Lili menunduk lesu, tadi malam dia sudah menerima telepon dari tempat ia melamar kerja beberapa waktu lalu. Semuanya ditolak.
"Kenapa?" tanya Dela. mereka sedang duduk bersantai di kursi panjang pinggir lapangan sambil menikmati milshake masing-masing
"Lamaranku ditolak" jawabnya singkat.
"Lamaran kerjamu?" Dela melirik Lili sejenak dan kembali melihat permainan basket di depan sana. Lili mengangguk.
"Semuanya?" tanyanya lagi. Lili kembali mengangguk.
"Terus bagaimana?" Dela menyedot-nyedot bubblenya kasar, geram pada sahabatnya yang satu ini.
"Menurutmu aku harus bagaimana?" lirih Lili pelan. ia tidak begitu memperhatikan permainan basket disana.
"Terima tawaran kak Abi" jawab Dela enteng.
Lili termenung, mencoba memikirkan resiko dari langkah selanjutnya yang akan diambil.
Lili memandang ke arah langit. pikirannya melayang, melambung bersama angan-angannya yang mengambang, tidak tentu arah. ingin beriringan tetapi berbeda arah tujuan.
"Aneh ya.." Lili bergumam pelan, hampir tak terdengar.
"Apa yang aneh?" Dela menaikkan alisnya sebelah. terdengar helaan napas Lili di sampingnya.
"Ternyata aku masih merindukan-nya, aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan. Apa luka ini belum cukup membuatku membencinya?" Lili bertanya-tanya.
"Aku tidak tahu, aku tidak bisa menyalahkanmu, aku tidak begitu mengerti tentang cinta, yang aku tahu, Cinta bisa menguatkan seseorang, tetapi disaat yang sama bisa membuat seseorang tampak sangat bodoh" sambung Dela sarkastik. Lili tersenyum kecut.
"Aku akan menghubungi kak Abi, Aku ikut lombanya" tuturnya mengeluarkan ponsel.
gerakan tangan Lili menarik perhatian Dela.
Dela manautkan dahinya "Ada apa dengan tanganmu?" Dela memperhatikan lengan Lili.
"Oh ini" Sahutnya masih dengan jemarinya yang sibuk mengetik pesan.
"Luka di angkot, entah bagaimana aku juga tidak tahu" jawabnya asal. pikirannya masih fokus terhadap pesan-pesannya pada kak Abi.
Dela kembali menautkan dahinya heran. "Kenapa kau sering sekali seperti ini? kau selalu terlibat hal-hal yang buruk, ini bukan pertama kalinya kan? sebelumnya kau juga pernah hampir tenggelam terdorong ke kolam renang. aku ingat ada seseorang yang sengaja mendorongmu waktu studi tour semester lalu"
Lili terdiam, mencoba mengingat-ngingat. Sepertinya sesuatu seperti itu memang pernah terjadi. ia terhenti sejenak dari aktivitasnya.
"Kau benar.." lirihnya seraya menyimpan kembali ponselnya.
"Kalau kuingat-ingat, aku juga beberapa kali mendapat luka seperti ini" Lili sangat tertarik dengan pembahasan yang satu ini. Sebelumnya ia hanya menganggap itu semua hanya nasib sialnya saja, namun kejadian-kejadian seperti itu semakin sering terjadi, apalagi sejak Lili meninggalkan rumah Alan. Apakah dugaannya benar? Alan yang melakukan ini semua untuk balas dendam karena Lili bertindak seenaknya?
"Kau tidak tahu siapa yang mendorongku waktu itu?"
"Aku tidak sempat memperhatikannya, aku langsung lompat menolongmu yang hampir mati tenggelam!" tutur Dela galak. lebih dari sahabat, Dela sudah seperti malaikat penolong bagi Lili. Ia selalu membantu Lili keluar dari masa-masa sulitnya.
"Entah lahh.. aku tidak ingin memikirkan itu dulu. aku harus fokus membantu Bi Iyam dan melindungi keluarga Bi Iyam dari amukan kak Alan"
"Dia pasti sudah tahu kau disana."
Lili terdiam. ia membenarkan kata-kata Dela barusan.
"Dia bahkan tidak menjemputmu, apa dia benar-benar tidak peduli lagi padamu? ada atau tidak adanya dirimu sama saja baginya? aku benar-benar tidak habis pikir!"
Dela mencebik, ia marah dan kesal terhadap suami dari sahabatnya ini. Lili hanya tersenyum getir mananggapi perkataan Dela.
"Mungkin dia akan lebih bebas menikmati wanitanya jika aku jauh dari hidupnya" Dadanya nyeri, hatinya sakit ketika melontarkan kalimat itu. Membayangkan Alan mencumbu wanita lain. Ia terluka, terluka dan sangat tidak rela.
***
"Aku senang kau berubah pikiran." Abi menyodorkan formulir ke hadapan Lili.
Lili mengulas senyum di wajah ayunya. Abi terpana dengan senyum itu. sangat menawan dan menggetarkan hatinya.
"Apa yang membuatmu berubah pikiran?"
Lili menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin menguji kemampuanku" ungkapnya. Lili mengampil pulpen dan mulai mengisi formulir itu dengan teliti.
Abi terus memperhatikannya, memperhatikan sosok Lili yang berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali.
"Kenapa?" tanya Lili heran, tatapan Abi membuatnya canggung.
"Apa ada sesuatu di wajahku?"
Abi menggeleng. "Tidak.." jawabnya masih menatap Lili, ia tersenyum dan menampakkan lesung pipinya.
"Kau cantik" ungkapnya tanpa malu-malu.
Lili tertegun, bingung harus bereaksi seperti apa.
"Te-terima kasih" gagapnya. ia tidak terbiasa dengan sebuah pujian, apalagi datangnya dari seorang lelaki, ia tidak pernah dekat dengan lelaki manapun kecuali Alan, dan Alan bukanlah pria yang suka memuji apalagi berkata-kata manis.
***
"Kau sudah mabuk" Chris menatap Alan yang terduduk di ruangan pribadinya. sebuah ruangan yang tidak begitu besar terletak di Club malam miliknya. penampilan Alan terlihat kacau, Chris mengerti, Alan sedang membutuhkan pelampiasan hasratnya yang tinggi. Alan akan sangat temperamen ketika gairahnya tidak terpenuhi.
"Mau kupilihkan seorang wanita untuk menenangkanmu?" tawarnya.
Bukannya menjawab, Alan malah bergumam tidak jelas. "Dia tidak kembali.." tuturnya halus, dia tidak sepenuhnya mabuk namun tampak jelas alkohol telah mempengaruhi pikirannya.
"Dia? Dia siapa?" tanya Chris heran, ia melirik ke arah Genta sejenak. Genta mengangkat bahu mencoba tidak peduli dan memilih menyibukkan diri dengan ponselnya.
"Istriku.." jawabnya lagi.
"Aku bisa membawakanmu banyak tipe wanita, tetapi tidak dengan istrimu. mintalah yang lain"
"Aku mau istriku!" Alan menaikkan nada suaranya. jelas pria ini sedang tidak baik-baik saja. tubuhnya menuntut. menuntut ingin segera dipuaskan dan mencapai pelepasan.
"Bukankah kau sendiri yang bilang tidak ingin menjemput istrimu?" kali ini Genta yang angkat bicara. Ia lelah selalu menjadi sasaran amarah Alan.
"Dan kau sekarang menginginkannya, kalau tidak tahan, biar aku bawa dia kemari, jangan menyiksa dirimu sendiri" pungkasnya. Genta tidak mengerti dengan jalan pikiran Alan. apa yang membuat bosnya ini begitu angkuh, menolak kenyataan bahkan kebenaran hatinya sendiri.
"Berisik! aku mau pulang" Alan mencoba berdiri dan dibantu oleh Genta. Tubuhnya sempoyongan dan terlihat lemah. tidak ada yang diperbolehkan melihat Alan seperti ini, oleh karena itu Chris menyiapkan tempat sendiri untuk Alan. Pria berkebutuhan tinggi itu akan sangat mudah dijebak oleh wanita yang menginginkannya dalam keadaan mabuk tanpa pertahanan.
Jangan lupa, Alan juga memiliki banyak musuh bisnis sehingga sangat beresiko membiarkan bosnya ini dibawah pengaruh alkohol. Akan banyak sekali pihak yang memanfaatkan kesempatan itu.
***
Alan sampai di rumah dengan wajah kusut. ia benar-benar sedang diliputi gairah yang tinggi.
"Sial..!" umpatnya, sumpah serapah keluar dari bibir seksinya.
Tubuhnya sangat membutuhkan Lili, ia menginginkan gadis itu. ia ingin mengurung tubuh bungil itu di bawahnya, menyesap kelembutan yang melingkupinya rapat. Begitu panas dan liar, hanya wanita itu, hanya wanita itu saja yang bisa membuatnya melambung mencapai kepuasan yang menakjubkan.
Alan tidak bisa mengontrol dirinya. Ia sadar betul dirinya adalah pria berkebutuhan tinggi yang sangat membutuhkan pelepasan. ia belum pernah merasakan ini pada wanita manapun sebelumnya. Lili mampu menjadi candu baginya.
"Argghhh" teriaknya frustasi. ia menyerah, Alan ingin melihat Lili bagaimanapun caranya. Wanita itu harus kembali padanya.
***