Tasia duduk melamun di atas ranjangnya. Memikirkan dua pilihan yang begitu sulit. Jika bisa, ia akan mengorbankan apapun untuk mendapatkan keduanya. Namun itu hanyalah sebuah angan-angan yang tidak mungkin terjadi.
Pertanyaan Hadyan tadi pagi tidak ia jawab. Tasia tidak anggup. Rasanya seperti sebuah lem merekat kuat di bibirnya. Ia hanya menunduk, seperti biasa, hanya menunduk yang bisa ia lakukan. Kabur dari kenyataan.
Hati Tasia sakit, bagai luka yang disiram air cuka. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena terus-terusan melukai Hadyan. Menggantung pria itu dan membiarkannya berharap. Tasia tidak bisa menolak hangatnya cinta yang disuguhkan Hadyan. Namun di sisi lain ia tidak bisa membalas cinta Hadyan dengan semestinya. Yang lebih menyakitinya lagi, pria itu tetap bersiap baik dan memaklumi kegoisan Tasia dengan lapang dada.