Alyssa, wanita itu kini menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi mobil bagian belakang. Alyssa memejamkan mata sejenak dan membasahi bibirnya yang kering. Sebelah tangannya terangkat ke kening, lalu ia menarik nafas perlahan dan mengernyit samar merasakan hantaman menyakitkan yang kini memenuhi kepalanya. Napasnya sesak, tubuhnya gemetaran. Tak terhitung sudah berapa kali ia mengalami ini selama melakukan perjalanan menggunakan mobil, tapi rasa sakitnya masih terasa sama seperti awal dulu, tidak berkurang sedikit pun. Bahkan sakit di kepalanya tidak begitu ia rasakan. Kenangan pahit itu bahkan mengalahkan segala rasa sakit yang ada di tubuhnya.
Mike keluar dari kursi kemudi. Lalu membuka pintu penumpang di sebelah Alyssa. Ia tahu, bos-nya dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
Trauma Alyssa saja sulit untuk wanita itu tangani, di tambah lagi rasa sakit yang mendera tubuhnya pasca kecelakaan yang bos-nya itu alami, pasti akan terasa lebih menyakitkan.
"Miss? Are you okey?"
Louis menyodorkan sebotol minum, Alyssa menggeleng tanda menolak. Wanita itu lebih memilih menyandarkan kepalanya di bahu Mike.
"Suruh yang lain membawa mobil, biarkan seperti ini dulu" ucap Alyssa, Mike mengangguk mengerti.
"Peter?" Panggil Mike, menggunakan earphone bluetooth-nya
"Bawa mobil" titah Mike, lalu kembali fokus dengan Alyssa.
"Anda terlihat pucat, Miss. Ada baiknya kita kembali ke ruangan anda sekarang" Alyssa menggeleng tanda penolakan. Bagaimana mungkin ia harus kembali ke ruangan inapnya sekarang, untuk sampai pada titik ini saja sangatlah sulit untuknya saat ini.
"Tuan akan marah jika, Miss pergi ke kantor dalam kondisi seperti ini" Mike kembali bernegosiasi dengan Alyssa agar mau kembali ke kamar inapnya.
"Kita harus pulang sebelum Mario kembali nanti" ucap Alyssa keras kepala.
Mike menghela napas, menghadapi bos-nya ini memang butuh kesabaran ekstra. Apa boleh buat ia hanya bisa menuruti apa yang wanita ini perintahkan. Biarlah Mario nanti menjadi urusannya. Bahkan Mike harus siap jika kekasih bos-nya itu menghabisinya.
💕siskahaling
Mario menatap nyalang kepada kepala bagian perencanaan di perusahaannya, membuat mereka semua menunduk takut tak ada yang berani membuka suara. Suasana hening namun penuh ancaman di ruangan rapat Calvert Corp saat ini, membuat siapa saja bergidik jika berada di situasi seperti ini.
"Louis" satu kata. Setelah keheningan yang begitu mencekam beberapa menit yang lalu, akhirnya sang billionaire membuka suara, membuat semua orang menahan napas mendengar suara datar penuh ancaman tersebut.
"Yes, Sir" jawab Louis tenang. Pria itu sedari tadi masih duduk di kursi disamping kanan Mario. Selalu siaga menunggu perintah dari Tuan-nya
"Cansel semua kerja sama dengan perusahaan Pratama!"
Perintah mutlak tak terbantahkan. Siapa pula yang bisa membantah perintah pria arogan ini. Semua orang yang saat ini berada di ruang rapat hanya bisa merutuki kebodohan dari pihak Pratama yang berani-beraninya membuat bos mereka murka.
"Tapi Tuan, kerja sama kita dengan perusahaan Pratama sudah berjalan 60% yang itu artinya kita akan mengalami kerugian saat memutuskan kerja sama secara sepihak. Dan dalam kontrak kerja dengan perusahaan Pratama, pihak yang memutuskan kerja sama akan membayar denda 50% dari keuntungan yang akan peroleh" jelas Louis. Ia masih tidak habis pikir dengan pemikiran Tuan-nya ini. Pemutusan kontrak kerja sama cukup rumit jika hanya salah satu pihak yang meminta.
Semua kepala bagian mengangguk setuju dengan apa yang Louis katakan. Mereka semua hanya merutuki sikap Mario yang terlalu suka mengambil resiko.
"Aku tahu itu, Lou" ucap Mario santai.
"Aku hanya ingin sedikit bermain dengan mereka semua. Aku ingin melihat apa yang akan perusahaan itu dapatkan jika aku sudah memutuskan kontrak kerja sama dengan mereka semua" Louis menghela napas, ia tahu apa yang ada di pikiran Tuan-nya sekarang. Semua orang yang di ruangan ini juga tahu apa yang terjadi jika perusahaan yang mendapat julukan "The Biggest Of Lion" ini sudah memutuskan kontrak kerja sama dengan perusahaan tersebut maka dapat di pastikan perusahaan tersebut tidak layak untuk di ajak melakukan kerja sama.
"Yes, Sir saya mengerti maksud anda" ucap Louis mengangguk paham. Mario tersenyum sinis, kedua tangannya menyatu di atas meja. Bayangan tentang hancurnya perusahaan Pratama sudah berputar di kepalanya. Kejam? Silahkan jika kalian menganggap dirinya seperti itu.
"Maaf Tuan" Louis kembali membuka suara. Pria itu mendekati Mario lalu menyerahkan ponselnya kepada Mario membuat pria itu berkerut kening tak mengerti.
"Nona Sivia. Beliau bilang sudah menghubungi anda berkali-kali namun anda tidak menjawab, ada hal penting yang ingin Nona Sivia katakan mengenai Nona Alyssa"
Detik itu juga, Mario langsung menyambar benda kecil itu dari tangan Louis lalu mendekatkan benda kecil itu ketelinganya.
"Ada apa?" tanpa nada pembuka dan tanpa kata basa-basi Mario menjawab panggilan Sivia, membuat wanita di sebrang sana siap untuk meluapkan emosinya.
"Pria berengsek, tak tahu diri. Kau benar-benar berengsek Mario..."
"Langsung saja, aku malas mendengar ocehan mu" potong Mario. Membuat Sivia di sebrang sana semakin kesal.
"Berengsek! Kau menyuruhku ke rumah sakit bahkan aku harus menggagalkan pertemuan ku dengan penanam saham di café ku untuk menjaga Alyssa." Sivia menghentikan ucapannya sejenak, mengambil napas yang terasa menipis di paru-parunya.
"Kau tahu, aku bahkan tak menemukan Alyssa di kamarnya bodoh. Kau benar-benar membuang waktu berharga ku. kau tahu itu sepupu sialan"
Mario tak mendengar lagi umpatan kekesalan Sivia setelah satu kalimat yang membuat jantungnya terasa berhenti berdetak.
'Alyssa tidak ada di kamarnya' ya, hanya itu yang dapat Mario tangkap dari ucapan Sivia di sebrang sana.
"Alyssa? Kau bilang Alyssa tidak ada di kamarnya?" ucap Mario gusar. Ia harap ia hanya salah mendengar tadi.
"Alyssa tidak ada di kamarnya. Dan kau-" persetan dengan Sivia yang saat ini masih mengumpat. Satu yang Mario tahu saat ini, Alyssa tidak ada di kamarnya. Dan itu artinya ia harus menemukan dimana wanitanya itu sekarang berada.
"Siapkan mobilku! Sekarang!" perintah Mario lalu keluar dari ruang rapat meninggalkan para karyawannya dengan wajah bingung dan... Sedikit ingin tahu. Mungkin.
Mario langsung memasuki mobilnya begitu Louis membukakan pintu. Mengambil napas sejenak, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi mobil sembari memejamkan matanya. Ia harus tenang sekarang, ok walaupun tidak bisa di katakan tenang, tapi setidaknya ia harus bisa berpikir dimana tempat yang memungkinkan Alyssa-nya berada saat ini.
Mario meraih benda kecil yang saat ini ia butuhkan, mendial angka satu yang akan langsung tersambung dengan Alyssa. Tersambung, Mario dengan tidak sabar menunggu Alyssa menjawab panggilannya. Namun tidak juga terangkat saat suara operator di sebrang sana menjawab panggilannya.
Lagi, Mario kembali mengulang panggilannya. Namun sama, lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.
Mario benar-benar tidak habis pikir apa yang di pikiran Alyssa sampai wanitanya itu kabur dari rumah sakit. Tubuhnya bahkan belum sembuh total dan bisa saja sakit kepala yang selama ini di takutkan kambuh. Dan demi Tuhan, ia tidak tahu dimana Alyssa sekarang. Bagaimana jika sakit kepalanya kambuh dan tidak ada orang yang menolongnya.
Mario menjambak rambutnya frustasi. Berpikir Mario, berpikir. Mike? Ah, ya Mike pasti tahu dimana Alyssa sekarang.
"Tuan" jawab Mike bahkan sebelum Mario membuka suara.
"Nona di kantor sekarang" tambah Mike yang membuat emosi Mario semakin memuncak.
"Akan ku lubangi kepala mu setelah ini, Mike" desis Mario lalu membanting ponselnya.
"Clovist Company, Lou"
Tak menunggu lama, setelah mendengar apa yang Mario katakan, Louis melajukan mobil ke tempat yang Mario sebutkan.