun. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri."
"Tapi.... tapi.... gara-gara aku..... Inanna....."
Dengan penuh isak, Emir berusaha menjawab. Namun, dia tidak mampu menyelesaikan ucapannya.
Kalau mendengar laporan dari Emir yaitu pembedahan sudah selesai, dan dari rekaman tadi, aku sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi pada Inanna.
Aku mengalihkan pandangan ke Mulisu. "Mulisu, tolong tenangkan Emir. Aku mau masuk dulu."
"Baik."
Mulisu menurut dan menarik Emir menjauh dari pintu. Dia memeluk Emir, membenamkannya ke dada.
Di lain pihak, aku masuk ke dalam ruang rawat. Seperti ruang rawat lainnya, ruangan ini memiliki kamar mandi di dekat pintu masuk, kasur pasien di tengah, sofa di ujung dekat jendela, dan balkon. Meskipun siang, korden di jendela tertutup, membuat pencahayaan bergantung pada lampu.
Di atas ranjang, terlihat sosok perempuan yang terbaring dengan infus di tangan kiri. Sebagian badannya tertutupi selimut, dari dada ke bawah. Tangan dan bagian dada ke atas tidak tertutup oleh selimut.
Di atas selimut, terlihat kulit Inanna tidak sepenuhnya putih lagi. Di sebelah kiri bagian wajah, leher, dan mungkin hingga ke dalam bahu, terlihat kulitnya berwarna merah. Bahkan, aku tidak yakin apakah kulitnya masih menempel. Terlihat serat otot di sebagian tubuhnya. Selain luka bakar di sebelah kiri wajah, rambut dan alis kirinya pun tidak ada lagi.
Pandanganku beralih pada dada Inanna. Dadanya masih naik turun dengan normal dan Nafasnya tidak terdengar aneh. Aku sedikit bernafas lega karena masalah yang dialami oleh Inanna hanyalah penampilan. Namun, tentu saja, aku tidak akan mengatakan hal ini terang-terangan.
Bagi wanita, wajah dan penampilan adalah segalanya. Sebuah luka di wajah, seperti yang dialami Inanna, bisa menjadi sebuah aib dan rasa malu tersendiri bagi mereka. Namun aku tidak memedulikannya.
Aku berjalan pelan ke samping Inanna. Dengan perlahan dan lembut, aku membelai rambut Inanna, mengamati wajah jelita yang sedang tertidur ini.
Kalau ingin menyalahkan seseorang, mungkin aku yang lebih pantas disalahkan. Aku meninggalkan Emir dan Inanna di rumah begitu saja hanya karena ingin menenangkan pikiran. Ya, aku lah yang salah. Namun, menyalahkan diri sendiri tidak akan memberi hasil. Jadi, sekarang, aku hanya bisa menerima keadaan dan mencoba lebih baik ke depannya.
"Gin?"
Suara pelan terdengar.
"Aku membangunkanmu? Maaf ya."
"Jangan lihat!"
Seketika itu juga, Inanna menarik selimut menutupi seluru tubuhnya.
"Aku bukanlah Inanna yang kamu kenal. Aku sudah berubah. Wajahku tidak lagi cantik. Kini aku hanyalah seorang yang buruk rupa."
"Inanna,"
"Jangan lihat!"
Inanna menarik selimutnya semakin kuat.
Dalam keadaan normal, aku akan mencoba membujuk Inanna dengan kata manis. Namun, ketika orang sakit, mereka cenderung tidak mendengarkan dengan baik. Pikiran mereka akan fokus hanya pada hal-hal negatif. Di saat seperti ini, aksi dan gestur akan memberi efek yang lebih baik.
Aku membuka tangan dan memeluk Inanna yang ada di dalam selimut, merengkuhnya, menempelkannya ke badanku.
"Gin?"
Sekarang, aku harus memilih kata-kataku dengan baik. Aku tidak boleh mengatakan luka, jelek, tidak cantik, atau yang lainnya. Sama sekali tidak boleh. Jadi, pilihanku hanya satu.
"Aku mencintaimu, Inanna."
"Tapi aku sudah tidak cantik lagi."
"Aku masih mencintaimu, Inanna."
"Tapi, bekas luka ini menjijikkan. Aku bahkan–"
"Aku masih dan akan terus mencintaimu, Inanna."
"Uuu.....tapi...."
"Aku mencintaimu, Inanna."
Inanna mengatakan semua itu dari balik selimut, mencoba mengelak ucapanku. Di lain pihak, aku mengatakan satu-satunya kata yang boleh keluar.
Sebenarnya, hanya luka bakar bisa diatasi dengan sedikit operasi plastik. Tidak perlu ambil pusing. Namun, tentu saja, aku tidak akan mengatakan hal ini secara blak-blakan. Aku bukanlah tokoh utama komik yang tidak sensitif.
"Hik....hik.....Lugalgin, maafkan aku.... maafkan aku....."
"Tidak apa. Tidak apa."
Suara tangis terdengar dari balik selimut. Aku hanya diam dan mengatakan "tidak apa" atau "aku mencintaimu,". Agak cringy, tapi tidak apalah. Dia kan calon istriku sendiri.
Inanna tidak memiliki alasan untuk meminta maaf. Seharusnya, aku lah yang meminta maaf. Namun, membantah atau mendebatnya di saat ini bukanlah hal yang bijak. Jadi, aku hanya akan menerima ucapannya.
Beberapa saat berlalu. Sebenarnya, aku masih ingin memeluk Inanna, menenangkannya. Namun, tampaknya, aku tidak bisa melakukannya lebih lama.
"Gin?"
Inanna merasakan pelukanku yang terlepas dan dia pun membuka selimutnya, memperlihatkan wajah dengan mata dan pipi yang basah.
Aku berjalan mundur. Rasa sakit akibat serum pembangkit kembali muncul. Rasa sakit yang muncul kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kalau sebelumnya, rasa sakitnya sangat parah tapi sebagai gantinya aku bisa mendapatkan pengendalian. Kali ini, rasa sakitnya tidak separah itu dan aku masih tidak memiliki pengendalian.
Aku sendiri tidak yakin penyebabnya. Yang aku tahu adalah efek ini sama seperti mendapatkan luka dalam pertarungan. Oleh karena itu, adrenalin bisa menekan rasa sakit ini. Namun, karena sekarang aku sudah merasa lega setelah melihat Inanna, adrenalin yang mengalir di tubuhku pun turus drastis.
"Uhuk!"
Aku menutup mulut, membuat darah yang muncul mendarat di tangan.
"GIN!" Inanna turun dari kasur dan mendatangiku. "Mulisu! Emir! Siapa pun, tolong!"
Suara pintu terbuka masuk ke telinga. Yang aku rasakan bukanlah keberadaan Mulisu atau Emir, tapi Yuan.
"Yuan?"
Dalam waktu singkat, aku merasakan dua pistol syringe sudah mendarat di leherku.
"Isinya adalah obat tidur dan bius."
Ah, terima kasih, Yuan.
***
"Terima kasih, Yuan."
Emir mengangkat Lugalgin sementara Mulisu mendorong kasur baru dari luar yang aku pesan. Di belakang Mulisu, terlihat sosok bapak-bapak berambut hitam. Dia mengenakan pakaian formal dan jas dokter putih.
Emir dan Mulisu langsung mengangkat Lugalgin ke atas ranjang. Mereka pun mendorong ranjang Lugalgin dan Inanna agar bersebelahan. Setelah selesai, Emir kembali menuntun Inanna ke atas ranjang, di sebelah Lugalgin.
"Jadi, ada yang bisa jelaskan padaku apa yang terjadi?"
"Jadi," aku memberi laporan, "rumah Lugalgin diserang, membuat Inanna terluka parah. Di lain pihak, Lugalgin pergi, entah bagaimana caranya, menghentikan serangan itu. Dan, dalam prosesnya, membunuh hampir seluruh petinggi Apollo."
"Hampir seluruh?" Pak Barun menyela sejenak.
"Ya, hampir seluruh." Aku mengambil smartphone dari saku baju. "Ada Karla dan anak buahnya yang kebetulan tidak berada di lokasi. Namun, waktu mereka tidak lama lagi. Saat ini, aku menggunakan jaringan informasi intelijen kerajaan untuk memberi informasi pada Agade, Akadia, dan Guan. Tiga organisasi ini sedang dalam proses meringkus dan mengambil alih semua usaha dan bangunan vital milik Apollo.
"Di lain pihak, Quetzal juga bergerak, melakukan hal yang sama dengan kita. Karena Quetzal mencoba mengambil alih apa yang tersisa dari Apollo, Orion tidak akan mampu memercayai mereka lagi, kekuatan oposisi pun terpecah. Dengan hal ini, ada dua kemungkinan. Pertama, perangnya akan semakin intensif karena menjadi 3 arah. Kedua, perangnya mulai meredup karena kekuatan mereka berserakan."
Aku menyelesaikan laporanku pada Pak Barun secara singkat dan padat. Normal untuk aku bersikap formal dan sopan padanya pada ayah atasanku. Namun, hasilnya tidak seperti yang kuinginkan.
Pak Barun... tidak! Semua orang di ruangan ini, Emir, Inanna, Mulisu, dan Pak Barun terdiam dengan mulut menganga.
"Ah, maaf. Mungkin aku salah karena sudah meminta penjelasan," Pak Barun merespon sambil memijat keningnya.
Mulisu masuk, "ah, Yuan, mungkin kamu bisa berbicara dengan tempo yang lebih singkat dan juga beri detail lebih banyak?"
"Eh? Aku yakin Lugalgin selalu meminta format laporan oral seperti ini."
"Ah....."
Semua orang memijat kening, tidak terkecuali Inanna yang wajahnya sudah setengah hancur. Aku terkejut Inanna masih bisa memberi respon pada laporanku mengingat dia mengalami luka separah itu.
"Maaf, tapi, mungkin, yang bisa menerima laporan oral secepat dan sepadat itu hanya Lugalgin dan istriku."
"Ah, benarkah demikian? Maafkan saya kalau begitu."
Aku sedikit menundukkan kepala.
"Tidak, tidak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Kamu adalah asisten Lugalgin, jadi normal kalau mengikuti standarnya," Pak Barun berkomentar. "Setelah kupikir-pikir, mungkin aku tidak perlu terlalu tahu soal ini. Biar pihak internal kalian saja yang tahu. Aku pergi dulu ya."
"Eh, Om Barun, bagaimana dengan Lugalgin?"
Emir menghentikan Pak Barun yang akan keluar.
"Jujur, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan pada Lugalgin saat ini. Kalau aku melihat baik-baik tubuhnya, tidak ada satu pun luka luar di tubuhnya, bahkan memar pun tidak tampak. Dan, seperti yang aku bilang sebelumnya, tidak banyak yang bisa kulakukan karena kecepatan pemulihan Lugalgin akan mengatasi semuanya tanpa bantuan. Yang dia butuhkan hanya istirahat. Dan, aku juga tidak ingin melihat kondisi tubuh Lugalgin."
Ketika mendengar Pak Barun, aku merasa dia tidak mengatakan semuanya. Di lain pihak, Emir dan Inanna menundukkan kepala ketika mendengarnya. Pasti mereka membicarakan hal yang rahasia.
"Ditambah, aku tidak tahu apa yang membuat Lugalgin menjadi seperti ini. Jadi, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan aku tidak yakin kalian tahu apa yang Lugalgin lakukan, kan?"
Pak Barun melempar pandangan padaku dan Mulisu. Namun, tidak kami tidak mampu menjawab pandangan Pak Barun.
"Maaf, Pak Barun. Lugalgin berjanji akan memberi penjelasan setelah semua ini berakhir."
Mulisu memberi sebuah penjelasan, yang menurutku, menghindar.
Tadi, saat aku mencoba mengakses video dan citra satelit di tempat itu, tiba-tiba semua visual menghilang. Aku menelisik dan mendapati ada virus di dalam jaringan. Virus itu baru, tapi aku beruntung karena infeksi tidak parah. Tidak! Lebih tepatnya, infeksi virus itu hanya terjadi di sekitar tempat kejadian perkara dan citra satelit, tidak di tempat lain. Karena ini, aku bisa menghilangkannya dan mengembalikan visual dengan cepat. Namun, sayangnya, pertarungan sudah selesai.
Di saat itu, hanya Mulisu yang bersama Lugalgin di tempat kejadian perkara. Setidaknya, seharusnya, dia bisa memberi sebuah keterangan atau kesaksian singkat. Namun, tampaknya dia sendiri tidak mau melewati wewenang dan menarik kesimpulan tanpa persetujuan Lugalgin.
"Cukup siapkan saja makanan sebanyak mungkin. Kita tidak mau Lugalgin tiba-tiba jalan ke kantin karena kelaparan saat bangun."
Akhirnya, Pak Barun keluar dari ruangan.
"Baik, aku menginginkan penjelasan detail."
"Iya, aku juga."
Emir menyuarakan pendapat yang sama dengan Mulisu.
"Baiklah, kalau begitu."
Kami bertiga duduk di sofa, di antara jendela dan ranjang Inanna. Inanna masih bangun dan duduk di atas ranjang.
Orang yang pertama memulai adalah Mulisu.
"Jadi, saat ini, Agade, Akadia, Guan, dan Quetzal sedang meringkus dan mencoba mengambil alih objek vital milik Apollo?"
"Ya, benar sekali."
"Apa kamu tahu kenapa Quetzal melakukan hal itu?"
"Aku tidak memiliki informasi yang pasti, hanya rumor karena saat ini informasi di pasar gelap sedang berantakan. Bagaimana?"
"Tidak apa."
"Baiklah. Pertama, ada yang mengatakan sejak awal Quetzal memang tidak ada niatan bergabung ke oposisi. Hal ini diduga karena saat pertemuan sebelumnya, Quetzal menyatakan dia hanya ingin menjadi penyeimbang kekuatan antara kedua fraksi. Dengan hancurnya Apollo, keseimbangan ini hancur. Karena sudah hancur, Quetzal melakukan apa yang normal untuk organisasi pasar gelap, mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari keadaan."
"Bisa juga...."
Mulisu termenung setelah mendengar kemungkinan yang pertama. Setelah Mulisu, Emir yang meminta penjelasan.
"Lalu, kemungkinan kedua?"
"Kemungkinan kedua adalah sejak awal Quetzal memang masuk untuk menghancurkan Apollo. Bukanlah sebuah rahasia lagi kalau Apollo suka bermasalah dengan organisasi lain. Jadi, alasan mengenai Quetzal menjadi penyeimbang hanyalah kebohongan. Alasan yang sebenarnya adalah mereka ingin membalas dendam pada Apollo."
"Masuk akal juga."
Setelah Emir, ganti Inanna yang masuk.
"Lalu, yang ketiga?"
"Yang ketiga, Quetzal memang sejak awal tidak memiliki rencana untuk berpartisipasi dalam perang pasar gelap ini. Mereka hanya mencari keuntungan di keadaan, layaknya organisasi pasar gelap normal."
Sebelum menjadi asisten Lugalgin, pekerjaanku adalah jual beli informasi di pasar gelap. Mengetahui informasi-informasi itu adalah hal yang mudah. Bahkan, aku bisa bilang Ibla yang dikabarkan sumber informasi terhebat Agade tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku.
Namun, meskipun aku lebih baik dari Ibla, bukan berarti aku lebih layak mengelola Agade. Memiliki informasi dan mengetahui apa yang harus dilakukan dengannya adalah dua hal yang amat sangat berbeda. Dalam hal ini, aku bisa bilang Ibla lebih baik dariku.
Di saat itu, smartphone di genggaman bergetar. Aku memeriksa notifikasi dan melihat ada informasi baru masuk.
"Dan, tiba-tiba, Orion juga ikut melakukan hal yang sama. Yah, tidak heran sih. Kalau masih ingin melanjutkan perang pasar gelap ini, dia membutuhkan suplai dan sumber daya sebanyak mungkin, mengingat Orion akan seorang diri melawan tiga raksasa."
Mereka tidak menerima penjelasanku mentah-mentah. Tampak ada keraguan di wajah mereka. Yang mereka ragukan tentu saja bukan aku, tapi sumber informasi yang simpang siur. Jangankan mereka, aku saja meragukannya.
Namun, yang membuatku terkesima adalah, mereka masih mampu berpikir dengan tenang padahal baru saja diserang dan bahkan pimpinan mereka sedang terbaring di rumah sakit. Normalnya, organisasi lain akan terguncang untuk beberapa jam atau bahkan hari. Aku tidak tahu apakah mereka benar-benar kompeten atau hanya keberadaan Lugalgin yang bisa diabaikan.
Di saat itu, Mulisu mengambil smartphone dari saku. Karena tidak terdengar suara, pasti dia membuat smartphonenya dalam mode senyap, sama sepertiku.
"Yuan."
"Ya?"
"Mari mengajukan pertanyaan. Apakah nama Weidner dan Shanna ada di daftar yang tewas atau yang bertahan?"
"Sebentar,"
Aku mengetik nama yang dicari sementara Mulisu mendikte huruf per huruf.
"Mereka berdua adalah anak buah Karla. Jadi, sayangnya, mereka berdua ada di daftar yang bertahan,"
"Begitu ya...."
Mendengar jawabanku, Mulisu mengetik dan mengirim pesan.
"Ah, ngomong-ngomong soal Karla, ada kemungkinan tambahan. Karena Apollo dihancurkan oleh Lugalgin, dan penyebab semua ini adalah Lugalgin, ada kemungkinan dia akan mencari informasi mengenai keberadaannya dan menyerang."
"Menyerang? Ke sini? Tapi ini tempat umum. Banyak orang yang tidak terlibat dengan pasar gelap di sini." Mulisu meragukan ucapanku.
"Dan, apa menurutmu Karla akan memedulikannya? Selama ini, yang mengekang dia, adalah Apollo. Dengan hancurnya Apollo, tidak ada lagi yang mengekangnya. Dan lagi, dia bisa saja berdalih, 'ada orang umum di lapangan golf, tapi Lugalgin membunuhnya,'."
"Sial!"
"Jadi, menurutku, lebih baik kita bersiap untuk serangan dari Karla dan anak buahnya."
Bersambung