Chereads / An Ice Cube Man / Chapter 23 - BAB 23

Chapter 23 - BAB 23

"Udah abis. Kamu sekarang minum obatnya. Mama keluar dulu. Selesai minum obatnya langsung istirahat lagi." Nasihat Mama.

"Iya Ma." Ucap Mas Banyu masih lemas.

Mama segera meninggalkan kamar kami. Sedangkan aku segera menyiapkan obat untuk diminum oleh Mas Banyu. Aku meletakkannya di nakas.

"Mas minum obatnya dulu."

Dia hanya berusaha bangun lagi dari tidurnya. Lalu menelan obatnya. Kemudian tidur lagi. Tanpa ada ucapan apa pun. Mungkin dia hanya butuh istirahat.

Selesai merawat Mas Banyu, aku baru menyadari jika sedari tadi aku belum makan. Aku putuskan untuk keluar kamar untuk pergi makan. Aku biarkan Mas Banyu untuk beristirahat.

"Garin, Gimana kondisi Banyu?" Tanya Papa ikut khawatir.

"Semoga segera membaik Pa, ini baru istirahat." Jawabku.

"Kamu baru makan?" Tanya Papa saat melihatku duduk di ruang makan.

"Iya Pa." Aku segera makan, semua cacing di perutku sudah mulai berdemo.

"Papa temani kamu." Papa duduk di depanku.

Beliau memang tidak ikut makan. Hanya ikut duduk saja. Sepertinya Papa butuh teman karena Mama sedang istirahat.

"Biasanya Banyu kalau sakit suka manja sama Mama atau Eyangnya. Dia tidak suka makan bubur. Dia mau makan bubur kalau buburnya lebih asin. Menurutnya itu bisa sedikit mengurangi rasa pahit di lidahnya. Kalau sakit Banyu ga akan minum kopi dulu. Sebenarnya Papa juga hampir sama seperti Banyu, tidak suka makan bubur. Kita makan bubur juga kalau lagi sakit."

Aku hanya memandangi Papa saat itu. Mendengarkan semua ceritanya. Aku tahu sebenarnya Papa sangat baik pada Mas Banyu dan mengenal Mas Banyu. Hanya saja kesalahan beliau di masa lalu mungkin belum bisa di maafkan.

"Maaf Garin kalau Papa malah ganggu kamu makan. Tapi kalau sekarang Banyu udah berubah ya Papa ga tau."

"Pa..."

"Ya?"

"Papa ga ganggu aku sama sekali. Makasih Pa udah mau cerita ke aku. Papa hari ini ga kembali ke perusahaan?"

"Ga, semua sudah diatur sama sekretaris Papa. Tadi dengar Banyu sakit Papa langsung buru buru pulang."

"Papa mau lihat Mas Banyu?"

"Ga kok, Ga usah Garin. Nanti Banyu keganggu istirahatnya. Papa ga mau Banyu marah lagi. Dia bilang kalau kamar itu teritorinya." Papa berusaha tegar.

Aku tahu pasti Papa merindukan anaknya. Dia berusaha menyembunyikan raut kesedihan serta tangisnya. Batinnya pasti menangis. Aku tahu bagaiman perasaan Papa yang sudah terabaikan selama bertahun tahun.

"Pa, kalau mau tahu kondisi Mas Banyu, aku antar Papa masuk kamar. Tapi Papa harus janji untuk tidak bersuara. Tidak membangunkannya."

"Terimakasih ya Garin!" Senyum bahagia mulai muncul dari bibirnya.

Aku hanya berusaha membahagiakan mereka. Membahagiakan orang orang yang aku sayangi. Membahagiakan keluarga ini. Melihat senyum keluarga yang telah lama padam.

Papa begitu semangat menaiki satu persatu anak tangga. Menjaga langkahnya agar tidak menimbulkan bunyi yang mengganggu jagoannya.

Mulai membuka perlahan pintu kamar anaknya. Menatap ke arah raga yang berbalut selimut tebal.

"Wajahnya masih pucat." Bisik Papa agar tidak mengganggu anaknya.

Aku menganggukinya. Aku hanya bisa membantu Papa lewat doa yang aku rapalkan dalam hatiku. Semoga mereka segera bisa memaafkan satu sama lain.

"Sudah besar dia. Sudah bukan anak yanh bisa Papa gendong." Raut penyesalan begitu terlihat di wajah tuanya.

Papa memutuskan keluar dari kamar. Semua yang dia rasakan saat ini, aku bisa memahaminya. Tinggal satu rumah tapi tidak saling menyapa satu sama lain. Saling menusuk sembilu dalam hati satu sama lain.

"Pa, are you ok?" Tanyaku mulai khawatir karena Papa mengusap air matanya.

Papa mulai melepas kacamatanya, mengusap usap matanya yang merah.

"Papa salah Garin. Andai saat itu Papa ga gegabah untuk mencari cinta pertama Papa. Ga mudah tertipu dengan kata manis orang yang Papa cintai. Andai Papa tidak mengabaikan Mama yang mencintai Papa. Sebenarnya Papa juga cinta Mama, hanya saja saat itu gengsi papa terlalu tinggi. Dulu Papa dan Mama juga dijodohkan seperti kalian. Papa kala itu memang bodoh." Papa sudah tidak bisa lagi membendung tangisnya.

Aku mengajak Papa duduk di sofa yang berada dekat dengan kamarku dan Mas Banyu.

"Maaf Garin, Papa jadi curhat seperti ini. Banyu itu jarang sekali sakit. Tapo setiap dia sakit Papa tidak bisa melihatnya. Padahal dulu waktu kecil kalau badannya sudah mulai ga enak, Papa suka peluk dia terus Mama buatin dia makanan. Hancur sekali hati Papa kalau sekarang dia sakit tapi Papa ga bisa ngapa ngapain." Papa kembali mengusap air matanya yang sudah menganak sungai.

"Tapi hari ini Papa kan udah tahu sendiri kondisi Mas Banyu. Mas Banyu udah besar Pa. Dia juga sudah menikah. Sekarang giliran aku, istrinya, yang merawat. Papa jangan sedih lagi. Doakan saja agar Mas Banyu cepat sembuh. Jadi Papa bisa ketemu Mas Banyu pas sarapan dan makan malam. Bisa lihat Mas Banyu lagi pas lagi ngobrol sama Mama." Ucapku menyemangati Papa.

"Iya, terimakasih Garin. Kamu baik baik dengan Banyu. Jangan seperti Papa dan Mama dulu. Jangan sampai kalian menyesal seperti Papa." Nasihat Papa ke aku.

Setelah bercerita dan memberi nasehat, Papa segera turun. Menuju kamar utama. Dia sudah mengahapus air matanya agar tidak di ketahui Mama.

Aku kembali memasuki kamar. Duduk di ranjang yang sama. Aku tatap Mas Banyu yang sedang tertidur pulas. Hari memang semakin sore. Tapi Mas Banyu masih terlelap dalam tidurnya.

Memang seharusnya dia tidur dengan benar. Merebahkan badannya dengan benar di ranjang. Bukannya tidur di sofa yang kurang nyaman. Tapi mau bagaimana. Tidur bersebelahan dengan aku dia tidak mau. Apalagi jika menyentuhku.

Aku memang tinggal bersamanya. Tapi aku selalu merindukannya. Hatiku seperti terpenjara olehnya. Penjaraku adalah rasa rinduku, rasa cintaku yang belum terbalas.

'Hai Mas Banyu. Kapan kamu mencintaiku? Kapan hatimu menghangat untukku dan keluargamu? Kapan kita bisa ngobrol dan saling tukar pikiran seperti pasangan yang lain. Dan yang paling penting, kapab kita bisa memiliki buah hati yang siap meramaikan rumah ini?'

Batinku bergemuruh. Aku sedang merindukan cinta yang sampai sekarang belum aku dapatkan. Cinta yang selama ini belum terbalas.

Perlahan dia membuka matanya. Sepertinya sudah sedikit membai. Atau malah semakin parah. Aku tidak tahu karena dia tidak mengatakan apa pun.

Dia menatapku sesaat. Meraih tanganku. Meletakkan di dahinya. Hatiku berdebar tidak karuan rasanya.

"Maaf, apa aku masih demam?" tanyanya tiba tiba dengan suara seraknya.

Aku berusaha menelan lidahku. Lalu mengangguk. Entah mengapa rasany srigalaku berubah menjadi anak anjing sekarang.

"Rin, boleh pinjam tanganmu sebentar?" Tanyanya.

"Tenang saja Mas. Aku pasti bakalan cek kondisi Mas lagi kok." Ucapku malu.

"Bukan. Aku masih mau istirahat. Biasanya Mama suka mengusap kepalaku kalau aku sakit begini."