Hatiku retak melihat kekecewaan serta luka di mata Bang Ares. Aku tidak menyukai ini. Aku tidak suka melihatnya terluka dan kecewa. Aku tidak suka melihatnya bersedih. Aku seharusnya menjadi kebahagiaan untuknya, bukannya menjadi alasan dari rasa sakit dan penderitaannya.
Setelah pertengkaran kami di restoran, Bang Ares memutuskan untuk pergi. Aku berlari mengejarnya, berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Bang Dika. Namun, Bang Ares terus saja berjalan tanpa menghiraukanku.
"Bang, tunggu. Aku bisa jelasin semuanya. Aku mohon dengarkan aku dulu." Namun, Bang Ares sama sekali tidak berhenti. Dia juga tidak memperlambat langkahnya.
Aku berhasil menyusul tepat ketika Bang Ares masuk ke mobilnya. Aku duduk di samping Bang Ares yang tampak begitu murka. Dia mencengkeram kemudi begitu eratnya hingga buku-buku jemarinya memutih.
"Bang ...." bisikku.