#NAD_30HariMenulis2020
#Hari_ke_7
#NomorAbsen_144
Jumlah kata : 1000 kata
Judul : Revenge
Isi :
Nisa berdiri di pinggir loteng. Tatapannya mengarah ke bawah. Ke arah halaman sekolah yang selama ini menjadi tempat dia menuntut ilmu. Air mata mengalir deras. Sebenarnya dia tidak menginginkan ini terjadi pada dirinya. Namun, ia tidak bisa lagi bertahan. Mengakhiri hidup hanyalah satu-satunya jalan keluar yang terlintas di benaknya.
Masih membekas dalam ingatan, semua perkataan bernada ejekan dari teman-temannya. Mereka semua mengatakan dia gadis kotor dan jika bersentuhan dengannya, mereka akan ikut kotor dan jatuh sakit.
"Eh, lihat tuh si kuman lewat, jauh-jauh gih!"
Itulah lontaran kalimat yang terlontar dari mulut salah seorang dari mereka. Tidak satupun yang membela Nisa. Teman-teman yang lain juga ikut menambah ejekan.
"Jangan ada yang dekat-dekat, entar kalau sakit, tahu rasa lo!"
"Ih, gue mah jijik. Dibayarpun gue nggak bakal mau dekat sama kuman."
"Eh, bukannya harus kuman itu dibasmi ya? Kumannya bandel banget. Nongol terus aja di sini tiap hari."
Ucapan-ucapan tersebut bahkan dikatakan secara terang-terangan di hadapan Nisa. Mereka semua tidak ada yang peduli pada air mata yang menitik di wajah gadis itu.
Nisa yang masih berdiri di pinggiran loteng kembali mengusap air matanya teringat kejadian itu.
'Tentu mereka tidak peduli, bahkan orang tuaku saja tidak peduli,' gumamnya dalam hati.
Nisa memang telah berulang kali mengatakan keinginan untuk pindah sekolah, tetapi ayah dan ibunya justru menganggap dia seorang gadis cengeng.
"Kamu itu terlalu terbawa perasaan. Mereka itu hanya bercanda. Cobalah untuk bergaul dengan mereka," tutur sang ibu.
"Sekolah itu adalah sekolah favorit. Banyak yang ingin masuk ke sana, kamu yang sudah diterima di sana malah ingin pindah sekolah," sambung ayahnya. Itulah yang terjadi setiap kali Nisa mengadukan kelakuan teman-temannya dan memaksa untuk keluar dari sekolah tersebut.
Tangan Nisa mencengkeram erat seragam putih birunya teringat kejadian tersebut. Baik orang tuanya dan mereka yang berada di sekolah tersebut tidak ada yang peduli pada perasaannya, mereka telah mendesaknya menuju jalan yang menurut Nisa adalah satu-satunya jalan keluar dari semua ejekan yang selama ini dialami.
"Kamu benar-benar akan melompat?" tegur seseorang mengejutkan Nisa. Nisa terkejut dan sontak menoleh. Tidak jauh di belakangnya, berdiri seorang gadis berambut sebahu yang tidak ia kenal. Akan tetapi, dari seragam yang dikenakan, Nisa tahu gadis itu juga adalah murid di sekolah tersebut.
"Apa kamu nggak menyesal setelah apa yang mereka lakukan ke kamu, kamu justru memilih mengakhiri hidup?" tanya gadis itu lagi.
"Kamu tidak perlu ikut campur. Kamu tidak tahu apa yang terjadi padaku."
Gadis itu tersenyum kecil menanggapi perkataan Nisa.
"Tentu aku tahu yang terjadi padamu. Teman-teman sekelasmu selalu mengejek dan menjauhimu. Guru dan orang tuamu tidak peduli dengan hal itu.
"
Nisa terkejut mendengar hal itu.
"Bagaimana bisa …?"
"Aku tahu semuanya, Nisa, tapi bukan itu yang penting, jika kamu melompat dari sini dan mengakhiri hidupmu, mereka tidak akan peduli dan menyadari kesalahan yang mereka lakukan. Kamu juga pasti akan menyesal melakukannya. Sama seperti aku. Dulu aku juga diejek oleh teman-temanku dan aku juga mengambil keputusan yang sama denganmu. Aku melompat dari sini."
Nisa tertegun ketakutan.
"Si-apa ka-u?" tanyanya dengan suara tercekik.
Gadis di hadapannya itu masih saja tersenyum.
"Namaku Ningsih. Kamu tidak perlu takut padaku, Nisa. Aku bisa membantumu membalas mereka yang telah menyakitimu."
"Maksudmu?"
Ningsih menyeringai kemudian menghilang. Nisa menjerit kesakitan saat seberkas bayangan hitam masuk ke dalam tubuhnya. Gadis itu merosot jatuh di lantai. Kepalanya tertunduk dengan mata terpejam. Tidak lama saat kepala kembali terangkat dengan mata terbuka lebar, seulas senyum tipis muncul di wajah Nisa.
***
"Hei, awas-awas ada kuman lewat!" teriak seorang siswa keesokan harinya saat melihat Nisa.
Nisa bergegas menghampiri.
"Kamu bilang apa?" gertaknya.
"Aku bilang kamu itu kuman dan …."
Remaja lelaki itu tidak menyelesaikan perkataannya karena terkejut saat tangan Nisa meraih lehernya. Murid-murid yang lain tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
"Wah, kena kuman tuh!"
Akan tetapi, tawa mereka lenyap saat menyadari apa yang terjadi, Nisa tengah mencekik leher murid lelaki tersebut. Mereka berteriak ketakutan dan memanggil guru.
"Ada apa ini?" tegur seorang guru wanita yang datang.
Nisa tersenyum dan menatap guru tersebut.
"Tidak apa-apa, Bu. Kami hanya bercanda. Saya sedang berusaha untuk bergaul dengan teman-teman saya seperti yang Ibu dan orang tua saya sarankan," sahutnya sambil melepaskan cekikan. Siswa di hadapannya hanya bisa merosot di kursi. Bekas cekikan tampak memerah di lehernya.
***
"Ibu dengar yang terjadi di sekolahmu. Gurumu juga memanggil Ibu dan Ayah ke sekolah. Sebenarnya apa yang terjadi, Nisa?" tegur ibunya saat gadis itu pulang dari sekolah.
"Tidak ada apa-apa, Bu. Aku hanya melakukan yang kalian suruh, aku bergaul dengan mereka," jawab Nisa tenang.
"Tapi kenapa guru itu bilang …?"
"Ibu, bukankah ini yang kalian mau? Aku sekarang tidak akan menangis lagi dan bisa menghadapi mereka. Sekarang aku sudah melakukannya. Kuharap Ibu dan Ayah tidak perlu ikut campur lagi dengan masalah pergaulanku. Aku bisa mengatasi mereka sekarang."
Nisa kemudian beranjak bangkit dari duduknya. Sang ibu menatap punggung putrinya yang melangkah menuju kamar. Entah mengapa ia merasa anak gadisnya itu kini berbeda. Perlahan beliau menghela napas panjang. Mungkin semua memang kesalahannya, karena keegoisan ia dan sang suami, kini putri mereka justru berubah menjadi sosok yang dingin dan kejam.
***
Di dalam kamar, Nisa tersenyum seraya menatap kaca. Bayangan dirinya berubah menjadi sosok Ningsih.
'Ini semua hanya permulaan. Mereka yang berani mengejek, aku pasti akan membalas mereka satu per satu. Mereka yang tidak peduli pada perasaan yang terluka, aku juga akan membalas mereka,' ucapnya dalam hati. Senyum tipis kembali muncul di wajahnya.
Teror kini berkembang di sekolah tersebut. Banyak siswa dan guru yang bunuh diri dengan melompat dari loteng. Ayah dan ibu Nisa juga meninggal dalam kecelakaan tidak lama setelahnya. Akan tetapi, Ningsih masih belum usai. Ia terus menggunakan tubuh Nisa untuk membalas orang-orang yang tersisa.
"Aku dan kamu mengalami rasa sakit yang sama. Melakukan pembalasan untukmu sama seperti membalas dendam atas rasa sakit yang dulu pernah kurasakan. Benar 'kan, Nisa?" tanya Ningsih.
Nisa yang berdiri di sampingnya tersenyum.
"Itu benar, Ningsih," ucapnya sambil mengangguk.
Keduanya tengah berdiri di loteng sekolah dan sedang menatap ke bawah. Ke arah tubuh gadis yang dulu sering menghina Nisa. Gadis itu baru saja jatuh ke bawah sana dan tewas seketika dengan kepala pecah.
Tamat ….