Terbangun oleh suara dering alarm, Clara membuka matanya dan bangun. Rasanya lengannya tidak sakit lagi setelah diobati oleh Ronan.
Itu juga mengingatkannya tentang interaksi mereka kemarin. Yang membuatnya semakin penasaran apa yang akan diberikan Ronan padanya nanti.
Selesai mandi dan memakai pakaian, Clara segera berjalan ke ruang makan untuk sarapan bersama Ronan.
Sesampainya di ruang makan Clara tidak menemukan sosok Ronan dimanapun. Berpikir untuk mencarinya ditempat lain dia melihat secarik kertas menempel di atas meja yang penuh makanan kesukaannya.
Dengan cepat, dia mendekat untuk melihat tulisan Ronan.
'Makanlah duluan aku memiliki beberapa urusan yang mendesak. Tidak perlu menungguku.'
Membacanya sekali lagi dengan teliti, Clara akhirnya yakin bahwa dia tidak salah membaca. Tapi itu malah membuatnya bingung.
Urusan apa yang begitu penting sampai Ronan sendiri yang harus menyelesaikannya. Mengingat kebiasaan Ronan, dia yakin bahwa tidak ada kejadian penting apapun yang bisa terjadi bulan ini.
Selagi berpikir untuk waktu yang cukup lama, Clara dengan cepat menyelesaikan sarapannya dan mencuci piring. Namun, setelah sekian lama dia masih belum menemukan alasan apapun yang cukup masuk akal tentang sikap aneh Ronan.
Memutuskan untuk berjalan-jalan pagi ini, Clara merasakan getaran yang berasal dari handphone-nya dan suara dering yang akrab. Mengangkat sambungan telepon yang masuk, dia terkejut oleh suara nyaring dari sisi lain sambungan.
Eliza : 'CLARA! Apakah kau ada disana?'
Geli akan sikap Eliza yang sangat heboh, Clara tertawa dengan keras hingga perutnya sakit. Betapa lupanya dia akan sikap temannya yang heboh ini.
Eliza yang ditertawakan oleh temannya itu mendengus sebal.
Eliza: 'Aku tau kau ada disana. Berhentilah tertawa! Ada yang ingin aku tanyakan padamu.'
Clara yang mendengar ucapan Eliza-pun akhirnya berhenti tertawa, dan fokus mendengarkan.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Dengan bingung Clara bertanya kepada temannya, pasalnya dia tidak tau hal penting apa yang membuat temannya yang sibuk ini meneleponnya.
Temannya yang memiliki nama panjang Eliza Beatrix itu adalah salah seorang agen sama sepertinya. Berawal dari pertemuan pertama mereka di markas, hingga kini sebagai sahabat karibnya. Clara yang kesepian menerima kehangatan dari Eliza yang periang. Hingga kini dia masih merasa sangat bersyukur memiliki Eliza sebagai temannya. Walaupun kadang temannya itu bisa sangat menyebalkan dan heboh.
Eliza: 'Clara apakah Ronan ada disana?'
"Tidak ada, kenapa kau menanyakan itu?" Mendengar temannya membawa - bawa nama Ronan membuat Clara semakin bingung. Ada apa dengan orang - orang hari ini, mereka terdengar tidak seperti mereka yang biasa.
Clara yang sudah sampai dijalan yang ramai, dikejutkan oleh seorang pria yang memiliki timer di kepalanya. Saking fokusnya, dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Eliza.
Eliza: '.... Clara apa kau mendengarku!'
Suara Eliza yang nyaring berhasil membangunkan Clara dari lamunannya. Namun itu masih tidak cukup untuk menarik perhatiannya. Semua pikirannya telah diambil alih oleh pria tadi yang memiliki timer di kepalanya.
"Eh, ya ya aku mendengarkanmu. Ku tutup dulu ya teleponnya. Aku ada urusan penting, bye." Dengan tergesa-gesa Clara menutup sambungan teleponnya, dan berjalan dengan cepat kearah sosok pria itu yang hampir menghilang di balik kerumunan orang yang berlalu lalang.
Eliza : 'Eh apa Clar, Clar tung----'
Sebelum bisa menyelesaikan perkataannya, sambungan telepon tertutup yang membuat Eliza khawatir tentang kelakuan sahabatnya setelah apa yang telah dia katakan. Dia tahu seberapa teguh pendirian temannya itu, dia hanya bisa berharap bahwa apa yang dia katakan tidak akan berakibat terlalu banyak pada temannya.
Sementara disisi lain, Clara yang telah berhasil mengikuti pria itu, dengan tenang membuntutinya. Dia berharap bisa mengetahui lebih awal alasan kematian pria itu.
Berpura-pura seperti pejalan kaki yang lain, Clara dengan cermat mengikuti pria itu, hingga melewati sebuah kedai kopi. Dia yakin bahwa dia belum pernah melihat kedai kopi itu sebelumnya, namun dia merasakan perasaan yang sangat akrab dari dalam hatinya.
Clara melihat banyaknya pengunjung yang datang dan menyimpulkan bahwa kedai kopi itu seharusnya sangat populer. Namun dia tidak pernah mendengar tentang itu sama sekali.
Clara yang termenung tidak tau bahwa pria yang sedari tadi dia ikuti itu berbalik dan tersenyum kearahnya dengan pandangan yang sangat membingungkan. Itu adalah campuran sakit, senang, khawatir, lega, marah, sedih, dan masih banyak lagi.
Menghilangkan berbagai pikiran di kepalanya, dia melihat bahwa pria yang telah dia ikuti sedari tadi telah menghilang entah kemana. Clara yang melihatnya dengan cepat berjalan dan berhasil menemukan sosok pria itu yang sedang berjalan sendirian di taman yang hampir kosong.
Hanya beberapa pejalan kaki lewat yang bisa dilihat. Melihat sekeliling dia yakin bahwa tidak ada hal berbahaya apapun disini yang bisa membahayakan pria itu, tapi timernya tak berhenti berkurang sedikitpun.
Betapa kesalnya Clara karena keanehan pria itu. Sedari tadi, dia telah mengikutinya dan dia tidak menunjukan satupun tanda bahwa dia akan berhenti.
Selagi mengikuti, dia juga melihat berbagai keanehan padanya, timer yang ada di kepalanya memiliki 2 tanda tambahan yang jika dia tidak salah menebak itu seharusnya menunjukkan jam.
⭕⭕ ⭕⭕ ⭕⭕
(Jam) (Menit) (Detik)
Dia juga satu-satunya orang yang Clara lihat memiliki timer seperti itu.
Sebenarnya ada apa ini?
Bergegas kearah pria itu, Clara tahu bahwa dirinya sendiri telah kehabisan kesabaran. Menarik lengan baju pria itu, Clara dengan malu - malu mengeratkan genggamannya di lengan baju pria itu.
"P-permisi tuan. Bisakah aku membantumu?" Dengan raut khawatir dan pipi yang memerah, Clara bertanya dengan gugup kearah pria itu. Sesuai dengan perilaku gadis muda yang pemalu.
Dengan dingin menatap kearah Clara, pria itu berbicara dengan singkat.
"Tidak." Mendapatkan penolakan yang keras dari pria itu, Clara sendiri merasa bahwa jika dia berani bertanya lagi kepadanya, dia tidak akan segan - segan untuk menganggapnya sebagai udara dan mengabaikannya.
Namun, bukan Clara namanya jika semudah itu dia menyerah, dengan teguh dia menggenggam tangan pria itu dan tidak mau melepaskannya.
"Eh, tapi aku melihatmu dari tadi berjalan sendirian disini seperti tidak memiliki tujuan." Clara dengan sungguh - sungguh berkata begitu, berharap bahwa dia setidaknya akan mengatakan kemana dia akan pergi.
Pria yang sudah lama terlihat seperti gunung es berjalan itu tiba-tiba tersenyum dengan lebar dan menarik Clara kepelukannya dan menahan Clara dengan kuat.
"Kupikir kau telah mengikutiku dari tadi nona cantik." Pria itu dengan lembut berkata di dekat telinganya, hingga Clara bisa merasakan hembusan napas pria itu yang mengenai daun telinganya. Seketika warna merah dengan cepat menyelimuti telinga dan wajahnya.
Teater kecil.
Cherry: "Mari kita perkenalkan anggota baru yang datang ke teater kecil kali ini. Eliza Beatrix dan pria tidak dikenal. Juga pemberitahuan singkat teater kecil sebelumnya juga kedatangan orang baru. Hanya karena masalah ini dan itu saya belum memperkenalkannya. Lelaki yang datang sebelumnya bernama Ronan Carter."
Cherry : "Mari kita langsung masuk kedalam topik."
Cherry : "Pertanyaan untuk Eliza. Apa yang kau katakan pada Clara dalam sambungan telepon?"
Eliza : *Tersenyum seram* "Oh itu..*takut spoiler*. Jadi itu yang aku katakan."
Cherry : *Menganggukan kepalanya* "Aku mengerti. Lantas bagaimana menurut Clara kita."
Clara :*Dengan mata berkaca-kaca* "Aku tidak percaya itu sama sekali." *Menangis*
Pria tidak dikenal : *Memeluk Clara* "Kau tidak perlu menangis seperti itu."
Cherry : "Mengapa kau memeluk Clara. Itu tidak ada dalam naskah sama sekali!" *Menunjuk kearah pria itu*
Pria tidak dikenal : "Terserah aku." *Menghibur Clara*
Eliza yang merasakan suasana berubah menjadi mengerikan menyela.
Eliza : "Mari kita akhiri teater kecil kali ini."
Semua orang : "Terima kasih! Sampai jumpa di teater kecil selanjutnya."
Pria tidak dikenal yang babak belur karena dipukuli oleh author dan relawan lain setelah menyelesaikan teater kecil.
Pria tidak dikenal : "Apa salahku."
Terbangun oleh suara dering alarm, Clara membuka matanya dan bangun. Rasanya lengannya tidak sakit lagi setelah diobati oleh Ronan.
Itu juga mengingatkannya tentang interaksi mereka kemarin. Yang membuatnya semakin penasaran apa yang akan diberikan Ronan padanya nanti.
Selesai mandi dan memakai pakaian, Clara segera berjalan ke ruang makan untuk sarapan bersama Ronan.
Sesampainya di ruang makan Clara tidak menemukan sosok Ronan dimanapun. Berpikir untuk mencarinya ditempat lain dia melihat secarik kertas menempel di atas meja yang penuh makanan kesukaannya.
Dengan cepat, dia mendekat untuk melihat tulisan Ronan.
'Makanlah duluan aku memiliki beberapa urusan yang mendesak. Tidak perlu menungguku.'
Membacanya sekali lagi dengan teliti, Clara akhirnya yakin bahwa dia tidak salah membaca. Tapi itu malah membuatnya bingung.
Urusan apa yang begitu penting sampai Ronan sendiri yang harus menyelesaikannya. Mengingat kebiasaan Ronan, dia yakin bahwa tidak ada kejadian penting apapun yang bisa terjadi bulan ini.
Selagi berpikir untuk waktu yang cukup lama, Clara dengan cepat menyelesaikan sarapannya dan mencuci piring. Namun, setelah sekian lama dia masih belum menemukan alasan apapun yang cukup masuk akal tentang sikap aneh Ronan.
Memutuskan untuk berjalan-jalan pagi ini, Clara merasakan getaran yang berasal dari handphone-nya dan suara dering yang akrab. Mengangkat sambungan telepon yang masuk, dia terkejut oleh suara nyaring dari sisi lain sambungan.
Eliza : 'CLARA! Apakah kau ada disana?'
Geli akan sikap Eliza yang sangat heboh, Clara tertawa dengan keras hingga perutnya sakit. Betapa lupanya dia akan sikap temannya yang heboh ini.
Eliza yang ditertawakan oleh temannya itu mendengus sebal.
Eliza: 'Aku tau kau ada disana. Berhentilah tertawa! Ada yang ingin aku tanyakan padamu.'
Clara yang mendengar ucapan Eliza-pun akhirnya berhenti tertawa, dan fokus mendengarkan.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Dengan bingung Clara bertanya kepada temannya, pasalnya dia tidak tau hal penting apa yang membuat temannya yang sibuk ini meneleponnya.
Temannya yang memiliki nama panjang Eliza Beatrix itu adalah salah seorang agen sama sepertinya. Berawal dari pertemuan pertama mereka di markas, hingga kini sebagai sahabat karibnya. Clara yang kesepian menerima kehangatan dari Eliza yang periang. Hingga kini dia masih merasa sangat bersyukur memiliki Eliza sebagai temannya. Walaupun kadang temannya itu bisa sangat menyebalkan dan heboh.
Eliza: 'Clara apakah Ronan ada disana?'
"Tidak ada, kenapa kau menanyakan itu?" Mendengar temannya membawa - bawa nama Ronan membuat Clara semakin bingung. Ada apa dengan orang - orang hari ini, mereka terdengar tidak seperti mereka yang biasa.
Clara yang sudah sampai dijalan yang ramai, dikejutkan oleh seorang pria yang memiliki timer di kepalanya. Saking fokusnya, dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Eliza.
Eliza: '.... Clara apa kau mendengarku!'
Suara Eliza yang nyaring berhasil membangunkan Clara dari lamunannya. Namun itu masih tidak cukup untuk menarik perhatiannya. Semua pikirannya telah diambil alih oleh pria tadi yang memiliki timer di kepalanya.
"Eh, ya ya aku mendengarkanmu. Ku tutup dulu ya teleponnya. Aku ada urusan penting, bye." Dengan tergesa-gesa Clara menutup sambungan teleponnya, dan berjalan dengan cepat kearah sosok pria itu yang hampir menghilang di balik kerumunan orang yang berlalu lalang.
Eliza : 'Eh apa Clar, Clar tung----'
Sebelum bisa menyelesaikan perkataannya, sambungan telepon tertutup yang membuat Eliza khawatir tentang kelakuan sahabatnya setelah apa yang telah dia katakan. Dia tahu seberapa teguh pendirian temannya itu, dia hanya bisa berharap bahwa apa yang dia katakan tidak akan berakibat terlalu banyak pada temannya.
Sementara disisi lain, Clara yang telah berhasil mengikuti pria itu, dengan tenang membuntutinya. Dia berharap bisa mengetahui lebih awal alasan kematian pria itu.
Berpura-pura seperti pejalan kaki yang lain, Clara dengan cermat mengikuti pria itu, hingga melewati sebuah kedai kopi. Dia yakin bahwa dia belum pernah melihat kedai kopi itu sebelumnya, namun dia merasakan perasaan yang sangat akrab dari dalam hatinya.
Clara melihat banyaknya pengunjung yang datang dan menyimpulkan bahwa kedai kopi itu seharusnya sangat populer. Namun dia tidak pernah mendengar tentang itu sama sekali.
Clara yang termenung tidak tau bahwa pria yang sedari tadi dia ikuti itu berbalik dan tersenyum kearahnya dengan pandangan yang sangat membingungkan. Itu adalah campuran sakit, senang, khawatir, lega, marah, sedih, dan masih banyak lagi.
Menghilangkan berbagai pikiran di kepalanya, dia melihat bahwa pria yang telah dia ikuti sedari tadi telah menghilang entah kemana. Clara yang melihatnya dengan cepat berjalan dan berhasil menemukan sosok pria itu yang sedang berjalan sendirian di taman yang hampir kosong.
Hanya beberapa pejalan kaki lewat yang bisa dilihat. Melihat sekeliling dia yakin bahwa tidak ada hal berbahaya apapun disini yang bisa membahayakan pria itu, tapi timernya tak berhenti berkurang sedikitpun.
Betapa kesalnya Clara karena keanehan pria itu. Sedari tadi, dia telah mengikutinya dan dia tidak menunjukan satupun tanda bahwa dia akan berhenti.
Selagi mengikuti, dia juga melihat berbagai keanehan padanya, timer yang ada di kepalanya memiliki 2 tanda tambahan yang jika dia tidak salah menebak itu seharusnya menunjukkan jam.
⭕⭕ ⭕⭕ ⭕⭕
(Jam) (Menit) (Detik)
Dia juga satu-satunya orang yang Clara lihat memiliki timer seperti itu.
Sebenarnya ada apa ini?
Bergegas kearah pria itu, Clara tahu bahwa dirinya sendiri telah kehabisan kesabaran. Menarik lengan baju pria itu, Clara dengan malu - malu mengeratkan genggamannya di lengan baju pria itu.
"P-permisi tuan. Bisakah aku membantumu?" Dengan raut khawatir dan pipi yang memerah, Clara bertanya dengan gugup kearah pria itu. Sesuai dengan perilaku gadis muda yang pemalu.
Dengan dingin menatap kearah Clara, pria itu berbicara dengan singkat.
"Tidak." Mendapatkan penolakan yang keras dari pria itu, Clara sendiri merasa bahwa jika dia berani bertanya lagi kepadanya, dia tidak akan segan - segan untuk menganggapnya sebagai udara dan mengabaikannya.
Namun, bukan Clara namanya jika semudah itu dia menyerah, dengan teguh dia menggenggam tangan pria itu dan tidak mau melepaskannya.
"Eh, tapi aku melihatmu dari tadi berjalan sendirian disini seperti tidak memiliki tujuan." Clara dengan sungguh - sungguh berkata begitu, berharap bahwa dia setidaknya akan mengatakan kemana dia akan pergi.
Pria yang sudah lama terlihat seperti gunung es berjalan itu tiba-tiba tersenyum dengan lebar dan menarik Clara kepelukannya dan menahan Clara dengan kuat.
"Kupikir kau telah mengikutiku dari tadi nona cantik." Pria itu dengan lembut berkata di dekat telinganya, hingga Clara bisa merasakan hembusan napas pria itu yang mengenai daun telinganya. Seketika warna merah dengan cepat menyelimuti telinga dan wajahnya.
Teater kecil.
Cherry: "Mari kita perkenalkan anggota baru yang datang ke teater kecil kali ini. Eliza Beatrix dan pria tidak dikenal. Juga pemberitahuan singkat teater kecil sebelumnya juga kedatangan orang baru. Hanya karena masalah ini dan itu saya belum memperkenalkannya. Lelaki yang datang sebelumnya bernama Ronan Carter."
Cherry : "Mari kita langsung masuk kedalam topik."
Cherry : "Pertanyaan untuk Eliza. Apa yang kau katakan pada Clara dalam sambungan telepon?"
Eliza : *Tersenyum seram* "Oh itu..*takut spoiler*. Jadi itu yang aku katakan."
Cherry : *Menganggukan kepalanya* "Aku mengerti. Lantas bagaimana menurut Clara kita."
Clara :*Dengan mata berkaca-kaca* "Aku tidak percaya itu sama sekali." *Menangis*
Pria tidak dikenal : *Memeluk Clara* "Kau tidak perlu menangis seperti itu."
Cherry : "Mengapa kau memeluk Clara. Itu tidak ada dalam naskah sama sekali!" *Menunjuk kearah pria itu*
Pria tidak dikenal : "Terserah aku." *Menghibur Clara*
Eliza yang merasakan suasana berubah menjadi mengerikan menyela.
Eliza : "Mari kita akhiri teater kecil kali ini."
Semua orang : "Terima kasih! Sampai jumpa di teater kecil selanjutnya."
Pria tidak dikenal yang babak belur karena dipukuli oleh author dan relawan lain setelah menyelesaikan teater kecil.
Pria tidak dikenal : "Apa salahku."