Namara mengerjapkan kedua matanya setelah Eros membuka ikatan kain hitam yang melingkar di kepala. Samar-samar dia melihat pria itu yang kini duduk di tepi ranjang dengan pakaian yang sudah lengkap.
Perasaan Namara menjadi campur aduk. Dia benci Eros, dia juga malu menghadapinya. Tidak bisa dipercaya malam ini pria itu sudah merampas kesuciannya. Hatinya sedikit terguncang.
"Kau ingin bicara sesuatu?" tanya Eros. Nadanya terdengar sangat biasa seolah tidak ada yang sudah terjadi di antara mereka. Pergumulan mereka di atas ranjang seakan hal yang begitu sepele baginya.
'Kau keparat!' Itu yang ingin Namara katakan. Namun, mana mungkin dia berani?
Dia menunduk lalu menggeleng. "Aku akan mengingat malam ini," ucapnya pelan.
Ya. Dia akan mengingat malam ini. Bahkan jika dia ingin lupa, rasanya tidak akan bisa. Bukan karena terlalu berharga, tetapi karena terlalu dibenci.
"Lalu?"
Namara terdiam. 'Lalu apa lagi? Lalu aku ingin menggilingmu menjadi pasta daging.'
"Ehm. Tentang rune kuno itu … aku akan senang jika Tuan bisa membantuku," kata Namara. Ah, terserahlah. Dia sangat ingin tahu tentang rahasia di balik dirinya. Hanya Eros yang mungkin bisa membantu.
Eros mengangkat sudut-sudut alisnya. Dia bangkit berdiri. "Bagus. Namun, kau harus ingat tentang imbalan."
Namara merapatkan selimutnya. Udara terasa begitu dingin menyerang kulitnya yang telanjang. "Aku mengerti," ucapnya.
Setelah itu Eros melengos pergi begitu saja. Dasar bajingan. Pria itu bahkan tidak peduli sama sekali dengan keadaan Namara. Dia seperti pakaian yang bisa dipakai dan dibuang kapan saja.
"Aduh, sakit sekali," rintih Namara yang baru saja menggerakkan pantatnya. Dia bangkit dari tempat tidur dan langsung diserang rasa nyeri di area pangkal pahanya.
Dengan langkah hati-hati Namara bergerak ke kamar mandi. Ini mungkin sudah malam, udara juga sangat dingin. Namun, dia ingin mandi. Dia ingin menghapus semua jejak Eros dari tubuhnya.
Menjijikkan.
"Nona, kau mau ke mana?" tanya seorang pelayan. Kali ini bukan Elise, mungkin mereka sudah berganti giliran.
"Aku ingin mandi," balas Namara.
"Tapi ini sudah malam, Nona. Kenapa tidak besok saja?"
"Tidak apa-apa. Aku merasa tidak nyaman."
Yang benar saja. Bagaimana mungkin dia bisa bertahan semalaman dengan tubuh yang kini sudah lengket penuh dengan …. Namara bergidik. Pokoknya dia ingin mandi sekarang.
"Kalau begitu biar aku bantu ya." Pelayan itu bersiap membantu Namara, tetapi niatnya langsung ditolak dengan halus.
"Tolong biarkan aku sendiri," kata Namara yang langsung melangkah pergi. Pelayan itu hanya diam menatap kepergian Namara.
Untungnya letak kamar mandi tidak terlalu jauh. Jadi, Namara tidak perlu berjalan terlalu lama dengan cara yang aneh. Benar-benar …. Jika suatu hari nanti dia diberi kesempatan maka dia akan membalas perbuatan Eros.
"Aku perlu meledakkan selangkangannya," gumam Namara sambil bersungut-sungut.
Di tengah malam yang dingin itu akhirnya Namara menceburkan diri ke dalam kolam pemandian. Dia membenamkan diri ke dalam air selama beberapa saat.
"Hah … hah …." Dia mengambil napas banyak-banyak setelah kembali menyembul ke permukaan air. Telapak tangannya bergerak menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya.
Setelah itu dia terdiam. Beberapa saat kemudian barulah dia menunduk mengamati kondisi tubuhnya. Ada banyak bercak merah di permukaan kulitnya. Itu terlihat memalukan.
Dia langsung menggosok, menggosok seluruh tubuh dengan kasar. Dia benar-benar ingin menghapusnya. Namun, bagaimana mungkin jejak sialan itu bisa menghilang hanya dengan menggosoknya?
Namara mengerang frustrasi. Dia kembali menenggelamkan diri ke dalam air sampai akhirnya seseorang datang dan memanggil, "Nona, apa kau baik-baik saja?"
Bunyi kecipak air langsung terdengar. Namara menyembulkan kepalanya ke permukaan air. "Ya, kenapa kau mencariku?"
Itu adalah pelayan yang sebelumnya berjaga di depan kamar Namara. Dia membawa pakaian kering. "Nona lupa tidaak membawa pakaian ganti," katanya.
Ah, jadi itu.
"Terima kasih," ucap Namara dengan tulus.
"Aku akan meletakkannya di sini," kata pelayan itu sambil meletakkan pakaian ganti di atas meja kecil yang ada di sudut. "Kalau begitu aku akan pergi sekarang."
Namara mengangguk dan tersenyum. Setidaknya mereka sudah tidak begitu ketat lagi. Setidaknya acara mandinya tidak harus diawasi lagi.
Namara kembali melanjutkan mandinya. Beberapa saat kemudian dia pun selesai. Tubuhnya menggigil kedinginan. Dengan segera dia memakai pakaian dan kembali ke kamar.
Saat Namara kembali ke kamar, semuanya sudah terlihat rapi. Tidak ada sedikit pun bekas atau jejak permainan Eros tadi. Setidaknya Namara merasa lebih lega.
Dia duduk di tepi ranjang dan rasa sakit itu kembali datang. Ternyata seperti itu rasanya kehilangan keperawanan.
***
Hari berikutnya, Namara terus-menerus bersin. Dia merasa hidungnya sangat gatal, tenggorokannya pun terasa kering. Sepertinya dia akan segera terserang flu.
"Itu pasti karena Nona mandi di tengah malam," komentar Elise. Kemudian dia menyodorkan minuman hangat padanya. "Minumlah ini. Nona tidak boleh sakit."
"Bagaimana kau bisa tahu aku mandi di tengah malam?" tanya Namara sambil menerima pemberian Elise.
"Aku mendengarnya dari Dysta." Itu nama pelayan tadi malam.
Namara tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengendus aroma dari minuman hangat itu. Ada bau-bauan herbal yang secara alami tidak dia sukai.
"Cepat, Nona. Sebelum minuman itu dingin," desak Elise.
Akhirnya mau tidak mau Namara meminumnya. Rasa pahit langsung menyerang lidahnya. Benar-benar tidak menyenangkan.
Elise mengambil cangkir kosong di tangan Namara. "Sekarang istirahatlah. Nona pasti lelah tadi malam," ucap Elise yang diikuti dengan nada menggoda.
Lelah apanya?! Namara ingin memukul mulut Elise. Dia tahu apa yang pelayan itu pikirkan. Namun, dia hanya diam dan kembali berbaring di tempat tidur.
Badannya memang terasa lemas dan tidak nyaman. Sepertinya dia memang sakit.
"Baiklah. Aku akan tidur sekarang," ucap Namara pada akhirnya.
Elise mengangguk. Dia pun melangkah keluar kamar sambil membawa cangkir kosong bekas ramuan herbal. Ketika dia baru saja menutup pintu tiba-tiba dia melihat sosok yang tidak terduga.
"Falmos? Kenapa kau ada di sini?" tanya Elise dengan heran. Falmos adalah tangan kanan Leor, tentu saja dia terkejut melihat pria itu muncul di sana.
"Tuanku ingin bertemu dengan Nona Namara," ucap Falmos yang langsung membuat Elise semakin terkejut.
"Ini ... sepertinya tidak bisa," ucap Elise dengan gamang.
"Kenapa? Tuanku hanya ingin berbicara beberapa hal."
Elise tersenyum canggung. Ini adalah situasi yang sangat baru. Leor tentunya memiliki kekuasaan yang lebih dari Eros. Pria itu tidak pernah sekali pun ingin berbicara dengan budak seks Eros.
Kenapa tiba-tiba hari ini Leor ingin menemui Namara?
"Falmos, aku tidak—"
"Kau tahu Elise, Tuan Leor tidak ingin dibantah," ujar Falmos memotong ucapan Elise. "Dia adalah calon kepala klan berikutnya. Jadi, kuharap kau akan mendengarkannya."
Elise berada di ambang kebingungan. Dia tahu Eros pasti akan marah jika Namara sampai pergi menemui Leor. Namun, permintaan Leor juga tidak bisa diabaikan begitu saja.
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Baiklah. Aku akan memanggil Nona," lirih Elise. Dia tidak memiliki pilihan yang lain.
"Tuan Leor sudah menunggu di taman belakang istana Bulan. Segera bawa Nona Namara ke sana," ucap Falmos sebelum melangkah pergi.
Elise hanya bisa mengangguk. Dia menutup matanya rapat-rapat. Sepertinya akan ada hal tidak menyenangkan yang terjadi.