Sudah bukan rahasia lagi, kalau setiap orang berhak menentukan takdirnya sendiri-sendiri. Kau bebas memilih kepada siapa hatimu akan kau berikan, dan setelah itu, kau bebas mencintai sebanyak apapun kau mau. Tapi sebelum itu terjadi, apa kau perlu ijin darinya? Dari orang yang kau cintai, apa dia bersedia menerima cintamu, atau menolaknya. Apa kau perlu memberitahunya? Atau kau hanya akan mencintainya dalam diam. Sekarang, jika dia mengatakan tidak menginginkanmu, apa yang akan kau lakukan? Menyerah? Atau berjuang mendapatkannya?
Plokk. Seseorang menyentuh bahu Daisy dari belakang, sontak membuat gadis yang tengah sibuk dengan layer laptopnya menoleh.
"Ada apa?" Ujar Daisy, dia pikir seorang yang tak dia kenal, ternyata Cuma Naomi.
"Hasil riset kepribadian, kau sudah mengumpulkannya?"
"Sudah. Kenapa?" Daisy kembali fokus pada laptopnya.
"Lihat dong. Aku lupa kalau deadline-nya nanti sore. Aku baru mengerjakan setengah. Hehehe."
"Sebentar, ide di otakku lagi cair. Kau jangan mengangguku dulu." Daisy mengibaskan tangannya pada Naomi.
"Astaga Daisy. Sebentar saja, kirim ke email-ku kalau begitu."
"Hisss. Tuh kan aku jadi lupa mau nulis apa barusan."
Daisy mencari folder file tugas di laptopnya. 'Riset Kepribadian Manusia' setelah yakin itu tugasnya, dia mengirimkan file pdf itu ke email Naomi. Jika tidak, gadis itu akan meneror Daisy seharian penuh. Padahal Daisy masih sibuk menulis cerita di blog-nya.
"Sudah kan? Ingat jangan di copas semuanya. Atau aku juga dapat nilai C nanti."
"Siap! Thankyuuu Daisy-ku yang manis."
"Ehhh ehhh kau menulis cerita baru lagi?"
"Iya."
"Apa, kali ini genrenya apa? Fantasi lagi?"
"Bukan."
"Apa dong?" Tanya Naomi penasaran.
"Romance."
"Pfftttt." Naomi terdengar menahan tawa. Sontak Daisy menghentikan jarinya yang menari di atas keyboard, dia langsung menatap Naomi tajam.
"Daisy, apa kau mau memasukkan Kak Devian menjadi tokoh di ceritamu itu?"
"Hussss. Jangan menggangguku kubilang. Pergi sana!" Daisy mengambil Headset yang tergeletak di mejanya, dia memakai itu seolah tak ada Naomi di belakangnya.
"Ya, ya, dia salting rupanya. Pfft."
Daisy Acquerella, mahasiswi semester 5 jurusan psikologi yang hobi menulis cerita. Saat luang, dia selalu meluangkan waktu mengisi blog pribadinya dengan imajinasinya. Tapi apa kau tahu? Tidak semua orang bisa mengakses ceritanya. Karena cerita-cerita itu selalu menggunakan tokoh pria yang sama, Devian. Baik dalam dunia khayal, maupun nyata, Devian adalah poros bagi kehidupan Daisy. Jadi blog pribadinya hanya bisa diakses oleh member yang dia beri ijin.
"Tidak. Kali ini aku tidak ingin membuat karangan fantasi lagi. Aku akan menulis diaryku sendiri di blog-ku." Dia berucap pada dirinya sendiri.
-blog pribadi Daisy-
Namaku Daisy, usiaku 20-tahun kurang dua minggu, sejak kecil aku mengidap penyakit jantung. Tapi aku adalah anak yang cengeng, aku takut jarum suntik, aku akan menangis setiap kali jarum itu mengarah ke arahku. Saat jadwal kontrol, sebisa mungkin aku akan sembunyi, tempat paling aman adalah di Gudang, aku tidak mau Mama dan Papa membawaku ke rumah sakit. Tapi percuma saja, mereka selalu tahu dimana aku berada.
Saat itu, usiaku 10 tahun, aku masih takut pada rumah sakit, tapi untungnya, Mama dan Papa menemukan dokter pribadi yang sangat-sangat menyenangkan. Sejak saat itu, aku tidak lagi takut chek up. Dokter itu, kupanggil Paman Ben. Beliau adalah sahabat Papa, orangnya benar-benar menyenangkan, dia sering membuat jokes-jokes receh yang bahkan membuatku tergelak. Aku tidak lagi bersembunyi, aku malah senang bertemu Paman Ben.
Sore itu, aku benar-benar down, jika tidak salah, aku terkena Aritmia. Aku pun terpaksa tinggal di rumah sakit selama berhari-hari. Tapia pa kau tahu? Kalau aku tidak sendirian, Paman Ben membawa seseorang untuk menemaniku. Bukankah dia terlalu baik, Paman Ben bahkan tahu kalau aku kesepian di rumah sakit, karena Mama dan Papa yang harus mengurus perusahaan.
"Daisy, apa kau bosan sendirian di rumah sakit?"
"Uhm. Aku sangat bosan."
"Lihat, Paman membawakan teman untukmu."
"Teman? Apa Kakak ini temanku?"
Saat itu, Paman Ben masuk ke ruanganku, dan di belakangnya, ada seorang pemuda yang mengikutinya, dia juga mengenakan jas yang sama seperti Paman Ben. Kupikir dia adalah perawat.
"Dia adalah putera Paman, namanya Devian dia sedang belajar bagaimana menjadi dokter yang baik. Jadi, Paman akan memberinya tugas untuk menemanimu selama Paman bertugas."
"Hay Apa Kau Daisy?"
"Uhmm"
Saat itulah, untuk pertama kalinya dia menyapaku, aku belum merasakan apa pun saat itu. Tapi apa kau ingin tahu kapan perasaan itu tumbuh?
"Memangnya berapa usia Kakak? Kenapa masih suka permainan seperti itu?" Saat itu, aku melihatnya sibuk dengan rubik di tangannya
"Heyy perhatikan baik-baik, sebenarnya permainan ini mengasah kecerdasan otak."
"Mudah saja."
"Coba kalau kau bisa, "Kak Devian menyodorkan rubiknya padaku.
"Hehehe, apa ada yang lebih mudah dari ini?"
"Hahaha, sini biar kuajari."
Saat itu, Kak Devian benar-benar menjalankan tugasnya sebagai asisten Paman Ben, dia mengontrolku dan juga menjadi temanku. Dia, seperti seorang Kakak. Tapi aku benar-benar tidak menyangka, setelah tiga tahun berlalu dan aku mulai mengerti apa itu rasa suka pada seseorang.
Kak Devian selesai mengejar S2-nya di jurusan Kardiologi, dia termasuk pria yang cerdas, buktinya dia berhasil meraih gelar sarjana di usianya yang ke-4 tahun. Meski sibuk dengan tugas barunya, dia masih sering mengontrolku, bisa dibilang dia dokter kedua setelah Paman Ben. Dia memang meneruskan jejak ayahnya. Apa kau tahu, kalau sebelumnya aku tidak suka menatap langit, langit terlalu tinggi untukku, bahkan untuk berlari 100 meter saja aku tak mampu, bagaimana aku bisa menatap langit yang begitu tinggi itu. Tapi Kak Devian menggambar langit penuh bintang untukku, dia mengatakan "Tidak peduli selemah apapun fisikmu, tapi kau punya hati yang kuat." Kata-katanya seperti sihir, aku jadi lebih menghargai diriku sendiri.
Kau tahu, aku sangat penasaran bagaimana rasanya menghabiskan waktu pulang sekolahmu dengan teman-temanmu, setidaknya pergi ke mall, atau ke taman hiburan bersama. Saat itu aku benar-benar ingin merasakannya. Sampai pada suatu hari, aku mengikuti teman-temanku, menghabiskan sore mereka sekedar nongkrong di café, dan melihat-lihat isi plaza. Tapi apa yang terjadi, benar-benar memalukan, hanya berjalan waktu saja sudah membuat keringat dinginku keluar. Teman-temanku tidak bisa berbuat apa-apa, aku juga tidak berani menghubungi Mama dan Papa. Siapa lagi? Siapa lagi kalau bukan Kak Devian. Aku selalu merepotkannya, dia sibuk dengan pekerjaannya tapi masih sempat menjemputku, dia juga merahasiakan ini dari Mama dan Papa. Aku menyesal, seharusnya aku ijin sebelum pergi.
Waktu berlalu begitu cepat, aku melewati masa SMA-ku, berbeda dari kebanyakan anak yang menemukan cinta mereka di SMA, sebenarnya cinta pertamaku sudah lama kutemukan. Kak Devian. Mereka bilang, aku terlalu sombong menolak senior yang mendekatiku, tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, hanya saja aku hanya akan tetap mencintai satu orang. Bagiku, tidak ada kenangan yang lebih menyenangkan daripada mengingat Kak Devian.
9 tahun waktu yang kuhabiskan bersamanya benar-benar berarti, aku tahu, dia memahamiku seperti seorang Kakak yang memahami adiknya, tapi maafkan aku, karena perasaanku tidak bisa hanya sebatas adik terhadap Kakaknya. Walaupun aku tahu, Kak Devian sudah memiliki cintanya, wanita itu sudah bersama Kak Devian sejak 2 tahun yang lalu. Aku tahu, meski begitu, aku tetap menyimpan perasaanku, untuk diriku sendiri, sampai aku benar-benar rela untuk melepasnya.
***