Pagi pagi sekali rumah ini sudah terasa seperti neraka. Bagaimana tidak, pembantu rumah tangga yang biasanya tidak berani membangunkan aku jadi mulai berani membangunkan aku.
"Mas Banyu, Mas Banyu... Bu Elina meminta Mas Banyu bangun sekarang. Ada bapak juga dan sarapan sudah siap. Bu Elina sudah minta saya untuk menyiapkan bubur ayam untuk sarapan Mas Banyu." Aku hanya mengiyakan saja.
Usiaku sudah dua puluh tahun kala itu. Tapi dia masih saja bersandiwara di depan suaminya. Seakan akan dia peduli dengan aku. Aku sendiri yang sering merasa jijik dengan sikapnya.
Tapi beberapa bulan ini sikap suaminya ke Mama juga berbeda. Pria tidak tahu diri itu juga semakin ke sini seperti perhatian dengan Mama. Apa Elina tidak curiga? Atau malah Elina punya masalah dengan suaminya?
Lagi lagi aku tidak mempedulikan yang terjadi diantara kedua orang tuaku. Aku memilih untuk tidak memikirkan masalah Mama dan Pria itu. Aku malas menyebutnya "Papa". Aku memilih melanjutkan tidurku. Aku hanya lelah karena harus mengelola cafe sendiri.
"Mas Banyu! Ayo bangun dulu. sarapan dulu." Ucap mbak mbak yang tadi kembali membangunkan aku.
"Apa kau tidak tahu. Aku baru pulang dari cafe jam dua pagi. Sekarang kau malah berani mengganggu istirahatku." Bentakku pada mbak mbak itu.
"Ma Ma Maaf Mas Banyu. Sa saya cuma di suruh bu Elina." Dia begitu takut melihat kearah wajahku yang sedang merah padam.
"Suruh Elina ke sini sendiri jika ingin menggangguku. Aku bukan anaknya dan jangan sekali sekali menggangguku. Kamar ini teritoriku. Hanya karena Mama melarangku keluar dari rumah ini, maka aku masih bertahan. Jadi jika kalian masih menginginkan aku di sini jangan pernah kalian menggangguku." Ucapku keras pada mbak tadi, agar terdengar oleh semua orang yang ada di rumah.
"Brakkk" Aku membanting pintu kamar sekeras mungkin.
Aku tahu pasti Elina segera merayu suaminya. Berlagak agar suaminya tidak marah padaku. Walaupun sebenarnya dia mau aku dan Mama keluar dari rumah ini. Aku sebenarny sudah tidak tahan sama sekali dengan keberadaannya.
Aku segera kembali beristirahat, tapi sepertinya aku malah tidak nyaman. Mataku sudah tidak ingin terpejam. Sudah hampir dua jam aku di kamar ini, berusaha beristirahat dengan tenang. Tapi aku malah tidak menemukan ketenangan dan kenyamanan yang sebenarnya. Aku memutuskan untuk keluar dan mengisi perut yang sudah kosong ini.
"Mbak, ambilkan roti." Pintaku pada salah satu orang yang ada di dapur saat itu.
"Iya Mas, Mas Banyu mau di buatkan minuman apa?"
"Air putih saja. Elina sudah pergi?" Tanyaku .
"Belum Mas. Tadi sih sempet berantem sama bapak."
"Tumben?"
"Tidak tahu Mas." Dia segera pergi meninggalkan aku yang menikmati sarapan sendiri.
***
Siang ini tiba tiba saja Mama mengirim pesan ke aku jika ada masalah di rumah. Posisiku saat itu memang sedang berada di cafe. Untung saja hari ini tidak ada pelanggan yang datang. Cafe memang biasa ramai jam makan siang.
Dengan tergesa gesa aku segera mengambil kunci motorku. Aku juga menutup cafe sementara. Aku bergegas memacu motorku untuk menuju ke rumah.
Benar saja, begitu aku tiba di rumah, Eyang sudah duduk dengan wajah yang tidak biasa sambil menggenggam sebuah Map berwarna biru. Sudah ada Pria brengsek itu, Mama dan Elina dengan wajah tegang mereka. Yang menjadi pertanyaanku aku tidak melihat Evano. Saat itu aku juga bingung harus berbuat apa.
"Maaf, ini ada apa Eyang?" Tanyaku bingung.
"Banyu, kamu duduk dulu. Eyang sedang marah" Bisik Mama lirih di telingaku.
"Banyu, kamu sudah dewasa. Jika Papamu menceraikan Mama kamu, kamu yang harus mengambil alih semua perusahaan. Butik, Kebun Teh, Pabrik pabrik yang lain juga harus kamu jaga. Bahkan termasuk PH milik papa kamu." Ucap Eyang tiba tiba suara tegas Eyang membelalakkan mata milik Elina.
"Bu, tidak bisa begitu dong. Aku tidak menceraikan Lulu. Aku masih bertahan Bu. Biar bagaiman pun Bu, Evano juga anakku." Ucap pria brengsek itu berusaha berbuat adil mungkin.
"Dia mungkin anakmu. Tapi belum tentu dia cucuku. Kamu mungkin tidak menceraikan Lulu tapi kamu menyakiti hati seorang wanita. Kamu sama saja dengan menyakiti hati ibu. Ibu yang sudah memilih Lulu untuk menjadi menantu agar kamu bisa berubah. Agar kamu bisa menjadi pria tangguh." Ucapan Eyang semakin menakutkan.
Aku tahu pasti ada masalah diantara pria brengsek di depanku ini dengan Elina. Wajahku semakin marah dan kecewa. Tapi sepertinya Eyang mengisyaratkan sesuatu kepadaku.
"Eyang! Dari mana Eyang tahu jika ada tante Elina di rumah?" Tanyaku mengikuti isyarat Eyang.
"Eyang hanya menagih perjanjian dengan Papa kamu Banyu. Dan kebetulan ternyata ada orang lain yang masuk ke istana yang Eyang siapkan ini."
"Perjanjian?"
"Ya, perjanjian ini kesepakatan antara kami orang tua dan anak. Dulu Papa kamu sudah menyetujui jika dia menyakiti menantu Eyang (Mama kamu) maka semua hak waris jatuh ke tangan cucu Eyang (kamu). Jika dia berani main wanita lain dan memberikan fasilitas maka semua fasilitas itu menjadi milik Eyang dan wajib dihancurkan."
"Evano juga cucu ibu. Apa ibu tega tidak memberinya tempat tinggal." Pria brengsek ini masih saja berusaha meminta hak Evano.
"Cucuku cuma satu. Banyu. Tidak ada yang lain. Sekarang kamu putuskan. Bertahan dengan wanita tidak tahu malu atau bertahan dengan menantuku."
"Bu, tunggu. Tapi Evano juga anak Mas Agung." Ucap Elina tak mau kalah.
"Jangan panggil aku ibu. Kau bukan anakku. Jika memang dia cucuku buktikan sekarang. Kenapa kau memyembunyikannya?"
"Cepat panggil Evano." Bisik pria keparat itu yang terdengar olehku.
Elina bergegas pergi mininggalkan tempat di mana kami sedang di sidang oleh Eyang. Tak berselang lama dia datang dari arah kamar Evano. Evano segera duduk berhadapan dengan Eyang.
"Siapa namamu?" Tanya Eyang dengan menatap tajam.
"E E Evano Eyang. Maaf kalau aku baru bisa menemui Eyang sekarang. Soalnya tadi aku sedang belajar. Sebentar lagi ujian di kampus." Si bodoh Evano malah mencari cari alasan.
"Aku tidak butuh alasan apa pun. Sekarang juga kamu pergi dengan Agung. Di depan sudah ada Bapak dan sopir yang menunggu."
"Evano mau di bawa kemana bu?" Tanya Elina masih bingung.
Pria brengsek dan Evano tampak segera pergi meninggalkan rumah ini. Elina masih dibuat bingung dengan kondisi sekarang. Dia yang biasanya garang dan sok berkuasa malah seperti orang tidak punya harga diri di depan Eyang.
"Jangan panggil aku ibu." Tegas Eyang lagi.
"Nyonya, Evano ma ma mau di bawa kemana?"
"Tes DNA." Ucapan Eyang tegas tanpa basa basi.