Ara mematikan showernya lalu berjalan dengan perlahan kearah lain yang menampakkan sebuah cermin. Rambutnya dia keringkan dengan handuk kecil dan matanya menatap kearah depan. Pantulan dirinya yang lelah masih terlukis di wajah Ara tapi tak mungkin juga jika seharian ini dia tidur, dia butuh makan. Kini gerakan itu terhenti saat Ara menyadari sesuatu. Sesuatu yang terus mengganggunya. Sebenarnya sejak pernikahan Ara terus memikirkan ini. Raut wajah Ara berubah menjadi sedih, dia tak tahu kenapa hanya dengan memikirkan itu dia begitu bersedih. Ini tentang Wira. Ya...mantan pacarnya. Entah dia tahu darimana yang jelas Ara mendapatkan sebuah pesan ucapan selamat dari Wira bahkan pria yang tak diundang itu mengirimkan bingkisan dan Bunga dengan tanda WR di kartu ucapannya. Kedua tangan Ara kini menopang pada westafel terdekat. Dia menunduk, merasa malu karena perbuatannya dulu. Wira ternyata salah satu pria yang baik hati. Dia tak pernah menginginkan apapun dari Ara bahkan setelah dia memutuskannya lewat telepon kala itu, Wira tak menaruh dendam sedikitpun. Dia masih tersenyum saat bertemu meskipun Ara enggan menyapanya. Apa Ara harus cerita soal ini pada Dariel? atau...ini hanya pemikiran sepintas saja karena Wira muncul kembali disaat Ara telah menikah?. Ara segera mengambil handuknya dan keluar kamar.
"Udah mandinya?."
"Ini baru selesai.."
"Ya udah aku siapin makanannya, aku tunggu dibawah ya sayang." Dariel mengecup kepala Ara dan keluar dari kamarnya sementara Ara bukannya segera berpakaian malah meraih Handphonenya. Dilihatnya lagi pesan dari Wira yang sudah lama itu. Jarinya mengusap-usap sendiri layar handphonenya. Dia bingung dengan tindakan yang akan dia lakukan dan tanpa berpikir lagi Ara menelpon Wira. Nada sambung terdengar dan Ara semakin dibuah gelisah.
- Halo
Suara Pria terdengar dari balik telepon.
- Ha..hai..
Ara canggung.
- Ara?.
- Iya Wir, ini aku, kamu apa kabar?.
- Baik, aku baik. Kamu gimana?.
Wira terdengar antusias.
- Aku juga baik.
- Oh...syukur deh. Ada apa?.
- Hm...aku..aku mau bilang makasih buat hadiahnya, buat bunganya, maaf..aku..aku ga undang kamu.
- Eh...kirain ga sampe, habis aku ngirimnya kerumah kamu.
- Sampe kok, Kay yang kasih tahu aku.
- Suka ga?.
- Bagus, aku suka gelasnya.
- Selamat ya, semoga bahagia. Aku ga tahu nama suami kamu tapi semoga hubungan kalian berjalan lancar dan bisa cepet dikarunia momongan.
- Makasih.
Ara singkat membuat keheningan dalam percakapan mereka. Sejujurnya bukan malas dia masih bingung saja memulai percakapannya.
- Wira..
- Iya.
- Aku minta maaf ya, aku bener-bener ga maksud lewatin kamu kemarin. Aku emang ga undang temen deket aku dulu.
- Iya ga papa, aku juga malah lancang ngasih hadiah.
- Ga papa, aku ga keberatan.
- Nella update foto pernikahan kamu waktu itu, kamu keliatan cantik.
- Makasih. Aku telepon kamu karena kepikiran terus, aku ngerasa dosa aja dulu pernah tiba-tiba ninggalin kamu gitu aja eh kamu malah baik sama aku.
- Oh...kirain kepikiran apa. Udah ga usah diambil hati. Aku ga papa. Anggap aja belum jodoh.
- Ya..tapi...
- Ra...udah ga papa, ga usah dipikirin, beneran deh lagian aku ga dendam.
- Karena kamu ga dendam makannya aku ga enak.
- Seneng banget ada orang dendam.
- Marah kek Wir..
- Apaan sih, mana bisa aku marah sama kamu.
- Kapan-kapan aku traktir makan deh.
- Iya ya beneran?.
- Iya, beneran.
- Ya udah nanti suami kamu datang lagi.
- Sekalian aku kenalin sama suami aku nanti.
- Jangan dong aku masih jomblo nih.
- Kali aja ada temen suami yang jomblo.
- Jangan deh, aku lagi belum mau pacaran, pingin usaha dulu supaya nanti cewek-cewek yang ngejar.
- Ya udah gimana kamu aja , makasih ya Wir hadiahnya, bye..
Ara mengakhiri panggilannya. Kalau kelamaan bisa-bisa dia terlena dengan percakapan Wira.
"Duh...dingin juga." Ara segera meletakkan Handphonenya dan mencari baju.
****
"Ini minumannya sayangku..." Dariel memberikan sebuah gelas panjang berisikan air putih. Setelah pertempuran mereka diatas ranjang Ara kelelahan dan butuh asupan makanan untuk mengisi tenaganya yang terkuras. Berhubung Ara sendiri mengeluh lemas jadi Dariel yang menyiapkan semua makanan mereka.
"Makasih suami..." Goda Ara memanggil sebutan yang membuat Dariel tersenyum.
"Besok aku anter ke Bandara.."
"Kamu jadi dinas juga dong? kan Jay udah dirumah."
"Iya, aku paling cuman dua hari.."
"Tiga hari juga ga papa, seminggu pun ga papa aku ijinin.."
"Jangan dong, kalo sekarangkan ada istri dirumah jadi...dinasnya jangan lama-lama.." Ucapan Dariel membuat Ara tersenyum-senyum.
"Duh pegel..." Ara merentangkan kedua kakinya dengan badan bersandar di dada bidang suaminya.
"Mau aku pijitin?."
"Ga usah ga papa.."
"Maklum...namanya juga baru pertama jadi pakenya masih satu gaya.." Dariel dengan wajah sedikit memerah.
"Hish...." Ara mencubit lengan Dariel.
"Mau lagi ga?."
"Ga kasian nih sama aku?."
"Iya-iya bercanda sayang..."
"Mana rusuh lagi kamu...".
"Rusuh darimana? orang aku pelan."
"Pelan? kamu pinginnya cepet.."
"Iya-iya maaf, aku ga bisa nahan lagi. Udah dari kemarin nih ada di ubun-ubun.." Ucapan Dariel disambut tawa kecil oleh Ara. Suara tawa Ara hilang saat Handphone Dariel berbunyi. Dilihatnya nama Astrid disana.
- Halo.
- Riel selamat ya, maaf ga bisa datang kemarin, aku di luar kota.
- Makasih strid, ga papa kok.
- Kemarin aku sempet kerumah tapi katanya kamu ga ada..
- Loh kok tahu?.
- Nanya-nanya aja sama yang lain, aku mau kasih hadiah pernikahan.
- Ga usah repot-repot strid.
- Ga repot kok, kapan bisa ketemu?.
- Waduh...aku ada dinas strid..
- Sibuk bener sih pengantin baru.
- Biasa.. baru masuk lagi.
- Ya udah aku kirim aja ya kerumah.
- Iya makasih loh..
- Kapan-kapan ikut kumpul dong.
- Iya lain kali ya.
- Ga ada Jian kok..
- Ini bukan karena Jian, emang harus cari waktu yang pas aja.
- Kenapa? istri ngelarang.
- Oh..engga. Dia sih tipe yang bebas.
- Ya udah, aku cuman mau ngasih tahu itu. Kemarin-kemarin susah banget ngehubungin, WA aku ga pernah di bales nih.
- Eh iya maaf, kayanya ketimpa deh sama yang lain.
- Beneran nih jadi orang sibuk.
- Engga juga, ntar deh aku liat lagi.
- Ya udah nanti kalo paketnya udah sampe kasih tahu ya Riel.
- Iya strid, makasih ya..
Dariel mengakhiri percakapannya.
"Astrid?."
"Iya.."
"Ngapain?."
"Ngasih selamat aja sama mau ngirim hadiah.."
"Hadiah? ngapain sih kirim segala?."
"Dia ga sempet datang kemarin makannya ngasih hadiah."
"Ga.. usahlah..." Ara sedikit ragu karena bagaimanapun dia menerima hadiah juga dari Wira yang sama sekali tak Dariel permasalahkan.
"Eh ga boleh gitu dong, ada yang ngasih itu disyukuri.."
"Apalagi kalo yang ngasihnya cewek cantik ya?."
"Loh kok mikir gitu?. Aku sama Astrid ga ada apa-apa."
"Aku percaya kamu ga ada apa-apa tapi Astridnya pingin ada apa-apa."
"Kamunya aja mikirnya kemana. Udah ah...seharian dirumah tuh jangan dipake ribut." Dariel mendekap badan Ara.
"Orang aku ga ngajak ribut.."
"Ih..gemes bibirnya aku cium ya kalo ngomel lagi.."
"Maunya..." Ara mulai senyum-senyum dengan godaan Dariel. .
"Iya dong mau, sini-sini..."
"iih..." Ara mendorong pelan Dariel yang ingin menciumnya sementara Dariel terus mencoba mendekatinya. Sesekali Ara tertawa kecil dan mendorong wajah Dariel. Suaminya itu terus menunduk atau lebih tepatnya menyeruduk agar mendapatkan apa yang dia inginkan. Dariel mengecup-ngecup semua bagian wajah istrinya.
****To be continue