"Ulangi lagi?"
"Apollo sudah berakhir. Semua bangunan dan fasilitas vital mereka telah diakuisisi dan diambil alih oleh Enam Pilar yang lain."
"Enam Pilar yang lain? Quetzal dan Orion juga?"
"Iya. Quetzal dan Orion juga. Yah, yang bergerak duluan adalah Quetzal sih, Orion baru bergerak di akhir. Jadi, yang berkhianat hanya Quetzal. Orion hanya mengambil rempah-rempah."
Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan Ukin. Laki-laki berambut pirang ini mengatakan hal itu dengan sangat enteng, seolah-olah itu adalah hal yang normal, sudah diduga.
Sebenarnya, aku juga menduga kalau hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tentu saja tidak menginginkannya. Aku berharap mereka melakukan akuisisi dan saling serang setelah perang melawan Lugalgin dan kerajaan selesai, tidak secepat ini!
Saat ini, aku dan Ukin sedang duduk di sebuah sofa, di ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah berukuran 6 x 8 meter ini adalah salah satu ruang aman yang kubeli dengan uang saku. Selain sofa, tempat ini juga memiliki televisi, komputer, kamar mandi, kulkas. Lengkap.
"Apollo, seharusnya, mengumpulkan semua anggota dan senjatanya di lapangan golf itu, kan? Apa kamu memiliki penjelasan bagaimana sebuah organisasi pasar gelap besar, satu dari enam pilar, hancur dalam waktu singkat? Apa yang dilakukan oleh Lugalgin?"
"Sayangnya, aku tidak memiliki informasi soal itu. Entah kenapa, ketika serangan itu berlangsung, semua kamera cctv di sekitar lokasi kejadian mati. Jadi, sayangnya, kita tidak tahu apa yang terjadi di tempat itu. Yang jelas, informasi yang beredar mengatakan Lugalgin dan perempuan berambut coklat panjang kepang dua, yang aku yakin adalah Mulisu, pergi dari tempat itu setelah serangan selesai."
Jadi ini adalah hasil perbuatan Lugalgin dan Mulisu ya. Sebenarnya, aku tidak terlalu terkejut karena di masa lalu, kata Ukin, Lugalgin pernah menghancurkan organisasi kelas enam pilar seorang diri. Ukin juga mengklaim dirinya dan Mulisu juga bisa melakukan hal itu, tapi baru Lugalgin yang terbukti. Jadi, kalau Lugalgin dan Mulisu menyatukan kekuatan, ya, aku sangat bisa percaya kalau mereka menghancurkan Apollo.
Di lain pihak, yang membuatku terkejut, dan merasa terganggu, adalah bagaimana semua cctv di tempat itu tidak aktif ketika kejadian. Apa ini ulah Guan dan Akadia? Tidak! Daerah itu adalah wilayah kekuasaan Apollo. Mereka tidak akan memiliki kuasa di tempat itu sama sekali.
Apakah ini dilakukan oleh intelijen yang berada di bawah kendali Lugalgin? Rasanya juga tidak. Secepat apa pun intelijen bergerak untuk menghapus rekaman cctv, tidak mungkin secepat ini. Paling cepat, seharusnya, baru besok rekaman-rekaman itu dihapus, setelah diperiksa.
Satu-satunya kemungkinan lain yang tersisa adalah–
"Ada kemungkinan Lugalgin memiliki backing orang atau pihak lain di belakangnya yang belum kita ketahui."
Ukin mengatakan apa yang ada di pikiranku. Entah dia bisa membaca pikiranku atau kami memang satu frekuensi.
"Info tambahan, tampaknya, Karla dan anak buahnya tidak berada di lapangan golf itu ketika serangan. Jadi, seharusnya, dia masih hidup dan kemungkinan besar akan melakukan serangan balasan."
"Ah, serangan balasan ya....."
"Hei!"
Akhirnya pihak yang diacuhkan pun membuka suara. Suara itu datang dari ujung ruangan. Seperempat dari ruangan ini adalah penjara lengkap dengan kamar mandi dengan sekat.
Di dalam penjara, duduk seorang laki-laki berambut hitam yang....tidak terawat. Berewoknya tumbuh tidak beraturan dan rambutnya pun tidak lagi rapi. Dia pun mengenakan pakaian berwarna putih seperti pasien, padahal buak. Orang ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah Yang Mulia Paduka Raja Fahren.
"Kalau perempuan bernama Karla itu akan menyerang Lugalgin, sudah sewajarnya kalian membantunya, kan?"
Aku dan Ukin saling melempar pandang. Kami berdua tampaknya benar-benar satu frekuensi. Mata kami sama-sama setengah terbuka, malas menanggapi ucapan raja buangan ini.
"Kamu?"
"Kamu saja."
"Baiklah," Ukin menurut dan melempar pandangan ke Fahren. "Dengar, Apollo, telah melakukan pelanggaran berat dengan menyerang calon istri Lugalgin, yang adalah orang pasar gelap, di tempat umum dan melibatkan orang non pasar gelap. Dan, pelanggaran ini, membuat Apollo tidak lagi berhak meminta atau mendapat bantuan dari organisasi lain."
Ya, benar. Pasar gelap memiliki banyak sekali peraturan ketat yang tidak boleh dilanggar, salah satunya adalah dilarang menyerang pihak lain di dan atau dari tempat umum. Kalau pihak pasar gelap ingin mengonfrontasi pihak lain, mereka harus melakukannya di tempat yang memang seluruh karyawannya adalah orang pasar gelap.
Lapangan golf yang dikelola Apollo adalah wahana wisata yang dibuka untuk umum. Ketika dia melakukan serangan di tempat itu, secara tidak langsung, Apollo sudah melanggar peraturan ini karena sebagian karyawan di lapangan golf dan di tempat usaha di sekitar adalah orang umum, non pasar gelap. Jadi, walaupun yang menghancurkan lapangan golf itu adalah Lugalgin, kesalahan tetap jatuh pada pihak Apollo karena mereka yang memilih lokasi penyerangan.
Aku bisa menduga Apollo ingin membalas dendam serangan artileri Lugalgin beberapa waktu yang lalu. Namun, mereka melakukannya di tempat dan waktu yang salah. Kalaupun mereka melancarkan serangan di lapangan golf, setidaknya, pilih waktu malam. Ketika lapangan golf tutup, semua karyawan dianggap sudah pulang dan yang beraktivitas diasumsikan orang pasar gelap. Sayangnya, Apollo tidak melakukan ini. Entah apa yang merasuki Leto.
"Dan kalau membantu Karla untuk menyerang Lugalgin, yang sekarang ada di rumah sakit dan tidak sengaja menyeret orang normal dalam konflik, reputasi kami pun akan hancur. Kalau hal itu terjadi, selesai sudah karier kami di pasar gelap."
Akhirnya, Ukin selesai memberi penjelasan.
"Cih!" Fahren tidak terima. "Untuk kumpulan kriminal, kalian punya peraturan yang terlalu banyak."
"Kami kriminal karena melanggar peraturan yang kalian buat, pemerintah. Kami tidak akan pernah melanggar peraturan yang kami buat sendiri. Tidak seperti kalian yang mengubah peraturan seenaknya agar tidak melanggarnya."
"Kau!"
"Apa? Apa kau punya pendapat lain?"
Fahren hanya bisa menggertakkan gigi tanpa perlawanan.
Tiba-tiba, handphoneku di atas meja berbunyi. Aku mengambilnya dan melihat nama pimpinan Orion sebagai penelepon.
***
"Jadi, kemungkinan, entah malam ini atau kapan, yang jelas dalam waktu dekat, Weidner dan Shanna akan menyerang Kak Lugalgin. Kita beruntung karena Kak Lugalgin sedang tertidur. Jadi, kita bisa menghabisi mereka tanpa Kak Lugalgin ketahui."
Aku memberi penjelasan pada Maul yang berada di dekatku.
Saat ini, kami berada di atap salah satu gedung rumah sakit. Karena Apollo terkenal suka melanggar kode etik dan peraturan, ayah Kak Lugalgin mengosongkan dua gedung untuk menjadi tempat pertarungan kami.
Saat ini, buka hanya Agade yang berjaga, Akadia dan Guan juga. Mereka semua mengirimkan orang-orangnya untuk mengamankan bangunan sekitar, memastikan efek pertarungan tidak mencapai warga normal. Inilah yang terjadi ketika satu organisasi besar memiliki predikat melanggar peraturan. Butuh banyak organisasi lain untuk mencegah kerusakannya menyebar.
Untuk mengelabui musuh, semua gedung masih tampak menyala dan ramai. Namun, penjagaan pada beberapa gedung sengaja dikurangi. Dengan demikian, diharapkan, musuh akan menyerang gedung dengan penjagaan yang lebih minim.
Maul dan aku menggunakan teropong untuk mengamati semua area yang mencurigakan. Memastikan mereka tidak lepas dari pantauan kami, terutama Weidner dan Shanna. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mendekati Kak Lugalgin.
"Hei, Mari."
"Ya?"
"Apa menurutmu Weidner dan Shanna akan berubah kalau kita berusaha membujuk mereka?"
Aku melepas pandangan dari teropong dan melihat ke kanan, ke arah Maul.
"Apa yang membuatmu berpikir mereka akan berubah pikiran? Weidner lah yang sudah memperkosa dan menjadikan Lili sebagai budak seks. Dan, Shanna juga lah yang membuat Lili tidak mampu memiliki keturunan. Apa menurutmu mereka akan berubah pikiran?"
"Tapi....tapi....."
"Dan, apa kamu belum membaca sepak terjang mereka berdua yang sudah aku kompilasi? Dan asal kamu tahu saja, menutupi semua informasi mengenai sepak terjang mereka dari Kak Lugalgin adalah hal yang amat sangat tidak mudah."
Sebenarnya, aku beruntung karena Kak Lugalgin sempat pensiun dari Agade ketika dia selesai membasmi keluarga Cleinhad. Jadi, informasi yang berhubungan dengan Weidner dan Shanna bisa benar-benar aku blok dari Kak Lugalgin.
Aku sempat khawatir ketika Yuan, pedagang informasi, menjadi asisten Kak Lugalgin. Beberapa saat setelah dia menjadi asisten Kak Lugalgin, Yuan mendatangiku. Dia tahu kalau informasi yang mengalir ke Kak Lugalgin, terutama yang berhubungan dengan Apollo, sangat difilter oleh seseorang, yang adalah aku.
Aku sempat terkejut, tidak tahu bagaimana Yuan bisa mengetahuinya. Namun, untungnya, dia tidak memiliki niatan untuk memberikan informasi yang selama ini aku blok pada Kak Lugalgin. Dia ingin aku menyelesaikan masalah ini secepatnya. Apollo adalah musuh. Cepat atau lambat, informasi mengenai Weidner dan Shanna tidak akan terbendung lagi.
"Dan, apa semua senjata ini diperlukan?"
Maul bertanya setengah ragu sambil menunjuk ke tengah atap. Di tengah atap, terlihat lima unit pesawat mini, mirip seperti yang kugunakan untuk menyelamatkan Kak Lugalgin. Tidak berhenti sampai di situ, pada masing-masing pesawat, menempel sebuah kotak besar di atas dan bawahnya, berisi senjata api, bazoka, pelontar granat, dan lain sebagainya. Bahkan, aku menempelkan beberapa gatling dan misil di pesawat.
"Ya, aku membutuhkan semua itu. Aku harus memastikan tidak ada yang tersisa dari tubuh Weidner dan Shanna. Jadi, Kak Lugalgin tidak akan pernah tahu kalau Weidner dan Shanna sudah tewas."
Ya, aku harus memastikannya.
Duar duar duar duar
Dor dor dor dor
Suara ledakan dan tembakan terdengar. Aku dan Maul langsung berlari ke ujung gedung dan mengarahkan teleskop ke sumber suara. Aku melihat ke semua tempat, baik di bagian penyerang maupun gedung di belakangnya.
[Serangan dari gedung selatan. Sesuai arahan, mereka akan digiring ke gedung kosong.]
Menyusul ledakan itu, sebuah laporan terdengar dari headset. Aku dan Maul tidak terlalu memedulikan serangan ini. Yang kami pedulikan hanyalah 2 orang.
"Aku tidak melihat mereka. Hurrian, bagaimana denganmu?"
"Tidak! Aku tidak melihat mereka!"
Sial! Dimana mereka?
[Lapor! Ada dua truk melayang dengan cepat menuju ke gedung pusat! Di atas truk itu terlihat sosok perempuan dengan kapak besar, Karla.]
Akhirnya!
Weidner dan Shanna adalah kaki tangan Karla yang paling setia. Mereka akan pergi kemana pun Karla pergi. Karena Karla pergi ke gedung pusat, tujuanku juga tempat itu.
"Maul! Cepat naik ke salah satu pesawat!"
"Eh?"
"Cepat! Dimana ada Karla, di situ ada Weidner dan Shanna!"
"Ba-baik!"
Maul menurut dan naik ke salah satu pesawat dengan membawa kotak senjatanya sementara aku naik ke pesawat lain. Karena Maul tidak bisa mengendalikan pesawat ini, aku yang melakukannya. Kami berdua langsung terbang, meninggalkan atap rumah sakit ini.
Terlihat! Dua buah truk melayang seperti konvoi, melewati kebun rumah sakit. Di atas truk depan, seperti informasi, terlihat seorang perempuan berambut putih dengan kapak besar, Karla. Namun, pandanganku sama sekali tidak terpaku pada Karla. Pandanganku fokus pada dua sosok di kursi pengemudi dan penumpang, Weidner dan Shanna.
Weidner mengecat rambutnya hitam dan mengenakan pakaian rapi, kemeja biru dan celana hitam. Di sampingnya, Shanna, tampak jauh lebih liar. Dengan rambut dicat pirang dan hidung ditindik, dia hanya mengenakan celana pendek dan jaket kevlar, tanpa kaos atau apapun yang lain. Bahkan, terlihat bekas luka memanjang dari atas pelipis kiri hingga pipinya. Penampilan Shanna benar-benar berbeda dengan Weidner yang tampak mulus, seperti seorang bankir.
Aku menginisiasi serangan, menerjang mereka dengan pesawat.
"Mengganggu saja!"
Dari belakang truk, terlihat beberapa benda muncul dan mendarat di tombak Karla. Dalam waktu singkat, tombak Karla telah berubah menjadi pelontar granat. Dia mengarahkannya ke kami.
"Kau yang mengganggu!"
Tanpa memberi peringatan atau apapun, aku melepaskan beberapa misil yang menempel di bawah pesawat. Namun, sayangnya, misil-misil itu tidak pernah mencapai mereka. Truk yang sebelumnya melayang di belakang, terbelah, terurai dan berubah menjadi sebuah lempeng besi besar, menahan semua misil yang kuluncurkan.
"Sial!"
Sudah kuduga tidak akan semudah itu, tapi, kesal tetaplah kesal.
Dalam waktu singkat, lempeng besar itu berubah menjadi pedang besar. Ketika lempeng besar itu menghilang, pemandangan sudah berubah. Weidner tidak lagi di kursi pengemudi. Dia sudah melompat keluar dari truk, melayang, menerjang ke arahku.
Aku mengendalikan gatling yang terpasang di pesawat dan beberapa senjata api di dalam kotak senjata.
Target: Weidner.
***
Mari sibuk menghadapi Weidner. Gara-gara itu, Shanna dan Karla masih melaju tanpa masalah ke gedung pusat. Entah kenapa, Karla tidak lagi memedulikan kami. Dia menurunkan senjatanya dan fokus pada gedung. Aku tidak bisa membiarkan mereka begitu saja.
"Mari sedang melawan Weidner! Aku akan mengonfrontasi Shanna! Kami membutuhkan bantuan untuk perlin–"
Blar blar blar
Sebelum aku selesai meminta bantuan melalui headset, beberapa bola api sudah muncul dari bawah dan samping truk.
"Karla! Biar aku yang urus mereka! Kau pergi saja dan bunuh Lugalgin!"
Sebuah teriakan terdengar dai dalam truk. Yang meneriakkan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Shanna.
Shanna, apa kamu serius dengan kata-kata itu? Kamu ingin membunuh Kak Lugalgin? Apa yang merasukimu hingga kamu tega melakukannya?
"Siap!"
Karla menjawab dengan girang. Dari dalam truk, muncul banyak benda dan membawa Karla pergi dari atas truk.
[Biar kami yang urus Karla. Hurrian, tugasmu dan Mari adalah membasmi Weidner dan Shanna. Kalian punya masalah pribadi, kan?]
"Eh?"
Aku sama sekali tidak menduga akan mendengar ucapan itu dari Kak Ibla. Apakah rahasia kami sudah diketahui oleh semua anggota elite Agade? Atau hanya Kak Ibla saja yang tahu?
[Tapi, jangan memaksakan diri. Kalau kalian butuh bantuan, tinggal katakan. Kami akan mengirimkan bantuan dengan segera!]
"Baik! Terima kasih, Kak Ibla."
Aku melompat dari pesawat dan mengeluarkan seluruh senjata dan baju baja dari dalam kotak senjata. Kini, kalau dilihat dari luar, aku tampak seperti sebuah robot dengan pedang sepanjang dua meter.
"SHANNA!"
"Hah?"
Dengan bantuan gravitas dan berat armor, aku mengayunkan pedang sepanjang 4 meter. Beberapa senjata melayang di antara kami, mencoba menghalangi, tapi pedangku tidak mampu dihentikan.
Shanna, membiarkan beberapa benda menempel di tubuh dan menariknya ke bawah, memberi jarak antara pedangku dan dirinya. Begitu tiba di bawah, sisa truk di belakang dan yang dia naiki terurai, berubah menjadi sebuah papan seluncur dan beberapa cambuk tajam. Namun, aku tidak yakin apakah benda itu benar-benar cambuk. Bentuknya seperti tulang punggung tapi terbuat dari logam.
Shanna menggunakan papan seluncur untuk menghindar. Pedangku pun menghantam tanah kosong. Baru saja dia melayang, Shanna menambatkan ujung cambuk ke tanah, membuat tubuh dan papan seluncurnya berbelok tajam, kembali ke arahku. Cambuk yang masih bebas berubah menjadi semacam gada dengan ujung tajam, siap menusukku.
Aku tidak menghindar. Aku berdiri tegak dan mengayunkan pedang.
"SHANNA!"
Pedangku atau gada Shanna, mana yang akan menang?
Bersambung