Chapter 2 - Alam Berbeda

Patra menggetuk-ngetukan lagi pena yang ia gengenggam ke atas meja kayu coklat tempatnya merebahkan pipi kanannya yang berminyak.

Kelima temannya masih saja bungkam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

"Ck!" Decak Tasia memecah keheningan, membuat mata dari kelima temannya yang duduk melingkar bersamaan mengarah pada gadis dengan bulu mata lebat itu.

"Tidak ada yang bagus," Tata menambahkan sebelum mengembalikan matanya pada ponsel yang ia kutak-katik dari tadi.

"Bali?" Mark memberi saran sambil mengacungkan jari bagai bocah SD yang sama sekali tidak ada imut-imutnya.

"Lagi? Sudah bosan.." Sahut Marya malas, diikuti oleh gelengan setuju dari teman-temannya.

"Lalu apa? Apa tidak ada rekomendasi lain? Hei.. Patra? Jordi?" Mark memanggil kedua temannya itu, dan tentu saja tidak ada yang menanggapi.

Jordi terlihat mengingat-ingat hingga membuat seluruh temannya menatap dengan penuh harap pada wajahnya yang terlihat pintar. Mereka sudah hafal bagaimana wajah Jodi ketika ia mulai memutar otaknya yang banyak akal bagai kancil.

"Sebenarnya ada," Gumam Jordi dengan suara khas yang selalu bernada naik di akhir kalimat.

Mereka tidak bertanya, namun tatapan mata mereka yang menjelaskan betapa penasarannya sekelompok remaja dengan bau keringat yang bercampur parfum dan deodoran itu terhadap kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir tipis Jordi.

"Pantai Slamaran. Belum terlalu ramai dan cerita mistisnya cukup menarik," Jelas Jordi.

"Kalau begitu kita ke sana!" Patra lekas bangkit berdiri dengan semangat, memotong kata-kata Jordi. Ia adalah sosok anak setengah berandal dengan tubuh atletis dan wajah rupawan. Ia diidolai hampir seluruh gadis di sekolahnya. Namun ia sangat jahil dan gemar beruji nyali dan.. sebenarnya agak bodoh.

Pernah suatu waktu terjadi, Patra memaksa Jordi dan Tata bermain jelangkung di gudang sekolah. Hingga saat upacara pramuka, entah mereka yang berbakat atau memang sekolah itu sudah angker dari sananya, terjadi kesurupan masal di lapangan.

Akhirnya saat terkuak ulah ketiga anak kurang kerjaan itu hingga membuat orang tua mereka mendapatkan surat peringatan dan mereka sendiri tidak diperbolehkan masuk sekolah selama satu minggu.

"Yang lain, bagaimana?" Tanya Jordi.

"Aku setuju-setuju saja," Angguk Tasia.

"Iya, aku juga. Tidak ada masalah soal cerita mistisnya, asalakan kita jangan bersikap kurang ajar dan tidak sopan di sana." Tambah Tata seraya menyindir Patra yang dulu pernah menyeretnya ke dalam kasus di sekolah. Mata sinisnya tidak main-main. Membuat bergidik.

Patra menyeringai tidak enak. Ia sudah beribu kali meminta maaf kepada kedua rekannya itu, namun tetap saja akhirnya mereka menerima hukuman yang sangat berat dari orang tua masing-masing.

"Oke! Jadi ini sudah pasti, yah? Kita ke pantai.. apa itu? Pantai Slamaran?" Tata mulai mengutak-atik ponselnya lagi untuk segera mencari penginapan secara online.

"Yup. Pantai Slamaran, di Jawa timur." Tegas Jordi dan langsung ditanggapi oleh anggukan kepala Tata.

Saat itu mereka sepakat untuk menghabiskan waktu liburan di pantai Slamaran, Jawa timur.

Tata seperti biasa selalu ingin sibuk dan mau saja mengurus segala keperluan di sana. Penginapan, keuangan, lokasi destinasi, lokasi kuliner, dan lainnya. Ia bagai sosok ibu bagi teman-temannya.

***

Hari itu adalah hari rabu. Tata, Marya, Tasia, Jordi, Patra, dan Mark sudah berkumpul di rumah Mark dari pagi subuh. Kehebohan mereka sempat membuat tetangga Mark mengamuk.

Setelah mengemasi barang-barang mereka ke dalam bagasi mobil, akhirnya mobil yang mereka tumpangi melaju di jalan kota yang masih sepi dan gelap.

"Music on!" Seru Patra yang duduk di kursi tengah dengan tangannya menjulur ke arah tape mobil yang sudah ia sematkan sebuah flasdisk berisi daftar lagu-lagu miliknya yang sering diperdengarkan di club malam.

"Jangan putar terlalu keras, Tra," Omel Jordi yang berusaha fokus menyetir, sementara teman-temannya bagai kelompok monyet yang sedang mabuk miras di belakang.

"Oke," Sahut Patra.

Tata sibuk dengan ponsel dan fokus pada GPS untuk memandu arah jalan. Ia yang paling waras, sehingga menempati kursi di samping Jordi.

"Kalian sudah dengar belum? Cerita mitos di pantai Slamaran itu?" Patra membuka perbincangan setelah mampu duduk diam. Kepalanya agak benjol karena dipukul Tata dengan mulut botol air mineral.

Jordi menggeleng lelah atas sikap Patra yang kerap membuat teman-teman perempuannya ketakutan, terutama Tasia yang paling paranoid.

"Belum," Jawab Tasia cepat dengan menghentikan aktifitas menyisir rambut hitam panjangnya yang masih setengah basah itu.

"Hem.. nanti jangan menangis dan memintaku menemanimu ke kamar mandi, ya!" Omel Marya.

Tasia hanya bisa meringis sambil memeluk manja teman berkacamatanya itu.

Tasia adalah anak yang paling penakut di atara teman-temannya. Namun justru, ia yang paling suka mendengar cerita dan menonton film-film seram.

"Jadi begini. Katanya, di tengah laut sana, ada kerajaan goib! Di sana banyak sekali siluman dan jin. Kerajaan itu dikuasai oleh seorang pangeran ular yang sangat menyeramkan. Katanya, kita tidak boleh jalan sendirian di pinggir pantai saat malam purnama ketika langit tidak berbintang!" Sambung Patra dengan nada suara direndah-rendahkan.

"Memang apa yang akan terjadi jika kita jalan di pantai sendirian?" Tanya Mark yang duduk di kursi paling belakang.

"Kita akan diseret ke tengah laut untuk dijadikan makanan atau budak di kerajaan itu." Jawab Patra.

"Memangnya sudah ada buktinya? Kau tau dari mana?" Tanya Tata yang kurang mempercayai mistis. Itulah alasan mengapa dulu ia tertarik untuk membuktikan kebenaran permainan jelangkung.

"Benar, Ta. Itu cerita dari masyarakat di sana. Katanya, dahulu pernah ada kejadian seperti itu. Aku sempat mencari beritanya di internet kemarin." Angguk Patra serius.

Tata tertawa sinis. "Tra, sekarang itu sudah jaman modern. Buktinya, di sepanjang pantai sudah dibangun banyak resort. Lalu tidak pernah ada cerita pengalaman mistis dari tamu-tamu resort. Jangan terlalu percaya cerita dari masyarakat yang hanya dibuat untuk menakuti anak-anak mereka agar tidak bermain di pantai pada malam hari, karena memang nyatanya hal itu berbahaya."

"Hei! Bagaimana kau, Tra! Benar kata Mami!" Ejek Mark yang sebenarnya ditunjukan untuk Tata yang terlalu serius.

"Iya.. iya, aku tau. Maaf, Mami.." Jawab Patra berpura-pura takut diselingi tawa gelinya dan Mark. Tata hanya bisa menggeleng kesal.

-Kerajaan Laut Timur-

"Hormat, Pangeran. Saya datang membawa pesan!" Tunduk sesosok jin besar berbadan penuh bulu berwana hitam dan dua taring yang menembus keluar dari mulutnya, kepada seorang laki-laki gagah yang duduk di tahta emas.

Pangeran Hadyan Jasma Kuwaka, yang dikenal sebagai pangeran Hadyan. Ia adalah pangeran ke tujuh dari ratu Lasminah Nitisara Ojwala yang masih berkerabat dengan Ratu Nyi Roro Kidul.

Pangeran Hadyan memperoleh kedudukannya dari Dewi Lanjar yang sekarang adalah ibu asuhnya. Ia dinobatkan sebagai pemegang kerjaan di laut Timur yang memiliki pusat labuh di pantai Slamaran setelah ia berhasil memenangkan peperangan melawan panglima Oswasa Panca Palwa demi merebut wilayah lautan Jawa Timur.

"Apa pesan itu?" Tanya Hadyan cepat.

"Para manusia, Pangeran. Mereka mendirikan bangunan lagi di wilayah pantai kita." Jelas jin itu tanpa menaikkan sedikit pun posisi kepalanya.

Hadyan mengangguk. "Apakah mereka lupa memberi persembahan?"

"Tidak, Pangeran."

"Kalau begitu kita biarkan saja dulu. Selama mereka masih tahu batas, kita tidak perlu menegur para manusia itu."

"Baik, yang mulia Pangeran Hadyan. Saya pamit permisi." Jin besar itu dengan hormat berjalan mundur meninggalkan ruangan besar berlapis emas itu.

"Kapan pangeran Rangin akan datang?" Hadyan bertanya pada pengawal berwajah manusia namun berkulit sisik yang berjaga di samping singgahsananya.

"Sore ini, Pangeran." Jawabnya.

Hadyan mengangguk. "Baiklah. Aku akan mandi."

Lalu lima orang pelayan segera mengantarnya ke kamar mandi megah dengan kolam besar berbentuk bulat berhias permata yang telah diisikan air wangi dan kembang tujuh rupa.

Di sana, Pangeran Hadyan berendam dan membersikan dirinya sebelum saudaranya datang sore nanti.

Ia duduk dan bersandar di tepi kolam dan kedua matanya menatap kosong pada langit-langit kamar mandi yang dihiasi ukiran empat ekor ular besar yang sedang bertikai.

Di luar kehendaknya, ia menghela napas berat. Mungkin tubuhnya mengira bahwa dengan melakukan hal tersebut, maka akan meringankan kegundahan pada hatinya.