"Garin. Ini loh, Seno dari tadi nunggu kamu. Katanya pengen ketemu kamu. Ada saudaranya juga." Ucap Mama yang masih membuatku tidak percaya.
"Saudaranya Ma?" Bukannya aku baru tadi ketemu Tio.
"Iya, tapi katanya saudaranya belum kesini. Masih ada kerjaan, gitu deh katanya. Saudaranya pengen ketemu kamu."
"Owh. Ya udah aku ketemu Seno dulu ya Ma." Aku kira Tio sudah ada di sini.
"Garin, kamu jangan kecewain Mama ya!" Ucapan Mama membuatku terdiam.
"Maksud Mama apa?" Sumpah aku bingunh dengan ucapan Mama kali ini.
Dari mata mama terpancar rasa cemas. Entah apa yang sedang Mama pikirkan.
"Kamu menantu Mama satu satunya. Kamu anak permpuan Mama satu satunya. Jangan tinggalin Mama Garin." Ya Tuhan, lemas rasanya seluruh badanku.
"Mama, Aku ga akan ninggalin Mama. Aku ga akan menghianati Mas Banyu Ma. Mama jangan takut. Aku sama mereka cuma berteman. Seno kan juga pemasok daging yang paling Mama percaya. Sedangkan saudaranya adalah teman SMA-ku." Aku berusaha meyakinkan Mama kali ini.
"Ma, ada tamu?" Tiba tiba Mas Banyu datang diantara kami.
"Iya, temenya Garin. Yang biasa kirim daging ke catering kita." Jelas Mama.
Aku segera saja masuk kedalam rumah dan kudapati Seno sedang memainkan ponselnya.
"Seno, ngapain kesini? Kan bentar lagi aku kerja."
"Aku tadi udah ke sana tapi kamu ga ada. Aku mau laporan untuk minggu ini. Dan minta uang pembayaran." Dia menjitak kepalaku ringan.
"Auhhh..." Pekikku.
"Sorry sorry" Seno kembali melihat ke arah map merah yang tadi dia bawa.
"Aku cek dulu nih yah." Aku menatap deretan angka yang ada di kerta itu.
Seno kembali menjelaskan dengan kilat data selama seminggu ini. Aku hanya mengangguk saja tanda mengerti.
"Udah bener ya?" Ucap seno meyakinkan.
"Iya, tunggu sebentar. Aku transfer dulu." Aku bergegas mencari ponsel milik catering yang biasa aku bawa.
Aku mengetik beberapa deret angka sama seperti yang tertera pada data. Selesai transfer aku segera mengirim ke Nadia untuk laporan.
"Udah ya?" Aku tunjukkan ponselku kearahnya. "Kau masih mau di sini atau pulang? Aku mau berangkat nih." Usirku.
"Sorry, aku orang sibuk aku mau kerja lagi. Oh ya, kamu kenal Tio? Dia ngajakin ketemu. Ngopi bareng gitu katanya."
"Ngopi di tempatku aja Mas." Tiba tiba saja Mas Banyu muncul dari pintu utama.
Entah ada apa dengannya. Biasanya dia paling malas mengurusi urusanku. Dia yang biasanya paling cuek pas aku sedang ada tamu.
"Di mana Mas?" Tanya Seno semangat.
" 'O' Cafe. Tahu dong pasti?"
"Tahu tahu. Besok kita kesana aja Rin. Masak suami punya Cafe gede ga bisa buat nongkrong." Ledeknya sebelum pergi.
"Maaf Mas, aku siap siap kerja dulu." Aku pamit untuk bersiap siap.
"Ya udah, aku tunggu di mobil."
"Mas Banyu kalau buru buru berangkat duluan aja ga apa apa."
"Ada yang perlu aku bicarain sama kamu."
Dengan secepat kilat aku menuju kamar dan bergegas mengambil berkas berkas penting. Tumben Mas Banyu boleh mengizinkan aku pergi ke cafenya. Padahal aku sendiri juga belum pernah diajak kesana.
"Kamu boleh berteman dengan siapa saja. Bebas. Aku juga ga peduli. Tapi jangan di depan Mama. Ngerti!" Ucapnya tegas begitu mobil yang kami tumpangi melesat meninggalkan istana wicaksono.
"Iya Mas Maaf. Tapi tadi Seno cuma minta pembayaran daging minggu lalu." Aku berusaha menjelaskannya.
"Aku tidak peduli. Yang penting jangan pernah ketemu di rumah." Hatiku rasanya tidak karuan sekarang bayangkan saja.
Aku mengira dia cemburu. Aku kira dia sakit hati. Tapi aku salah. Dia tidak peduli. Hanya Mama yang sedang dia pikirkan. Tidak ada aku sama sekali.
Sampai kapan aku harus menjadi istri yang tidak dianggap. Padahal aku juga merawat Mama dengan baik. Aku juga selalu memikirkan perasaan Mama. Aku tahu bukan Seno yang Mama takutkan.
Andai Mama tahu kalau anaknya tidak pernah menginginkan aku. Andai Mama tahu anaknya memebenciku. Andai Mama tahu bagaimana dinginnya anaknya saat dengan aku.
Begitu turun dari mobil, Mas Banyu segera pergi untuk melanjutkan pekerjaannya. Aku masuk kantor dengan pikiran yang tidak karuan.
"Mbak Garin, tolong tanda tangan keuangannya yang ini. Terus nanti jam empat ada janji dengan clien di 'o' Cafe. Orangnya minta kita datang ke sana bawa semua gambar." Ucap Nadia panjang lebar.
"Kenapa harus 'O' Cafe? Kenapa ga Cafe yang lain."
"Mbak Garin ini lucu. Kalau ada Cafe bagus kenapa harus cari Cafe yang lain." Kenapa harus begini.
Aku belum siap jika harus bertemu dengan Mas Banyu dan Laras. Aku belum siap untuk perang batin yang dasyat. Apakah aku sanggup jika melihat mereka bermesraan di depanku nanti.
Sudahlah, biarkan semua berjalan mengikuti arusnya. Aku hanya ingin mengembangkan catering ini. Aku tidak boleh mrngecewakan para pelangganku. Jangan pernah menatap sepasang sejoli itu nanti.
"Tenang mbak, semua udah aku atur. Booking tempat dan berkas berkas yang harus di bawa." Nadia memamerkan semua hasil kerjanya saat ini.
"Ya udah. Kamu istirahat dulu. Udah jam makan siang tuh."
Aku berusaha mengabaikan pikiranku. Tapi sepertinya ketakutanku lebih besar. Hal ini berhasil membuatku semakin malas melakukan hal apa pun.
Jam berlalu begitu cepat. Aku harus bertemu dengan mereka di 'O' Cafe sekarang. Nadia juga sudah siap. Jarak antara catering dengan cafe memang tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan sekitar sepuluh menit menggunakan mobil.
Di sini kita sekarang. Di depan 'O' Cafe yang begitu megah. Banyak sekali pelanggan yang datang. Bahkan para pelayannya juga menggunakan baju yang rapi lengkap dengan apron coklat.
Aku masih belum melihat batang hidung Mas Banyu. Semoga saja tidak bertemu. Aku masih berharap tidak bertemu sampai aku melihat nama yang tertera di baju pelayan yang hendak mengantar minuman. "LARAS"
"Mbak, kita duduk di sana. Sebentar lagi mereka datang." Nadia menunjukkan meja yang sudah kita pesan dan berhasil mengalihkan pandanganku.
Aku dan Nadia segera duduk dan menunggu. Tak berselang lama mereka sudah datang.
Nadia segera membuka beberapa lembar berkas serta foto makanan yang sudah di persiapkan. Dia menjelaskan apa saja menu yang biasanya di pilih orang orang. Kita juga menawarkan bonus.
Entah mengapa hawa dingin disini tidak terasa sama sekali saat aku lihat Mas Banyu memanggil nama Laras.
Bagaimana bisa aku melihat yang paling aku tidak ingin lihat. Mengapa Tuhan begitu jahat. Mengapa aku tidak di izinkan bahagia dipernikahanku.
Aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Berusaha kembali fokus kepada pekerjaan. Garin fokus pada klien di depanmu ini. Aku kembali berbicara untuk menawarkan beberapa menu kepada mereka.
Sudah lewat setengah jam dan kita baru deal dengan jenis makanan yang mereka mau. Belum lagi jumlah dan wadah yang ingin di gunakan. Tapi aku lega karena mereka akan menghubungi lagi jika sudah di tentukan jumlah pastinya.
Meeting sore ini sudah berakhir. Namun aku masih bisa melihat Mas Banyu sedang asik membuatkan kopi untuk para pelanggannya. Entah dari arah mana tiba tiba aku melihat Laras datang dengan tersenyum manis yang disambut dengan senyuman hangat dari suamiku. Aku berusaha untuk tidak melihat kearah dua sejoli itu. Hancur rasanya hatiku. Ini adalah kali pertama aku melihat Laras. Dia memang lebih muda dari aku. Badannya juga langsing. Perawakannya manis. Bagaimana aku bisa memuji sainganku sendiri.
"Banyu!" Teriak seorang laki laki yang sepertinya aku mengenalnya.
"Duduk Ren." Ya laki laki itu adalah Rendra.
"Loh, ada Nyonya Wicaksono di sini?" Ucapnya tanpa basa basi saat melihatku, tepat saat Mas Banyu menghampirinya.
"Garin? Kenapa ga bilang kalau kesini? Bukannya besok baru teman teman kamu kesini?" Tanyanya bingung.
"Meeting sebentar sama klien. Aku pulang dulu kalau gitu. Mari Mas Rendra, aku duluan." Aku bergegas pergi meninggalkan mereka.
Aku sudah tidak ingin melihat mereka lebih lama. Aku meminta nadia untuk kembali ke kantor sendiri sedangkan aku pergi ke taman untuk menenangkan pikiranku.
Kenapa harus aku yang sakit hati? Kenapa harus aku yang tidak bisa bahagia? Ingin rasanya aku tidak pulang malam ini. Tapi bagaimana jika Mama khawatir? Bagaimana kalau sampai Mama drop? Pikiranku semakin kalut dan enggan untuk pulang cepat.