Lili POV
Aku melirik jam tangan di lengan kiriku. aku sampai di depan kantor kak Alan tepat pukul 21.30
Aku lekas membayar uang taksi dan berjalan cepat menemui kak Alan, aku yakin dia masih ada di kantor ruang kerjanya.
aku berjalan tanpa mempedulikan beberapa karyawan yang melihatku bingung, beberapa menunduk hormat padaku, dan sebagian tidak mengenaliku. Keadaan kantor tampak sepi karena hari sudah malam.
Aku sampai di depan ruang kerjanya dan mendapati kak Genta yang tertidur kelelahan di kursi. Aku hanya meliriknya sekilas dari ujung mataku dan melanjutkan langkahku memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. aku tidak butuh bersikap sopan pada lelaki brengsek seperti kak Alan.
***
Aku terkesiap, mataku terbelalak sempurna, tanganku mencengkeram tasku erat. Apa yang kulihat disana membuat jantungku serasa ingin meledak begitu saja.
Cassie sedang berada di atas tubuh kak Alan dengan keadaan setengah telanjang. Kak Alan hanya menatap wanita itu dengan sorot mata yang sangat kukenali, sorot mata itu menyala berkilat gairah yang sudah di ubun-ubun.
Spontan pintu yang kubuka secara tiba-tiba membuat mereka berdua menoleh, aku tidak tahu wajah seperti apa yang ku tampilkan saat ini. Aku marah, hatiku sakit.
Aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri, merekam tiap detiknya dalam ingatanku, aku sangat mengingat bagaimana hatiku hancur hingga tak bersisa dibuatnya. Aku memergoki suamiku tengah berselingkuh dengan kekasih gelapnya. Aku merasa terjatuh dalam lingkaran de ja vu, kejadian yang sama terulang kembali bagai film hitam putih yang memuakkan di kepalaku. aku sangat jijik melihat mereka berdua. Pikiranku semakin kalut.
Dengan kuat aku melempar tasku yang lumayan berat itu ke arah Cassie yang masih berada di atas tubuh kak Alan. Aku mendengar dia memekik dan mengaduh kesakitan, aku tidak peduli, aku segera berbalik badan meninggalkan ruangan hina itu.
Aku ingin menghilang dari sini sekarang juga. Kak Genta terbangun mendengar suara Cassie yang melengking, dia masih mengerjabkan matanya ketika aku melewatinya dengan perasaan yang terluka.
Sesekali aku dapat mendengar teriakan kak Genta memanggilku. Aku tidak peduli dengan apapun lagi meski kak Genta berusaha menghentikan langkahku. Aku terus berlari dan berlari tanpa peduli arah. Aku meremas dadaku. dadaku terasa menyesakkan dan sakit sekali.
Kupikir rasa cintaku sudah hilang tak berbekas, nyatanya aku masih mencintainya meski hatiku tergilas.
Aku berlari kecil sembari memukul-mukul dadaku, berharap rasa sesak didadaku berkurang.
Aku tidak memperhatikan kondisi jalan ketika aku menyeberang, yang kulihat hanya cahaya yang begitu terang dan bunyi klakson nyaring yang memekakkan telinga. Untuk sesaat aku merasa tubuhku melayang membentur sesuatu hingga akhirnya membentur aspal keras. Sepertinya tubuhku terpelanting tertabrak sesuatu.
Ah, ini aneh. Kenapa rasanya justru enak? Kenapa melihat darahku di aspal malah membuatku merasa enak dan melupakan sesak di dadaku?
Sayub-sayub aku mendengar jeritan seorang wanita. Selanjutnya aku tidak melihat apa-apa lagi selain kegelapan. Ya, disinilah seharusnya aku berada. Tenggelam dalam kegelapan dan tidak merasakan apapun lagi. Lebih baik begini, lebih baik menemui kedua orang tuaku.
***
"Dasar bodoh! apa yang kau lakukan dengan ular itu saat aku tertidur??!" Genta berteriak dari telepon sambil mengemudikan mobilnya dengan panik.
"A-Aku" Alan tergagap, sesuatu yang bahkan hampir tidak pernah terjadi. Ia bahkan mengabaikan umpatan Genta.
Ia baru saja menyelesaikan urusannya dengan Cassie ketika Lili memergoki mereka.
"Kau dimana sekarang? Apa kau bersama dengan 'nya'?" Alih-Alih menjawab, Alan mengalihkan pembicaraan seraya berjalan ke arah parkiran mobilnya. Ada nada panik di dalam kalimat yang terlontar dari mulutnya.
"Ya, aku sudah menemukannya, Tapi-" Genta belum menyelesaikan kalimatnya. Ia bingung mencari kata yang tepat.
"Tapi apa? Cepatlah!" Perasaan Alan makin kacau. Ia semakin tidak sabar menunggu jawaban.
"Aku sedang di rumah sakit. Lili tertabrak mobil Al. Maafkan aku" suara Genta terdengar sangat menyesal.
JEDEEEERR.
Seketika wajah Alan pias. Ia terkesiap dengan kenyataan barusan.
"Rumah sakit mana?" Tanyanya dengan suara yang bergetar
***
Sudah dua hari Lili masih belum juga siuman. Ia terpaksa dirawat dirumah sakit setelah mengalami kecelakaan pada malam itu. Gentalah yang menolongnya setelah melihat keramaian di pinggir jalan dan mendengar teriakan seseorang meminta tolong. Alangkah terkejutnya Genta melihat Lili terkapar di jalan dengan bersimbah darah. Tanpa berpikir panjang ia langsung memacu mobilnya membawa Lili ke rumah sakit terdekat.
Alan duduk di sofa pojok ruang rawat Lili. Tangannya bersedekap. Matanya masih saja tajam menatap ke arah Lili. Namun lama-kelamaan Alan sesekali tampak memejamkan matanya. Ia terlihat mengantuk. Sepertinya ia tidak tidur semalaman suntuk.
"tidur yang nyenyak"
Genta timbul dari balik pintu sambil menyodorkan air mineral pada Alan. Genta ikut duduk disampingnya mengikuti arah pandang Alan.
"Aku tidak tidur" jawab Alan cepat dan menerima botol air mineral itu.
"Aku tidak membicarakanmu, aku membicarakan Lili. Dia tampak tidur dengan nyenyak" Genta terkekeh. Dia tidak tega melihat Lili yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri tampak pucat dan tidak berdaya. Alan hanya diam.
"Aku pasti juga akan tidur lebih lama jika aku berada di posisinya. Untuk apa dia mempertahankan suaminya yang sudah berselingkuh tepat di hadapannya, lagipula mimpi buruknya akan dimulai hanya ketika ia membuka mata. Ia pasti sedang bermimpi indah sekarang" Genta berucap panjang lebar. Ia sudah mencari tahu kenapa Lili bisa berada disana pada malam itu.
"Kau tahu, Lili adalah gadis yang kuat" tambahnya.
Lagi-lagi Alan hanya terdiam. Yang Alan lakukan hanyalah mendengarkan tiap kata yang terlontar dari mulut Genta. Bahkan ketika Genta memakinyapun ia hanya diam. Diam seribu bahasa dan sama sekali tidak berkomentar.
Tak lama kemudian Alan melihat pergerakan di atas ranjang Lili. Dengan cepat Alan berdiri dan mendekat ke arah Lili. Lili tampak mengerjabkan matanya. Genta dan Alan memperhatikan dengan seksama.
"Dimana..." lirihnya pelan dengan suara serak setelah berhasil membuka mata dan meraba perban di kepalanya. Semoga gegar otak yang dialaminya tidak telalu parah.
"Di rumah sakit" jawab Genta lembut. Ia membantu Lili yang berusaha bangun dari tidurnya.
"Pusing..." Lili memejamkan matanya sejenak. Alan berinisiatif menyodorkan segelas air pada Lili.
"Jangan terlalu banyak bergerak dulu" tutur Alan lembut.
"Minumlah" pintanya. Lili hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Ah, Alan kenal sorot mata itu. sorot mata yang memancarkan kebencian.
"Kak Genta..." Lili mengalihkan pandangannya pada Genta. Ia tidak mengacuhkan tangan Alan yang menggantung memegang segelas air.
"Ya, aku disini" jawab Genta mengelus puncak kepala Lili.
"Suruh pria itu keluar, aku tidak ingin melihatnya"
DEG! Alan tersentak mendengar perkataan Lili. Ia tak bergeming ketika Genta menatapnya tidak percaya.
"T-Tapi dia suamimu Li.." Genta kembali berusaha membujuk Lili.
"Please...." Lili menggenggam tangan Genta. Ia memohon agar Genta mengabulkannya. Ia bahkan lupa Genta adalah anak buah Alan. Yang ia tahu, hanya Gentalah yang sekarang bisa dimintai pertolongan.
"Aku akan keluar memanggil dokter" sambung Alan setelahnya. Ia kembali menaruh segelas air minum itu kembali ke meja. Ia mentap Lili dan Genta bergantian. Setelah itu berjalan keluar dengan debuban keras pintu.
***