Seakan tau dengan apa yang dipikirkan oleh anaknya, Ayah Karen langsung memberikan sebuah buku rekening tabungan untuknya.
Meski Karen sudah bekerja. Tapi tetap saja ayahnya khawatir jika anaknya akan kekurangan uang di kota nanti. Karena selama ini Karen selalu bersama dengan orangtuanya. Hingga ayahnya tak yakin anaknya bisa hidup mandiri.
"Apa ini?" Karen mengambil buku tabungan yang sudah tergeletak di atas meja.
Mata ayah Karen seakan menyuruhnya untuk membukanya. Ada seulas senyum di bibir Karen begitu melihat nominal uang yang tertulis di buku rekening tersebut.
"Ini untukku? Tidak perlu karena aku masih memiliki tabungan dari gaji yang aku simpan."
"Sudah terima saja."
Karen hanya diam, dia tak bisa melawan ayahnya.
"Baiklah."
Karen segera mengambil buku rekening beserta atm yang sudah sah diberikan oleh ayahnya. Dan tampak ibunya yang berdiri dari kejauhan menatap Karen begitu sangat berbeda sikapnya.
"Apa ada seseorang yang ingin kau temui di sana?" tanya ibu Karen menghentikan langkahnya.
Karen terdiam ia berhenti dan terpaku. Seakan ucapan dari ibunya tepat menusuk ke jantungnya.
"Ti-tidak.." Karen mencoba mengelak namun rasa gugupnya tak bisa ditutupi.
"Ingat ya. Kami berdua akan sering berkunjung. Dan lagi, jika ada waktu. Berkunjunglah ke rumah sakit untuk menjenguk Ken."
"Dia pria baik. Jika bisa, ibu ingin menikahkanmu dengannya suatu hari nanti." tambahnya.
"Ah, ibu apa sih."
'Ken??? Sejenak aku melupakan laki-laki yang sudah banyak berkorban untukku. Maafkan aku Ken.. Karena saat ini hidupku juga sedang kacau. Aku akan kembali dan meminta maaf padamu nanti jika urusanku sudah selesai.' Karen melangkah pergi meninggalkan ibunya yang masih menatapnya dari belakang.
***
Rafael tampak berdiri menghadap keluar jendela. Berkali-kali dirinya mengembuskan napas beratnya dan tangannya mengepal hendak memukul tembok yang ada di depannya.
"Kak, kau kenapa?" Liam yang dari tadi terus memperhatikan laki-laki yang satu grup dengannya itu, akhirnya tak tahan dan bertanya mengapa beberapa akhir ini Rafael merasa resah.
"Hmm." Rafael hanya menoleh sekilas pada Liam namun hanya berlangsung beberapa detik ia kembali lagi memandang keluar jendela.
"Ada masalah?" Liam berdiri menyejajari Rafael di sampingnya, ia melihat wajah laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya tersebut, pandangannya nampak kosong.
"Kau bersikap aneh sejak kejadian di pulau itu. Kau terlalu sering melamun dan terus mengabaikanku yang sedang mengajak bicara padamu seperti sekarang ini."
"Hahhhh?!!!" Rafael menghela nafasnya dan duduk di sofa, ia mengabaikan Liam lagi.
"Begitu lagi kan?! Coba cerita mungkin saja aku bisa membantumu."
Rafael menatap Liam, dalam pikirannya bertanya-tanya apakah Liam bisa menolongnya. Liam yang sikapnya seperti anak kecil mana mungkin bisa menjaga rahasia besar Rafael saat itu.
"Ada apa?!" Liam duduk mendekati Rafael, ia dekatkan telinganya pada mulut Rafael berharap jika Kaknya tersebut mau menceritakan padanya.
"Sampai kapan akun instagram kita di pegang oleh manajer?" tanya Rafael tangannya mendorong pipi Liam hingga ia terdorong jauh kesamping.
Liam menggeleng, "Entahlah, tapi aku tak peduli."
"Sudah ku duga jika kau tak bisa membantuku sama sekali," gumam Rafael mengibaskan tangannya dan menyuruh Liam pergi meninggalkannya di ruangan itu sendiri.
Namun pria kelahiran 1995 itu malah semakin penasaran dengan Rafael.
"Memangnya ada apa dengan akun instagram Kak? Bukankah dulu kau tidak begitu memedulikannya juga."
"Sekarang beda masalahnya. Ada hal yang harus ku periksa sekarang."
Agensi Rafael dan Liam yang sekarang memberikan larangan untuk menggunakan media sosial demi kesehatan mental mereka. Terkenal bukan berarti semua orang mencintai mereka tanpa ada pembenci. Meskipun banyak yang menyukai mereka tapi tak sedikit pula yang membenci mereka dengan alasan yang tak masuk akal. Salah satunya seperti, karena mereka tiba-tiba terkenal setelah kejadian dari pulau tersebut. Padahal, sebelum mereka mengalami peristiwa itu, Rafael dan Liam sudah duluan terkenal bahkan popularitasnya sampai keluar negeri.
Agensinya hanya menginginkan jika artisnya tidak melihat komentar kebencian yang ditujukan oleh mereka. Mungkin maksud mereka baik namun bagi Rafael, itu sama saja seperti memutuskan hubungannya dengan teman-temannya.
"Kau.. Tidak sedang menunggu gadis itu bukan?" tebak Liam, ia mengatakan hal tersebut ragu. Berharap jika apa yang dia pikirkan saat itu adalah salah.
Karena bisa sangat fatal jika sampai salah satu diantara mereka terlibat skandal. Apalagi skandal dengan wanita.
Rafael menoleh Liam dengan ekspresi seperti mengiyakan, "Jika benar, aku harus bagaimana?"
"Memangnya ada apa di antara kalian berdua? Tidak terjadi hal aneh kan? Kak, tolong jangan buatku mencemaskan hal yang tak perlu ku cemaskan?!"
"Kita baru saja melewati masa kritis." imbuhnya, tangannya mengenggam erat lengan Rafael.
"Maafkan aku."
Liam melepaskan genggaman tangannya. Ada rasa tak percaya pada wajah Liam, ia masih belum ingin percaya dengan apa yang terjadi di antara mereka berdua.
"Aku takut jika saat ini dia hamil." lirih Rafael, ia mengubah posisi duduknya dan merebahkan tubuhnya pada sebuah sofa.
"Apa?!! Tunggu dulu, aku akan mencoba mencerna ucapanmu barusan. Hamil?? Siapa yang hamil? Kenapa bisa hamil??"
Rafael tersenyum sinis. "Seharusnya kamu juga tahu kan, sejak dia aku ajak ke hotel. Aku melakukan apa dengannya."
"Aku melakukan hal gila dengan gadis yang bersamaku saat itu berkali-kali. Aku tak tau mengapa waktu itu seakan tak ada beban dalam diriku untuk melakukannya. Bahkan tak ada ketakutan dalam diriku untuk menghadapi hari, seperti saat ini. Yang aku rasakan saat itu, aku hanya, sangat ingin mencumbunya dan-"
"Cukup! Hentikan cerita romanmu yang menjijikkan itu. Aku tak percaya mengapa kau bisa melakukannya tanpa memikirkan dampak apa yang akan kita terima."
"Jadi, kau beberapa hari ini bingung karena tidak bisa mengetahui kabar dari gadis itu?"
Rafael mengangguk, tangannya ia letakkan di atas wajahnya untuk menutupi rasa sesalnya saat itu. Ia merasa sangat bersalah pada Karen. Karena jika ia benar-benar hamil, Rafael tak akan bisa berbuat apa-apa.
"Jika sampai dia menemukanmu maka karirmu akan hancur, Kak." Liam menatap sinis pada Rafael, namun yang ditatap seakan tak peduli malah membalikkan badannya.
Rafael sudah beberapa kali mencoba untuk log in di instagram melalui pc dan ponselnya namun tak menghasilkan apapun karena akunnya telah di protect dan manajernya sudah mengubah sandi akunnya.
"Sudahlah ayo pulang ke rumah. Aku sudah tidak berniat disini lama lama," ucap Liam yang sebenarnya kesal dengan Rafael, yang dinilainya terlalu ceroboh hingga bisa melakukan hubungan terlarang tersebut.
"Tidak latihan?" Rafael bangkit dan melihat Liam sudah memegang kenop pintu.
"Aku sudah malas. Lebih baik aku pulang saja. Jika kau masih mau disini terserah. Aku tak akan melarangmu. Toh, semua yang aku katakan tak ada artinya untukmu kan?"
BLAAM!!!
Baru kali ini Rafael melihat Liam begitu marah.