#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_4
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 620 kata
Judul : Tetangga Misterius
Isi :
Aku sering mengamati keluarga Hasan, tetanggaku yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Kompleks tempat tinggal kami memang tidak terlalu padat penduduk, tetapi ada hal lain yang menarik minatku untuk selalu melihat mereka.
Rumah mereka yang besar dan mewah tentu berbeda dengan rumah-rumah lain yang berada di daerah ini. Ada gosip yang beredar mengatakan mereka memakai semacam ilmu hitam untuk mendatangkan kekayaan. Aku tidak percaya pada kabar angin yang mungkin berasal dari orang-orang yang iri pada mereka.
Rasa penasaranku yang besar membuatku diam-diam mengintai rumah mereka. Apa yang kutemukan memang sedikit aneh. Orang-orang yang mengunjungi rumah tersebut, mereka tidak pernah kulihat keluar dari rumah itu.
Pasti ada yang terlewat. Mungkin aku tidak tahu bahwa mereka telah pergi, dugaku.
Beberapa hari setelah pengamatanku itu, keluarga Hasan mengundangku untuk berkunjung ke kediaman mereka.
"Jangan pergi, Ra," larang Ina, kakakku. Selama beberapa bulan ini, kami memang hanya tinggal berdua, karena ayah dan ibuku sedang menjenguk nenek yang berada di desa.
"Aku hanya pergi sebentar saja, Kak."
"Tapi …."
Kak Ina tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya. Aku tahu dia pasti telah mendengar kabar burung tentang ilmu hitam yang digunakan tetanggaku tersebut, sehingga mencemaskan diriku.
"Kak, ayolah, apa mungkin Kakak percaya kabar yang beredar semacam itu?" sergahku.
Kakakku itu akhirnya mengalah dan membiarkan aku pergi. Tidak lupa berpesan agar aku menjaga diri.
"Jika mendapati ada hal yang aneh, segeralah pergi dari sana," ucapnya mewanti-wanti. Aku hanya mengangguk saja.
***
Tidak ada keanehan yang kutemukan. Keluarga Hasan bahkan menyambut ramah dan menjamuku dengan aneka makanan lezat. Aku makin yakin bahwa kabar mereka menggunakan ilmu hitam adalah bohong belaka.
Setelah selesai makan, keluarga Hasan yang terdiri dari Pak Hasan, istri, dan dua anak perempuan yang telah menginjak remaja mengajakku mengobrol. Aku jadi merasa tidak enak karena sering mengamati tempat mereka. Aku kemudian meminta maaf pada mereka. Keluarga yang baik itu hanya tersenyum dan dengan begitu mudahnya menerima permintaan maafku.
Tidak lama setelah mengobrol, dua mataku terasa berat dan mengantuk. Tanpa terasa, aku jatuh dalam alam mimpi.
Saat terbangun, aku bingung dan ketakutan karena menemukan diriku berada di sebuah tempat yang memiliki penerangan remang-remang dan berbau anyir. Ada tali tambang yang mengikat tangan dan kakiku dengan kuat. Tidak lama kudengar suara pisau diasah. Mataku membeliak saat melihat Pak Hasan mendekat ke arahku sambil menghunus pisau. Aku terus meronta dan akhirnya berhasil melepaskan diri. Kudorong beliau hingga jatuh tersungkur dan bergegas pergi dari tempat itu.
***
Aku merasa lega saat kembali ke rumah. Kuputuskan untuk memberitahu Kak Ina, tetapi dia justru tidak menggubris apa yang kukatakan. Tidak lama kudengar suara ketukan di pintu rumah. Aku terkejut dan ketakutan saat melihat keluarga Hasan datang berkunjung.
"Jangan buka pintunya, Kak!" seruku panik. Akan tetapi, lagi-lagi Kak Ina tidak menggubris. Ia bahkan bersikap seolah tidak mendengarku. Aku memutuskan akan menelepon polisi jika mereka mencoba berbuat jahat kepada kakakku.
Wajah Kak Ina itu berubah sumringah saat keluarga Hasan memberi dia uang yang sangat banyak.
"Akhirnya aku bisa juga menjadi kaya," ujarnya. Aku yang mendengar itu hanya bisa diam kebingungan.
"Apa kau tidak menyesal telah menjadikan adikmu sendiri sebagai tumbal?" tanya Pak Hasan.
Kak Ina menggeleng mantap.
"Tidak, sejak dulu aku memang membenci Rara. Dia itu tidak tahu diri, bahkan merebut perhatian pemuda yang kusukai. Sekarang dia sudah tidak ada dan aku memiliki banyak uang. Ini benar-benar sangat menyenangkan."
Aku tidak ingin percaya dengan yang kudengar, tetapi aku tahu semua adalah nyata. Kini kusadar diriku telah tiada karena menjadi tumbal dari rasa kebencian kakakku sendiri. Aku merasa marah dan tidak terima.
Aku berjanji untuk tidak melepas mereka yang membuatku seperti ini.
***
Kutatap rumah besar keluarga Hasan yang pernah membuatku penasaran. Kini yang tersisa padaku hanyalah dendam dan amarah pada mereka. Setelah mengakhiri hidup kakakku, sekarang adalah giliran mereka sekeluarga yang meregang nyawa di tanganku.
Tamat