"Garin, sorry nunggu lama. Tadi ada masalah dikit." Seno berusaha menjelaskan keterlambatan mereka.
"Santai aja. Aku tadi juga ketemu klien di sini kok, jadi sekalian." Jelasku pada mereka.
"Udah udah ayo Sen pesen dulu." Kali ini Tio yang bersuara.
Mereka segera meminta menu yang ada. Mereka memesan kopi yang aku sendiri juga tidak tahu jenisnya.
Beberapa menit kemudian mereka sudah mendapatkan pesanan mereka. Aku sendiri juga tidak begitu mengerti rasa dan kriteria kopi. Yang aku tahu semua kopi berwarna hitam dan pahit.
"Garin, sejak kapan kamu minum kopi?" Seno memasang wajah penasaran.
"Iya, bukannya dari sekolah kamu ga mau minum kopi?" Tio tak kalah penasaran.
"Hehe, aku juga pengen nyoba. Semua orang pasti ada perubahannya dong."
Ternyata mereka lebih mengenalku daripada suamiku. Apa benar aku ini istrinya, bahkan hal yang aku suka atau tidakpun dia tidak tahu.
Andai Mas Banyu tahu aku tidak suka kopi. Andai Mas Banyu tahu apa hobiku. Andai Mas Banyu tahu apa saja hal yang aku benci.
"Rin, aja nglamun ae!" (Rin, jangan nglamun aja!) Suara Tio berhasil membuyarkan lamunanku.
"Ga nglamun Yo." Ucapku canggung.
Kami memulai pembicaraan yang selama ini ingin sekali kami bicarakan. Mulai dari mengenang teman teman sekolah, tempat tempat yang dulu sering di kunjungi sampai jajanan yang sering kita makan bersama sama.
Seno kali ini malah yang seperti obat nyamuk. Dia sama sekali tidak paham apa yang aku dan Tio sedang bicarakan. Lucu sekali saat bisa melihat wajah Seno yang penuh kebingungan.
"Rin, ingat ga dulu kita pernah malam malam pergi ke kota Kediri (di Jawa Timur) cuma mau wisata kuliner." Tio berusaha mengingatkan aku masa masa muda yang menyenangkan.
"Nasi Tumpang Pecel!" Aku berhasil menebak kuliner yang waktu itu kita nikmati.
"Hahaha ileng ae awakmu!" (hahaha inget aja kamu). Tio tertawa lepas saat mengingat masa itu.
Ya aku dan Tio serta teman teman yang lain pernah pergi menempuh perjalanan samapi hampir tiga jam hanya untuk wisata kuliner. Jangan di tanya lagi apakah orang tua marah.
Hehehe jika mengingatnya rasanya masa sekolahku sangat menyenangkan. Jaman dulu tidak semua orang punya mobil di sekolah kami. Untung saja Tio anak paling baik hati punya, jadi kita bisa jalan jalan sampai ke luar kota.
Tio dulu sering sekali memberikan perhatian kepadaku. Waktu itu aku cuma iseng aja pengen makan Nasi Tumpang Pecel dia dengan mudah mewujutkannya.
Pernah juga saat aku lagi sakit dan ga masuk sekolah dia malah datang ke rumah sepulang sekolah bawain Bakso khas kota tempat kami tinggal. Kadang juga tiba tiba datang malam malam cuma buat ngasih ice cream. Banyak banget kebaikan kebaikan Tio yang masih aku ingat sampai sekarang.
"Heh Yo, kamu udah pernah makan Nasi Gandul khas Pati?" Tanya Seno tak mau kalah soal makanan.
"Pati, Jawa Tengah?" Tio berusaha menebak.
"Iya lah." Seno menjawab dengan pongahnya.
"Bukannya makanan khas mereka itu Mangut ndas Manyung (Mangut kepala Manyung)?" Tanya Tio masih penasaran.
"Ya itu salah satu khas Pati. Tapi Nasi Gandul ini yang berhasil buat Garin penasaran" Jelas Seno.
"Iyo ta Rin?" (Bener Rin) Aku hanya membalas dengan anggukan.
"Tenang Yo, kita udah pernah makan. Nanti aku ceritain gimana rasanya." Seno kembali pongah.
"Kapan kapan aku ajak Garin, biar aku tahu rasa sebenarnya. Mau Rin?" Tio masih tidak mau kalah.
"Kalau bisa ya Tio. Aku ga janji juga." Aku berusaha menolak tanpa menyakitinya.
Tio malah senang dengan jawabanku. Sebenarnya aku juga masih ingin berwisata kuliner seperti dulu. Tidak hanya melulu di kota metropolitan ini. Ingin berwisata kuliner dengan Tio seperti dulu.
Tio tiba tiba saja memanggil salah satu pelayan cafe. Dia seperti memesan menu yang lain. Aku sendiri tidak bisa mendengarnya karena dia berbisik pada pelayan itu.
Tidak lama kemudian keluar es jeruk, air putih serta kue tiramisu, cheesecake dan chocolate brownie seperti pesananku sebelumnya.
"Jangan dipaksa minum kopi kalau kamu ga suka Rin. Aku tahu kamu suka makanan manis. Jadi aku pesenin lagi brownie dan cheesecake buat kamu. Kamu mau makan itu atau tidak, terserah kamu. Yang paling penting jika sudah tidak bisa jangan di paksa." Ucap Tio yang sepertinya paham karena melihat cangkir kopiku.
"Thanks Yo, aku cuma ingin mencoba hal baru." Dia hanya tersenyum ke arahku.
Tio memang sepeka itu dengan sekitarnya. Bahkan dia tahu kalau aku tidak suka dengan tiramisu dan memilih memberikan kue itu pada Seno. Sedangkan dia tidak menikmati kue karena dua kue lainnya adalah kesukaanku.
"Rin, aku sekarang sudah punya Resto di kota M. Kapan kapan kalau kamu pulang ke sana kamu mampir ke restoku. Kamu hubungi aja aku nanti langsung aku jemput." Tio memang tahu kalau aku suka sekali makan.
"Wah asik dong Yo. Aku salut lo Yo sama kamu. Kamu lahir juga terbilang dari keluarga kaya. Punya pabrik furniture. Berhasil jadi koki dan pembicara soal makanan, sekarang malah udah punya restoran." Ucapku bangga pada sahabatku ini.
"Ya mumpung masih muda Rin, harus banyak mencoba. Pabrik furniture kan milik Eyang, jadi sekarang sudah terbagi bagi. Sedangkan resto milikku pribadi. Semua memerlukan perjuangan saat aku memilih terjun di dunia kuliner."
Aku tahu pasti banyak langkah yang berat dan perjuangan yang tidak mudah selama kita ingin mendapatkan apa yang kita cita citakan.
Seperti yang sudah dilakukan Tio. Pasti perjuangannya tidak mudah jika harus keluar dari zona nyamannya selama ini.
Tidak terasa sudah dua jam aku mengobrol dengan mereka. Mengapa waktu berjalan begitu cepat. Apa tidak boleh aku egois dengan meminta mereka menemaniku untuk memulihkan sakit hati yang aku alami hampir setiap hari?
Ingin sekali rasanya aku bercerita pada Tio soal ini. Tapi aku sangat tahu watak Tio yang tidak akan membiarkan aku kembali ke keluarga Wicaksono jika sudah seperti ini.
"Rin, aku dengar cafe ini milik suami kamu? Kenapa kamu malah pesan kopi? Bukannya harusnya mereka tahu tentang hal spele ini?" Tio masih tidak percaya jika kopi itu pesananku.
"Tio, yang pesan kan aku sendiri. Jadi mereka cuma menyediakannya. Suamiku yang terbaik saat menyediakan kopi." Belaku.
"Ya, memang kopi disini tidak mengecewakan. Tapi lidah manusia tidak bisa dipaksa Rin. Kamu jangan memaksakan sesuatu kalau kamu sendiri tidak nyaman." Entah mengapa Tio seperti paham dengan kondisiku selama ini.
Aku hanya mengangguk. Dia memperhatikan aku sedikit cemas. Apa mungkin dia tahu apa yang aku alami selama ini? Apa mungkin dia menyadari ketidak nyamananku minum kopi dari tadi?
"Yo, Ayo pulang. Ayah nanyain soal kamu! Nanti malam kamu udah terbang lagi balik ke kota M." Pinta Seno yang dari tadi dihubingi ayahnya.
"Ya udah ayo. Garin mau diantar atau gimana?" Tanya Tio.
"Aku gampang kok, hari ini mau pulang bareng suami aja." Ucapku berusaha romantis.
Tio segera melakukan pembayaran untuk semua menu hari ini. Para pelayan cafe sudah menolak karena sudah di beritahu Mas Banyu sebelumnya. Tapi tetap saja dia memaksa.
Mereka segera pergi meninggalkan aku. Mau bagaimana lagi, Mas Banyu sudah janji akan mengantar aku pulang. Tapi sampai sekarang aku tidak melihat batang hidungnya.
"Udah selesai ngobrolnya?" Tanyanya dingin tidak lama setelah Seno dan Tio pergi.
"U- udah Mas." Jawabku gugup.
"Jangan lupa, hari ini kamu temani aku undangan nikahan temenku." Perintahnya.
"Iya" Kenapa manusia es ini kembali membeku.
Ada apa sebenarnya dengan dia. Tadi seperti perhatian, sekarang membeku lagi.
"Mas Banyu, maksud saya Pak Banyu, ini Mapnya ketinggalan." Laras mengantar sebuah Map warna merah dari ruangan staff.
Mas Banyu, sangat jelas sekali dia tadi memanggilnya begitu. Apa ini yang membuatnya membeku lagi? Apa ini yang membuat perhatiannya hilang lagi?
"Ayo pulang." Dia segera mengajakku pulang.
Kenapa dia mudah sekali berubah? Tadi perhatian, sekarang dingin. Hanya itu saja yang terus terngiang di otakku.
"Garin. Kenapa kopi yang aku buatin ga dihabisin? Apa es pesanan mantanmu itu lebih enak?" Mas Banyu bertanya dengan nada tinggi.
"Maaf mas. Tapi aku kurang suka kopi." Jawabku.
"Untung saja kalian tidak jadi ketemu di rumah. Coba kalau Mama tahu gimana mereka ngobrol sama kamu. Bisa bisa Mama drop." Aku tahu sekarang mengapa dia perhatian dan dingin.
Dia hanya memikirkan Mama. Dia hanya tidak ingin melihat Mama kecewa. Dia tidak ingin Mama drop. Tapi dia mudah saja menyayatkan sembilu di hatiku. Dengan ucapan dan tingkahnya selama ini.