"Garin, Papa punya hadiah buat Garin. Garin udah mau jadi anak Papa. Jadi Papa mau kasih ini untuk Garin." Papa memberikan kotak yang ternyata berisi jam tangan ternama.
"Wow. Pa, ini barang mahal Pa."
"So? Papa juga beliin buat Mama dan Banyu. Kita satu keluarga, Papa sayang sama Garin. Garin selalu mau mendengarkan Papa saat Papa butuh cerita. Garin anak Papa sekarang." Aku begitu terharu dengan ucapan Papa.
"Thanks Pa."
"Sama sama."
Setelah memberikan hadiah, Papa segera pergi ke perusahaan. Aku juga segera menyiapkan obat Mama. Lalu membawakan sarapan untuk Mas Banyu.
"Garin.."
"Mas Banyu mau minum? Sorry aku lupa siapin." Aku segera mengambilkan Mas Banyu minum.
Aku berusaha untuk menghindarinya. Entah mengapa aku belum siap mendengarkan makian atau kata katanya yang menusuk seperti sebelumnya.
"Mas Banyu, habisin makannya. Aku siapin obat dulu." Aku masih berusaha menghindarinya.
"Rin..."
"Ya?" Tiba tiba ponselku berbunyi.
Terlihat nama Nadia yang sedang memanggil. Dengan cepat aku sambar ponselku yang tergeletak di nakas.
"Halo Nad." Aku menerima telepon di dekat Mas Banyu.
Wajah apa itu yang sedang Mas Banyu perlihatkan? Seperti wajah kekecewaan. Apa dia kecewa karena tidak bisa mengatakan sesuatu.
"Iya Nad. Hari ini aku di rumah dulu. Aku ngontrol dari rumah aja. Aku masih harus ngerawat Mas Banyu."
Tunggu dulu. Kenapa aku melihat ada senyum tipis sesaat dari bibir Mas Banyu saat aku bilang ga ke catering. Apa itu benar, atau cuma halusinasi.
"Ok Nad." Aku segera mengakhiri sambungan telepon dengan Nadia.
Aku menarik napas panjang. Masih belum percaya dengan apa yang aku lihat. Apa benar seperti itu.
"Oh ya, tadi Mas Banyu mau ngomong apa?" Tanyaku penasaran.
"Tadi aku mau minta kamu untuk kerja dari rumah. Tapi ternyata kamu memang kerja dari rumah." Ucapnya masih sok dingin.
'Bilang aja, Garin temenin dan rawat aku ya.' Ucapku dalam hati dengan senyum yang begitu lebar.
"Iya." Aku segera menyiapkan baju ganti untuknya.
Aku segera menyiapkan air dan handuk untuk membersihkan badannya. Dari kemarin dia tidak mandi. Pasti sekarang badannya lengket.
"Maaf mas, aku bantu bersihin dulu." Ucapku sungkan.
Dia segera melepas kausnya. Jantungku berdetak semakin kencang. Aku harus mengingat bahwa dia belum mencintaiku. Aku tidak boleh memikirkan yang tidak mungkin terjadi untuk saat ini.
Hari ini Mas Banyu sudah mulai lebih baik. Dia lebih banyak menggunakan waktu untuk beristirahat. Bahakn ponselnya juga mati.
Setiap rasa pusing itu datang, dia selalu memintaku untuk mengusap kepalanya.
***
Ini sudah hari ke tiga Mas Banyu harusnya beristirahat total. Aku terbangun dari tidurku di atas sofa. Semalam Mas Banyu meminta untuk di usap kepalanya. Rasa pusingnya masih ada. Aku berusaha untuk tidak tertidur lagi. Aku harus menyadari jika dia tidak biasa tidur dengan aku.
Aku harus segera mandi. Setiap kali selesai Mandi Mas Banyu selalu menatapku dengan tatapan yang aneh. Memang saat sakit ini dia baru tahu bagaimana jika aku baru selesai mandi.
"Udah mandi?" Tiba tiba dia bangun dari tidurnya dengan senyum.
Ini adalah kejadian yang langka. Dia tersenyum hangat kepadaku. Apakah ini mimpi? Nyata?
"Iya Mas."
"Apa hari ini kamu kerja?" Tanyanya.
"Jika Mas Banyu sudah merasa baik, aku akan bekerja." Jawabku.
" Bisakah kamu menemaniku ke cafe dulu?" Pintanya.
"Hah?" Aku masih belum percaya dengan ucapannya.
"Kenapa? Tidak bisa?" Tanyanya kecewa.
"Bukan begitu. Iya, iya aku akan ikut ke cafe." Jawabku senang dan bingung.
"Setelah dari cafe, aku akan antar kamu ke catering."
"Mas, apa badan Mas Banyu sudah membaik?"
"Masih sedikit lemas dan pusing. Makanya aku minta kamu temenin aku ke cafe sebentar. Aku cuma mau ambil berkas berkas pabrik." Pintanya.
Ternyata dia mengajakku karena hanya membutuhkan aku.
"Begini aja Mas, Mas Banyu hari ini pakai sopir dulu. Jangan bawa mobil sendiri."
"Ok, tapi kamu tetep temani aku." Pintanya tegas.
Sebenarnya ada apa dengan dia? Apa benar sudah menyukai aku? Atau hanya sekedar membutuhkan tenagaku.
"Aku buatin Mas Banyu bubur dulu." Pamitku.
" Bisa ga, kalau ga makan bubur? Aku mau roti atau nasi." Ya ampun srigalaku masih menjadi anak anjing sekarang.
Muka imut dan manjanya itu loh. Aku ga kuat kalau begini. Bisa bisa makin jatuh cinta sama dia.
"Ya udah, aku buatin roti. Mau selai apa?" Tanyaku yang sedang bahagia.
"Selai coklat aja."
Aku mengangguk. Lalu pergi meninggalkan Mas Banyu yang masih berbaring. Dengan cepat aku membuatkan roti dengan selai coklat sebagai isiannya
"Mas, ini rotinya. Aku siapin baju dulu."
"Iya."
"Mas, kalau masih sakit jangan di paksa. Biar nanti berkasnya di antar pakai kurir."
"Ga bisa. Ruanganku terkunci. jadi aku harus ambil sendiri.
"Owh."
Tiba tiba ponselnya berbunyi. Pasti Laras. Aku tidak mau mendengarkan percakapan mereka.
"Halo Ras. Iya." Benar kan.
Aku putuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Kenapa aku harus ikut ke cafe? Apa Mas Banyu mau memarkan kemesraannya padaku.
Entahlah. Lebih baik aku segera makan dan bersiap siap. Mungkin belum saatnya aku bertahta di hati Mas Banyu sekarang.
Begitu aku kembali, Mas Banyu sudah selesai mandi. Aku segera duduk, memoles wajahku dengan make up.
"Aku tunggu di mobil." Ucapnya.
Yang mau ketemu pacarnya, buru buru amat. Kesal sekali rasanya. Kenapa pengorbananku malah dibalas seperti ini.
"Garin. Kamu bisa. Cuma hati seorang Banyu. Masa ga bisa dapetin." Ucapku pada diri sendiri.
Aku segera pergi. Menuju ke mobil yang sudah di siapkan. Kita bergegas pergi meninggalkan rumah.
Selama perjalanan Mas Banyu hanya fokus dengan ponselnya. Tidak ada pembicaraan seperti biasa. Padahal beberapa hari ini kita sudah mencoba saling berbicara.
Tak terasa mobil kita sudah memasuki parkiran cafe. Aku melihat sudah ada seorang perempuan yang menyambutnya.
Perempuan muda yang cantik. Badannya juga bagus. Siapa lagi kalau bukan Laras.
Laras. Gadis itu sebenarnya punya hubungan apa dengan Mas Banyu? Sejauh apa hubungan mereka?
"Ayo turun." Pinta Mas Banyu.
"Mas Banyu duluan. Aku mau baca laporan ini sebentar lagi." Jawabku.
Bagaimana bisa aku melihat suamiku yang di sambut wanita lain. Bagaimana aku menghadapinya jika seperti ini.
Mas Banyu turun dari mobil. Dia berjalan santai dengan tangan kanan yang di masukkan kedalam kantong celana.
Seperti melihat pangeran di drama drama Korea. Sempurna. Tampan. Berwibawa. Tapi Asli Indonesia. Sayangnya belum aku miliki sepenuhnya.
Laras menyambutnya dengan senyum manisnya. Ya aku tidak suka adalah dia dengan gampangnya meraih lengan suamiku.
Tanpa aku sadari beberapa kertas yang aku pegang sudah aku remas remas. Padahal ini adalah berkas untuk ketemu klien nanti siang.
Aku harus tenang. Aku harus bisa menjadi istri yang bisa menjaga martabat suami. Hatiku memang hancur. Tapi aku harus bisa buktikan bahwa aku wanita kuat.
Aku ambil napas dalam dalam. Aku akan turun dari mobil sekarang. Aku berjalan ke arah mereka.
"Selamat Pagi!" Sapaku.
Itu berhasil membuat Laras kaget dan segera melepaskan tangannya dari lengan suamiku.