Setiap kali mobilku tiba di gerbang rumah dan memasuki garasi, aku selalu tak bersemangat. Aku selalu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berdiam di dalam mobilku dulu sampai aku siap. Lalu mulai memasuki rumah dengan langkah dan hati yang berat.
Jika bukan karena Mama, mungkin aku pindah saja mencari rumah baru atau apartemen atau bahkan penthouse. Atau aku pindah saja ke Bali dengan cabanh 'O' Cafe yang baru. Lelah rasanya jika harus menghadapi sesuatu yang tidak kita kenal dan membosankan.
Dia, istriku, yang terpaksa aku nikahi karena paksaan dari Mama. Dia yang aku nikahi tanpa rasa cinta. Dia kini malah menguasai teritoriku, kamarku. Dia yang tidak aku kenal harus berada di hadapanku setiap aku pulang.
Dia, istriku. Dia, penggangguku. Aku sudah tidak ada lagi waktu untuk menikmati kesendirianku di kamarku.
Aku harus tinggal satu atap dengan perempuan yang tidak aku cintai. Tapi bayangan wajah Mama yang bahagia selalu nampak di pikiranku.
Aku sempat berpikir bagaimana caranya aku menikmati hari hariku saat menikah. Aku harus menghadapi perempuan yang sama sekali tidak tahu duniaku. Tidak tahu tentang bisnisku. Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika salah bicara sedikit dia akan ngomel ngomel seperti kebanyakan wanita. Bahkan bisa saja dia malah mengadu kepada Mama.
Kala itu saat aku memasuki kamarku yang disulap menjadi kamar pengantin, amarahku semakin memuncak. Kekesalan dan emosiku yang mengendap begitu lama, aku tumpahkan di hadapannya.
Aku enggan menyentuhnya. Aku bahkan tidak ingin melihatnya. Dia memang cantik, tapi aku tidak tertarik dengannya. Apa lagi nama Lituhayu yang melekat padanya. Jijik sekali rasanya jika mengingat nama itu.
Aku melihatnya dengan sorot tajam. Tapi dia masih menunduk tanpa melihatku. Dia tenang sepertinya, tidak begitu banyak menuntut seperti yang aku bayangkan.
Dia juga tidak mencegah atau membujukku saat aku bilang akan tidur di sofa. Dia tidak pernah mrngajakku berbicara. Aku sendiri juga malas berbicara dengannya. Aku memutuskan tidur di sofa karena aku butuh sendiri.
Selama berbulan bulan dalam pernikahan ini, aku malah sering menghindarinya. Hatiku tidak nyaman.
Aku sering pulang larut malam. Kebanyakan jam sembilan atau sepuluh malam baru sampai rumah.
Waktuku sering aku habiskan di cafe. Kadang aku juga mengurus bisnis yang lain bersama teman temanku.
Tak jarang aku juga pergi ke rumah Laras. Menghabiskan waktuku di sana. Kadang juga bermain dengan Amira, keponakan Laras. Aku juga pernah bawa kue tart yang sudah lama dia inginkan.
Amira, gadis kecil yang nasibnya hampir sama dengan aku. Hanya saja dia ditinggal oleh ibunya. Ibunya pergi dengan laki laki lain. Sekarang dia tinggal bersama ayah dan neneknya.
Selesai dengan kegiatanku, aku baru pulang dan langsung tidur. Kadang aku sempatkan untuk makan malam. Kasihan Mama udah masak, tapi aku ga makan.
Setiap masuk ke kamar, Garin biasanya sudah menyiapkan pakaian untuk aku tidur. Dia juga sering menyiapkan air hangat untuk aku mandi.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari Garin. Tapi entah mengapa aku belum bisa menerimanya. Aku masih enggan menyentuhnya. Tak jarang dia kadang begitu wangi dan menggairahkan. Tapi pakaiannya tidak yang selalu menggoda.
Pernah juga sekali waktu, aku pulang begitu larut. Sudah hampir tengah malam. Aku tidak sempat mengabarinya.
Sebelumnya aku menemani Laras dan keluargany di rumah sakit. Kakaknya Laras koma. Jantungnya sempat berhenti sejenak saat itu.
Di keluarganya Laras sudah tidak ada lagi laki laki selain kakaknya yang sedang koma. Jadi aku dengan sukarela membantunya.
Aku melihat Garin sudah menyiapkan pakaian dan airku seperti biasa. Aku habiskan waktuku untuk berendam. Ingin sekali aku tidur di tempat tidur yang nyaman. Badanku sudah tidak karuan rasanya untuk hari ini.
Aku rasa, aku berendam sudah cukup lama. Aku keluar dari kamar mandi. Aku lihat Garin sudah lelap dalam tidurnya. Sepertinya dia begitu lelah.
"Kasihan juga kalau kamu cape." Aku menatap wajah lelahnya.
Aku tahu, pasti pekerjaan catering juga tidak mudah. Apa lagi dia harus merawat Mama dan si brengsek itu. Selama ini aku juga sepertinya kurang membantunya. Mau bagaimana lagi. Aku masih enggan bertemu dengan waktu yang lama dengannya.
Aku tidak bisa tidur malam itu. Aku masih kepikiran soal keluarga Laras. Bagaimana mereka bisa menghadapinya. Badanku lelah, tapi mataku tak kunjung mau terpejam.
Waktu pun menunjukkan pukul empat pagi. Tepatnya masih subuh. Tapi aku belum juga bisa tidur.
Aku putuskan untuk berganti pakaian. Ingin sekali aku membangunkan Garin, tapi aku tidak tega. Aku asal saja mengambil pakain dan celanaku.
Aku tidak ingin mengganggu tidurnya. Aku putuskan saja untuk keluar. Aku pergi ke kolam renang agar tidak ada yang terganggu jika aku menelepon Laras.
Hampir satu jam aku mencoba menghubungi Laras. Tapi semua pesan dan teleponku di abaikan.
"Mas, mau aku buatkan kopi?" Tanya Garin saat itu.
"Tidak usah. Nanti aku buat sendiri." Aku lebih suka kopi buatanku sendiri. Itu juga alasan tidak ada yang berani membuatkan kopi untuk aku.
"Mas Banyu mau di buatin apa untuk sarapan?"
"Terserah." Saat itu aku berpikir aku bisa makan apa saja, yang penting perutku terisi.
Aku mendapatkan pesan dari Laras. Kakaknya udah sadar. Tanpa pikir panjang aku segera meraih jaket dan kunci mobilku. Bahkan aku juga lupa berpamitan dengan Garin.
Siangnya aku pulang kerumah. Aku kaget saat melihat Garin mengantar dokter keluar dari pintu utama rumah.
"Mama kenapa?" Tanyaku panik.
"Ga kenapa kenapa kok Mas. Jadwal kontrol aja." Dia menjawab dengan tenang.
Aku melihat Mama sudah rapi, dan menanyakan apa ada acara untuk hari ini. Dan benar Mama suadah janjian dengan si pria brengsek itu untuk agenda bisnis. Aku heran saja kenapa Mama masih mau.
Rasanya siang ini aku ingin segera beristirahat. Tapi siang ini aku juga ada undangan makan siang di rumah Jati. Kita juga harus bahas project baru untuk bisnis kita.
Sore selesai dari rumah Jati, aku mau ke cafe untuk cek laporan. Aku sudah janji akan terima laporan hari ini. Tapi begitu Garin dapat telepon dari Mama segera saja aku urungkan. Aku ingin melewati hari ini dengan Mama. Aku sedang butuh Mama saat ini.
***
Keesokan harinya, Mama memintaku untuk belanja kebutuhan bulanan bersama Garin. Sebenarnya aku sudah di tunggu oleh karyawan untuk laporan, tapi apa dayaku.
Saat aku dan Garin berberlanja, tanpa sengaja bertemu dengan ibunya Laras. Beliau bilang sedang mengajak Amira jalan jalan. Aku tahu beliau pasti lelah. Tapi untuk menyenangkan cucu pasti lelah itu akan hilang saatelihat Amira senang.
Aku heran dengan Garin, saat aku sedang ngobrol bersama ibunya Laras dia malah pergi tanpa bilang. Dan yang membuatku semakin terkejut adalah dia malah asik ngobrol dengan seorang pria.
Tidak hanya di pusat perbelanjaan, aku juga mendapatkan kejutan lagi saat, ada seorang pria yang datang ke rumah dan ingin bertemu dengan dia.
Aku tahu Mama pasti tidak suka. Aku meminta mereka bertemi saja di cafe. Beraninya Garin terang terangan membawa laki laki ke rumah.
***
"Nyonya Wicaksono?" Aku kaget saat Rendra yang memasuki cafe malah mendapati Garin sedang ada di cafeku.
Bodohnya, kenapa aku dari tadi tidak menyadarinya. Dengan siapa dia? Ada apa dia kesini?
Sebelum jam sembilan aku sudah pulang dan berada di rumah. Entah mengapa perasaanku tidak enak kali ini.
Aku masuk ke kamar dan tidak mendapatinya. Aku bergeas mencarinya. Aku kirim pesan dan meneleponnya. Tidak ada balasan sama sekali
"Ma, apa Garin belum pulang?"
"Garin tadi bilang kalau mau makan makan sama temannya." Dia bisa mengabari Mama, tapi kenapa tidak mengabari aku.
Aku kesal sakali. Apa dia bertemu para pria tadi? Sudahlah. Itu bukan urusanku. Aku putuskan untuk beristirahat. Sejak kemarin aku sendiri kurang istirahat.
Keesokan paginya aku masih di buat kebingungan. Kenapa Garin berubah. Dia biasanya menyiapkan bajuku setiap hari, tapi tidal aku dapati baju itu.
Aku segera menghampirinya. Memnitanya menyiapkan bajuku. Tidak sampai di situ. Sarapan nasi goreng yang selalu menemaniku juga tidak tersedia pagi ini.
Kenapa dengan Garin? Apa ada hubungannya dengan pria yang akan dia temui? Atau dia malah akan menyerah? Perasaanku samakin tidak karuan.