Pukul 05-30— masih terlalu dini untuk bangun, tapi ponsel Daisy sejak tadi tidak berhenti berdering. "Halo?"
"Halo sayang, maaf Mama membangunkanmu. Mama Cuma mau memberi kabar kalau Mama sudah sampai di bandara, siang ini Mama sampai di rumah."
"Ahh syukurlah, kupikir ada apa, Ma, aku ada di asrama, aku mungkin pulang sore karena project kelompokku."
"Ahh begitu ya, baiklah tidak papa, nanti malam Mama akan masak seafood kesukaanmu. Kau harus pulang ke rumah malam ini, oke?"
"Iya Ma, Mama istirahatlah dulu pasti Mama lelah membantu Papa di luar kota."
"Iya sayang, kau lanjutkan tidurmu. Mama akan memesan taksi."
"Dah Ma, hati-hati."
Daisy langsung mematikan ponselnya, dia kembali menyambung mimpinya yang sempat tertunda barusan, sampai mana tadi? Dia bahkan selalu memimpikan Devian, itu efek dari setiap mau tidur dia selalu memikirkan orang itu.
Daisy memang sudah biasa sendirian di rumahnya, tapi bukan berarti orang tuanya tidak peduli, Papa seorang pengusaha dibidang pembangunan itu sebabnya dia sering keluar kota, dan Mama, dia adalah desainer interior bangunan. Setiap Mama dan Papa pergi, Daisy akan dijaga oleh suster. Dia, sebenarnya bukanlah puteri tunggal, hanya saja, adiknya meninggal saat di dalam kandungan, itu sebabnya, kini Daisy menjadi puteri semata wayang.
Pukul 07.45—Daisy mengumpulkan sisa-sisa nyawanya sebelum melangkah ke kamar mandi. Dia merasa seperti melupakan sesuatu yang penting, sambal menyikat giginya dia mencoba mengingat-ingat, apa yang dia lupakan.
"Astaga! Hari ini ada seminar pagi!" Dia buru-buru membasuh wajahnya, mengganti piyama-nya dengan formal style, karena hari ini seminar resmi di auditorium kampus.
"Naomi!"
"Chika!"
"Uhhh?"
"Hmm?"
"Bangun! Kau lupa juga kalau hari ini ada seminar?!"
"Hah?"
"Astaga?!"
"Aku duluan ya! Kau siap-siap saja! Tidak usah mandi sepertiku!"
Usai membangunkan teman sekamarnya, Naomi dan Chika, Daisy langsung keluar menuju auditorium. Dia ingat kondisinya, itu sebabnya dia tidak berlari, hanya berjalan cepat saja.
"Astaga aku telat 15 menit."
Daisy menyiapkan mentalnya sebelum masuk ke auditorium. Dia yakin, saat dirinya membuka pintu, semua mata di dalam pasti akan menatapnya, hiksss, dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Tapi jika dia kembali, dia tidak akan mendapat sertifikat seminar, dan nilai mata kuliahnya akan C. Tidak mau.
Daisy akhirnya membuka pintu, dan benar, orang-orang di auditorium langsung menoleh kea rah pintu yang terbuka. "Astaga harusnya tadi kutunggu Naomi dan Chika, setidaknya kita akan malu bersama." Keluhnya dalam hati.
"Permisi, permisi," Dia mencoba mencari tempat duduk yang kosong.
Setelah di rasa nyaman, Daisy pun mengeluarkan notebooknya, dia melihat ke arah pembicara, karena suara itu, seperti tidak asing di telinganya.
"Kak Dev?!" Dia memekik perlahan,
"Permisi, kenapa pembicaranya pria itu, bukannya psikolog?" Dia bertanya pada orang di sebelahnya.
"Kau tidak lihat tema seminarnya?"
Daisy langsung mengambil ponselnya, dia membaca pemberitahuan seminar yang di share di grup kelasnya, "stress memicu serangan jantung."
"Astaga, jadi ini kolaborasi antara psikologi dengan kardiologi."
Daisy mendengar gadis di sebelahnya berbisik, " psst, aku baru tau ada dokter tampan dan muda seperti itu."
"Iya, kira-kira masih single tidak ya?"
"Ehemm." Tiba-tiba Daisy berdehem, sontak gadis di sebelahnya menoleh.
"Pssts, kalian berbisik terlalu keras, aku jadi tidak focus pada seminarnya." Ucap Daisy pada keduanya, sontak dua gadis asing itu menatap aneh pada Daisy.
Daisy tidak tau kalau Devian yang akan menjadi pembicara, pokoknya setelah ini selesai, dia akan menemui Devian. Ini kesempatan yang baik, karena jadwal chek up ke rumah sakitnya masih lusa, setidaknya dia bisa bertemu Devian hari ini. Itu anugerah tersendiri bagi Daisy.
25 menit berlalu, seminar telah selesai, dan auditorium hampir kosong, ini saatnya Daisy menghampiri Devian. Devian terlihat tengah mengobrol dengan professor senior di kampusnya, dia tidak peduli, pokoknya Daisy akan menyapa Devian.
"Kak Dev!" Panggil Daisy, pria itu langsung menoleh ke arah suara. Dia tersenyum melihat Daisy, dan dia memohon ijin pada professor itu, Devian langsung menghampiri Daisy.
"Kau hadir juga?" Tanyanya.
"Tentu saja. Kalau aku tidak datang, profesor itu akan memberiku nilai C."
"Hahahaha, kupikir kau masih belum bangun jam segini, kau tidur di asrama, benar bukan?"
"Uhmm, lagipula Mama baru saja kembali semalam."
"Baguslah, setidaknya di asrama kau punya teman. Eh, apa kau luang saat ini?" Tanya Devian
"Iya, kenapa?"
"Temani aku sarapan di café depan, kau mau? Pagi tadi aku belum makan apa pun."
"Baik bos!" jawab Daisy semangat. Tentu saja dia tidak akan menolak, kesempatan berduaan dengan Devian sangat langka. Dia harus pintar memanfaatkan situasi.
-Di Café-
"Uhhmm, sandwich di sini enak sekali, coba saja rumah sakit dekat dengan tempat ini, aku akan ke sini setiap pagi." Kak Devian terlihat senang menyantap sarapannya.
"Pelan-pelan saja Kak, aku tidak akan merebut makananmu." Goda Daisy.
Begitulah Devian, Daisy tahu betul, Devian sangat sederhana, bahkan dia akan tersenyum melihat sesuatu yang menurutnya menarik dan dia suka. Dapat dipastikan kalau Devian akan datang ke tempat ini, karena dia tipikal orang yang akan memakan sesuatu sampai dia bosan, termasuk menggunakan barang pun, Devian akan menggunakan barang itu setiap hari sampai dia benar-benar bosan menggunakannya, jika tidak bosan, maka barang itu akan rusak dengan sendirinya. Dan dia hanya akan menunjukkan kepribadiannya yang seperti ini hanya pada Daisy, dia selalu tampak cool di luar sana.
"Ah iya, minggu depan, hari ulang tahunmu. Kau sudah memikirkan mau hadiah apa dariku?"
"Eumm, kalau aku bilang hadiahnya, bukankah itu bukan suprise namanya?"
"Tapi kalau kau tidak bilang, bagaimana kalau kubelikan benda yang sama lagi seperti tahun lalu? Kau akan kesal lagi padaku."
"dih, lagian, kau kan tahu tahun lalu kau memberiku tab, lalu kau mau memberiku tab lagi? Memangnya aku toko elektronik?"
"Maka dari itu, katakan kalau kau menginginkan sesuatu." Ujar Devian, Daisy tampak berpikir, apa yang dia inginkan.
"Aku belum kepikiran, nanti kalau aku kepikiran aku akan memberitahukannya."
"Baiklah. Pikirkan baik-baik karena ini setahun sekali."
"Pastinya akan kupikirkan baik-baik."
Jika boleh meminta, yang Daisy inginkan hanyalah Devian, dia benar-benar bahagia hanya melihat Devian. Melihat senyum hangat pria itu. Apakah semua akan berakhir saat Devian menikah dengan kekasihnya? Dia, harus menjaga jarak dari Devian? Saat itu terjadi, Daisy benar-benar akan melupakan perasaannya.
"Aku sudah selesai, aku akan mengantarmu ke kampus lagi."
"Uhmm. Apa kau mau langsung ke rumah sakit?"
"Benar, masih ada beberapa pasien yang harus ku cek."
Jika waktu bisa diperlambat, dia tidak ingin beranjak, dia ingin tetap berada di bangku itu, melihat Devian menyantap makanannya dengan bahagia, berbincang dengannya dan menceritakan cerita konyol seperti yang sering Daisy lakukan jika dia bosan. Andai.
***