Yena mengamati lamat-lamat buku yang dipegangnya, selama perjalanan tak ada percakapan sama sekali. Bahkan kehadiran Sameer seperti tak disadari olehnya.
"Setelah ini, apa yang akan Nona lakukan?" tanya Sameer membuka percakapan.
Yena menoleh, sudut matanya tertuju pada buku kemudian kembali menatap Sameer. "Mungkin ... membaca buku ini sampai selesai," jawabnya, "kalau kau ... pasti banyak yang harus dikerjakan, bukan?" lanjutnya bertanya dengan bibir tersenyum tipis.
"Begitulah, setelah ini saya harus bekerja lagi seperti 'biasa'."
"Bagus, pergilah. Jangan sampai kau terlambat."
"Terima kasih, Nona. Saya mohon undur diri." Sameer membungkuk sebagai tanda penghormatan, dirinya berpamitan terlebih dahulu sebelum akhirnya berjalan pergi ke tempat tujuan.
Selepas kepergian Sameer, pandangan Yena kembali fokus pada buku di genggaman, baru kali ini ia melihat sebuah buku dengan keadaan tidak biasa. Dia memutuskan untuk membacanya di dalam kamar penginapan.
Yena mempercepat langkah kemudian memasuki pintu kamarnya di penginapan. Dia berjalan menaiki tangga untuk sampai ke sana, tanpa menghiraukan seorang pelayan yang berjaga di Meja Selamat Datang. Di dalam kamar sudah tersedia sebuah meja persegi empat kecil. Ia menggunakan meja tersebut sebagai alas buku kemudian berusaha membaca setiap aksara yang tertulis. Yena membolak-balik lembaran demi lembaran sampai akhirnya...
"Aku menyerah ... bahasa dalam buku ini sangat aneh, aku tidak bisa membacanya." Meski berkata demikian Yena tetap berusaha menerjemahkannya, walaupun hasil akhir tetap nihil.
Tiba-tiba, terdengar kegaduhan yang jelas dari luar penginapan, membuat Yena bangkit dari duduk untuk mengintip melalui jendela kamar. Dia sangat mengenal siapa yang sedang membuat keributan.
Orang itu adalah Ketua Prajurit Eden. Bagaimana bisa dia berada di kota Denvail? Bukankah seharusnya dia sedang mengawal seorang Menteri? Yah ... Yena bisa mengetahui tugas Eden dari beberapa calon prajurit kerajaan sebelum berangkat kemari.
Yena bergegas lari ke bawah meninggalkan buku dengan kondisi terbuka. Sebelum semuanya terlambat, karena ia sangat mengenal Eden. Si bengis tak berhati itu tanpa ampun mampu melukai siapa saja yang berani menghalangi jalannya.
🍂🍂🍂
Di dekat pintu, seorang pelayan memandang ngeri pemuda bersurai merah, tergambar dari pantulan matanya. Sementara seorang pemilik penginapan berusaha membujuk si pemuda agar mau tertib aturan.
"Ma-maaf Tuan, tapi kami tidak bisa membiarkan anda masuk. Anda harus memesan kamar dulu, sudah peraturannya seperti itu," jelasnya tergagap dengan tubuh ringkih yang gemetar saat menatap pemuda bertubuh jangkung.
Amarah si pemuda bergejolak. Lengan kokohnya menarik kerah pemilik penginapan. "Coba katakan sekali lagi! Aku bisa mematahkan lehermu dengan mudah jika kau masih menghalangi tugasku. Kau tahu siapa Yena? Orang yang menginap di sini? Biarkan aku menemuinya."
"Tapi Tuan, to-tolong taati tata tertib di—"
"Kau?! Masih saja! Baiklah, jika hal ini yang kau inginkan ...."
Kedua kaki lelaki ringkih mengambang di udara, tampaknya Eden sudah tidak sanggup bersabar lagi. Bersiaplah, lelaki itu akan segera menjemput ajalnya.
"EDEN!!!"
Nyaris. Leher si lelaki bisa saja putus dalam satu cengkraman jika Yena tidak memekik, ia hadir pada waktu yang tepat. Masalahnya, Eden justru melempar tubuh lelaki itu hingga membentur tembok, seketika pingsan di tempat.
"Kenapa malah kau lempar?" Pandangan Yena kesal kemudian menatap pria yang dilempar sudah tidak sadarkan diri. Dia berlari, ingin mengecek kondisinya.
Telunjuk Yena mendekati hidung, memastikan laju pernapasan pemilik penginapan. Setelah dirasa masih bernapas, Yena memerintahkan seorang pelayan yang ada di sana untuk memanggil tabib.
"Untuk apa kau melakukan ini? Tinggalkan sajalah." Eden tidak berminat melihat Yena yang seperti ini, menjadi malaikat penolong untuk membantu yang lemah? Sungguh menggelikan di matanya.
Sebuah tangan melayang pada wajah Eden. Tetapi segera ditangkis dengan mudah. Yena ingin sesekali menampar wajah rupawan nan bengis itu. Sayangnya selalu gagal.
"Hey! Ayolah ... fokus! Ada tugas penting dari Yang Mulia Firan untukmu." Dengan netra merah delima, Eden menatap Yena intens. Surai merahnya jatuh dan melambai-lambai di udara.
Yena menghempaskan lengannya. Cengkraman Eden cukup membuatnya meringis dan menggosok pergelangan. "Kau kelewatan! Padahal aku hanya bercanda."
"Bercanda katamu? Jelas-jelas wajahmu merah, kau kesal padaku, kan?"
Eden itu walau terlihat seperti pria dingin dan cuek, jika berurusan dengan Yena akan lain cerita. Dia menjadi sangat peka. Yena risi karena merasa tidak memiliki kebebasan, rasanya seperti ditelanjangi saat Eden menebak suasana hatinya dengan benar.
"Lupakan, ayo bicara di luar saja," sela Yena dengan intonasi kesal.
Mereka berdua keluar dari dalam penginapan setelah tabib baru saja datang. Fokus Yena sempat teralihkan. "Jadi, tugas seperti apa yang kau bawa?" tanyanya beralih menatap Eden.
"Kau tahu 'kan Tuan Almeer?"
"Oh, si Menteri Agung yang sombong itu? Ada apa dengannya?"
"Beliau berhasil dipenggal, kepalanya diambil seperti kasus pembunuhan sebelumnya."
"Apa?" Yena menelan ludah, teringat dengan kejadian semalam. Padahal baru saja dia meyakini bahwa pria di bar adalah si pembunuh gurun. Tetapi, jika benar, bagaimana bisa? Dalam waktu kurang dari satu jam pria itu sudah berada di kota Dellena.
Jarak antara Dellena dan Denvail memang cukup dekat, namun tetap saja masih membutuhkan waktu setengah malam untuk sampai di kota pelacur itu. Sangat tidak masuk akal.
"Ada apa? Kau menemukan sesuatu?" Suara tanya Eden membuat lamunan Yena terpecah.
"Ah, aku ... semalam mungkin saja ... telah bertemu dengan si pembunuh gurun."
"Sungguh? Tapi kau tidak salah lihat, 'kan?" Wajah Eden yang rupawan tampak berminat mendengar pengakuan Yena.
"Aku tidak terlalu yakin. Meski pria yang aku temui memakai masker dan turban seperti yang diceritakan. Rasanya mustahil manusia biasa mampu berpindah dari satu kota ke kota lain dengan sangat singkat," tutur Yena.
Eden melipat tangan di dada. Otaknya mulai mencerna kata per kata yang Yena sampaikan. Dia berucap, "Masuk akal, mungkin itu sebabnya aku ada di sini sekarang. Yang Mulia mendapat kabar kematian Tuan Almeer melalui pesan yang di bawa elang. Kemudian aku segera diperintahkan untuk menjemputmu menemuinya."
"Maksudmu menemui Yang Mulia itu bagaimana? Aku ini tidak boleh kembali sebelum mendapatkan informasi tentang si pembunuh gurun. Kau mau keluargaku di penjara?"
"Bukan begitu, sekarang Yang Mulia sedang tidak ada di Istana, beliau bersama Wakil Syamsir berangkat menuju kota Mitri, kota miskin yang penduduknya tinggal menunggu ajal itu. Di sana juga ada Menteri Perpajakan."
Oh! Syamsir. Wakil Panglima Perang yang baru. Sudah tiga bulan dia menjabat sebagai wakil. Karena Wakil Panglima terdahulu telah gugur saat berperang dengan kerajaan-kerajaan yang menentang sistem Kerajaan Altair. Meski begitu perang yang sengit dimenangkan oleh Raja Firan. Yena tidak mengerti, mengapa Raja Firan harus ada di kota miskin itu.
"Sebentar, ini aneh. Menteri Perpajakan dan para pengawalnya mau apa di sana?" tanya Yena, tangannya memijat pelipis yang terasa sakit.
"Mau menagih pajak."
"Ap—hah? Di kota miskin?" Matanya terbelalak sempurna, tak habis pikir dengan sebuah kalimat yang terucap dari bibir Eden.
"Iya, kenapa?"
Pertanyaan Eden tidak Yena jawab, jemarinya terkepal dengan gigi menggigit bibir. Sempat-sempatnya mereka memeras orang-orang malang di sana.
"Ada apa? Kau merasa iba? Tak ada waktu untuk itu, kesampingkan perasaanmu. Sekarang kita harus segera pergi, terlebih mendengar ceritamu. Jangan sampai suatu hal buruk terjadi lagi." Tanpa mempedulikan kondisi hati temannya, Eden segera menaiki kuda setelah melepas ikatan tali pada tiang khusus pengikat, ia mengulurkan tangan pada Yena. "Ayo ...."
"Tidak usah, aku ada kuda sendiri. Aku mengikatnya di dekat Bar Bafett."
"Baiklah, kutunggu kau di pinggir kota."
"Ya, aku akan menyusul."
Eden menepuk leher si kuda, agar mau berjalan lebih santai sembari menunggu Yena. Setelah sosok Eden cukup jauh, Yena berjalan menuju kuda miliknya yang berwarna coklat terang. Ia mengusap dengan lembut surai panjang si kuda. Pikirannya menjadi kacau setelah mendengar penjelasan Eden. Sungguh, jika saja si pembunuh adalah orang baik. Yena rela bergabung dengannya untuk melakukan perbuatan yang sama.
🍂🍂🍂
Kota Mitri, pinggir kota.
Seorang Pria bermasker memasuki rumah reyot dari kayu, pintunya sudah sangat sulit untuk digerakkan. Pria itu mendorong sedikit lebih kuat sampai akhirnya terbuka. Netra kelam miliknya mendapati sesosok manusia ringkih, tanpa daging, hanya kulit yang membungkus tulang-tulangnya. Manusia itu melambai seperti sedang memanggil. Si pria tampak menurunkan maskernya hingga sebatas dagu. Jelas terlihat rahang tegasnya tidak bereaksi sama sekali. Ia melangkah perlahan menuju manusia malang berusia senja. Lalu berjongkok di samping tubuh kurus itu sembari mendekatkan wajah, memasang telinga untuk mendengar kalimat yang terucap.
"Tuan, tolong sayahh ... makannn ... saya sudahh tidak tahan lagihh." Suara pelan, sangat lirih. Manusia malang itu merupakan seorang kakek yang ditinggal sendirian di rumah tak layak huni ini.
Pria bermasker membaringkan tubuh si kakek kemudian mengusap kepalanya dengan lembut, sangat pelan sehingga matanya terpejam dalam damai. Ia berhasil memenggal kepala si kakek tanpa suara. Hanya sedikit darah yang menetes dari hasil penggalannya. Aura hitam dalam darah si kakek tidak terlihat. Pria itu bisa mendeteksi dengan jelas dari tetesan darahnya, tidak ada asap hitam yang biasa terlihat pada kebanyakan korbannya.
"Kepala ini ... sangat sedikit energinya, tidak berguna bagiku. Tapi, semoga engkau tenang di alam sana." Pria itu membungkuk, sebagai penghormatan terakhir untuk si kakek baik hati. Ia beranjak dari sana tanpa menenteng kepala.
Setelah dari rumah reyot, pria bermasker melanjutkan perjalanan menuju ke tengah kota Mitri, tidak lupa untuk menutup maskernya kembali. Syal yang setia menemani, melambai acak ketika diterpa angin sore. Sebentar lagi, sebuah kepala akan ia bawa pulang kembali.