Chereads / An Ice Cube Man / Chapter 29 - BAB 29

Chapter 29 - BAB 29

"Seeennnnoooo!!!" Pekikku yang tidak terlalu nyaring.

"Aaawww" Reflek aku mencubit pinggangnya.

"Ehemmm" Mas Banyu bersuara lagi.

"Aku ambilin air Mas." Aku segera meletakkan segelas air di dekatnya.

"Thanks."

Dia meminum air tanpa melihatku.

"Rin. Balik dulu ya. Besok aku pagi pasti aku kirim. Seno keluar dari ruanganku.

Mas Banyu kembali diam. Tidak ada pembicaraan apa pun lagi. Dia kembali memainkan ponselnya.

"Garin, ini apa?" Tanyanya penasaran.

"Itu namanya suwar suwir Mas, khas Jember."

Dia meletakkan toples yang berisi penuh suwar suwir.

Suawar suwir adalah makanan khas Jember yang terbuat dari tape. Aku suka makan itu. Rasanya enak. Teksturnya juga tidak benyek seperti tape. Lebih seperti permen. Jajanan ini juga punya banyak warna.

"Dari Jember? Memang ada yang ke sana?" Tanyanya bingung.

"Ga ada Mas. Itu kiriman dari Tio. Kata Nadia baru kemarin sampe."

"Ok, mulai sekarang ini milikku." Ucapnya tegas.

"Hah? Mas. Tapi itu kan milikku."

"Kamu keberatan?" Tanyanya.

"Ya udah. Tapi sisain untukku sedikit ya. Aku udah lama pengen makan itu."

"Ga." Jawabnya singkat.

Kenapa sekarang dia menyebalkan sekali? Itu salah satu cemilan favoritku. Padahal udah kebayang makan itu sore sore gini. Mas iya mau minta Tio lagi.

Tak terasa hari semakin sore. Mas Banyu tertidur di kursiku.

15.46

Mas Banyu, Aku mau curhat. Aku tunggu di tempat biasa ya. Jam 5 sore.

Pesan singkat dari Laras yang tidak sengaja terbaca olehku. Sedangkan sekarang sudah hampir jam 5 sore. Ingin aku hapus saja pesan itu.

Bolehkah aku melakukannya? Mas Banyu juga belum membacanya.

"Mas, aku udah selesai kerja. Mas mau pulang atau cek cafe dulu?" Aku urungkan niatku.

Aku tahu, jika memang hatinya belum sepenuhnya untukku. Aku harus bersabar. Berusaha membuatnya jatuh cinta kepadaku dengan cara yang elegan.

Dia segera meraih ponselnya. Membaca pesan singkat dari Laras. Membalasnya. Tapi aku tidak tahu apa yang dia balas.

"Ayo pulang. Kepalaku masih sedikit pusing." Ajaknya.

Dia memilih pulang dengan aku? Tidak memilih Laras untuk hari ini. Bahagia. Puas. Suka sekali pokoknya. Apa dia benar benar mulai mencintaiku?

Aahhhh. Aku berteriak dalam hatiku. Saat ini hatiku seperti di penuhi kebun bunga yang sedang cantik cantiknya.

Kami memasuki mobil bersama. Sudah ada kang Badrun yang menunggu. Tanpa aba aba Kang Badrun melajukan mobil ke jalanan menuju istana Wicaksono.

Aku masih belum percaya. Sepertinya senyumku juga tidak bisa aku sembunyikan.

"Kamu kenapa?" Tanya Mas Banyu heran.

"Ga Mas. Ga kenapa napa." Dia hanya mengangguk.

Dia kembali diam. Mungkin kita memang terbiasa seperti ini. Biasa saling diam tanpa kata kata. Apa lagi bermesraan.

Bolehkah aku berharap jika jalanan hari ini macet. Bolehkah aku berharap jika waktu berhenti sejenak.

"Awww." Teriakku.

"Kenapa rem mendadak kang?" Tanya Mas Banyu kaget.

"Maaf Mas. Tapi itu ada perempuan menghalangi jalan." Jawab Kang Badrun.

Aku masih memegangi kepalaku yang sempat terbentur jok depan. Sakit sekali rasanya.

Mas Banyu melihat kearahku. Dia hanya diam saja. Aku mencari sumber perkaranya. Ternyata benar, Laras, dia yang menghentikan mobil.

Tiba tiba Mas Banyu turun dari mobil tanpa mengatakan apa pun padaku.

"Mbak.."

"Ga apa apa Kang." Potongku.

Laras sepertinya heran kenapa Mas Banyu turun dari kursi penumpang. Tapi dia juga tidak malu, tiba tiba memeluk suamiku.

Hatiku bergemuruh dengan dasyatnya. Suamiku di peluk wanita lain dan dia tidak mengelak. Bunga bunga yang bermekaran seketika berubah menjadi ribuan sembilu yang menancap.

"Mbak Garin..."

"Biarkan saja. Jangan samapai Mama tahu masalah ini kang. Aku ga mau Mama drop. Anatar aku pulang sekarang Kang."

"Tapi Mbak..."

"Sekarang Kang!!" Aku berteriak kearah Kang Badrun.

"Nanti Mas Banyu gimana mbak?" Tanya kang Badrun bingung.

"Kalau kang Badrun mau nunggu Mas Banyu, aku pulang sendiri."

"Jangan Mbak. Saya bingung mbak harus bagaimana?"

Aku mencari aplikasi ojol. Mencari titik terdekat dengan posisiku. Dan ternyata ada tepat lima meter dari mobil.

"Baik mbak saya antar." Kang badrun segera tancap gas.

Karena mesin tidak mati dari tadi jadi dengan mudah kami meninggalkan dua sejoli itu.

Sakit sekali rasanya. Seperti tiba tiba di jatuhkan dari ketinggian.

"Mbak Garin ga apa apa?" Tanya kang Badrun khawatir.

"Ga kang. Nanti apa perlu saya jemput Mas Banyu?" Tanyanya tambah bingung.

"Terserah Kang Badrun." Jawabku singkat.

17. 13.

Garin, Mama sama Papa keluar kota. Kamu baik baik ya sama Banyu. Tadi Mama juga udah Whatsappan sama Banyu.

Pesan singkat dari Mama. Aku bingung bagaimana harus membalasnya. Kalau beliau tahu anaknya menghianatiku bagaimana?

Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang. Aku juga tidak membalas pesan dari Mama. Aku melihat ternyata dompet dan ponsel Mas Banyu ketinggalan.

Tapi kita sudah sangat dekat dengan rumah.

"Kang Badrun jemput Mas Banyu. HP dan dompetnya tertinggal." Ucapku yang sudah bersiap turun dari mobil.

Mobil sudah berhenti di depan pintu dan aku bergegas turun. Segera aku menuju kamar.

"Mbak Garin, malam ini makan apa?" Tanya salah seorang mbak.

Aku tidak menghiraukannya. Aku terus berlari dan tidak mempedulikan siapa pun.

Aku melihat bayangan Mas Banyu yang sakit di kamar ini. Tapi aku marah. Kecewa. Kenapa selalu seperti ini.

'Garin kamu harus tenang. Kamu pasti bisa menghadapi ini. Banyu itu spesial, dia tidak mudah.' Aku bergumam pada diriku sendiri.

Tapi ini terlalu sakit. Tidak pernah terbayang olehku melihat langsung pemandangan seperti itu.

Saat sakit aku merawatnya. Saat dia butuh aku selalu siap membantunya. Kenapa balasnnya seperti ini?

Tangisku tak bisa di bendung lagi. Hatiku seperti di permainkan. Tidak ada lagi harapan untuk aku. Apa aku harus menyerah?

Aku masuk ke kamar mandi. Menumpahkan semua kekecawaan bersama air yang mengalir membasahi ubun ubunku.

Aku tidak mau membayangkan kencan seperti apa yang mereka lakukan sampai sekarang.

Aku juga tidak ingin membayangkan apa saja yang mereka lakukan sebelum aku masuk kekehidupan Mas Banyu. Pikiranku hanya di penuhi oleh mereka berdua. Sesak sekali dadaku.

Aku menangis sejadinya. Aku menumpahkan semuanya. Aku hanya ingin tenang.