Sore itu entah kenapa di Gedung SC masih sangat ramai. Bel kantor yang menandakan jam pulang seolah tak didengar oleh beberapa karyawan. Ada yang benar-benar kerja karena lembur bekerja, ada juga yang sibuk memainkan ponselnya. Dariel yang sedari tadi siang sibuk mengecek tim kerjanya pun belum beranjak menuju ruangannya untuk bersiap pulang. Dia masih berdiskusi dengan karyawannya.
"Pak ini dokumennya.." Citra memberikan beberapa kertas pada Dariel.
"Simpen aja dimeja saya.."
"Baik pak." Citra beranjak pergi sementara mata Dariel nasih menatap tajam ke arah kertas yang lain.
"Kemarin saya udah beli pak bahannya tapi dari supplier pemenuhannya memang ga 100%.." Seseorang memberikan penjelasan pada Dariel.
"Kenapa?."
"Katanya, barangnya emang lagi susah dari dianya, itu juga saya udah nego pak buat kita diduluin."
"Kenapa kamu ga cari supplier lain?."
"Warnanya pasti bakalan beda pak.."
"Dari 1000 supplier yang ada di Indonesia, apa bener semua warna ga ada yang cocok sama punya kita?, satu pun ga ada?."
"I..iya pak nanti saya cari."
"Saya ga mau ada proses produksi yang kehambat gara-gara bahan bakunya, kalaupun ada kendala tolong dikoordinasikan Win. Ini produk lagi bagus penjualannya..."
"Iya pak.."
"Beli tuh ga sekedar beli Win tapi liat juga bahan baku ini mutasinya gimana."
"Bagian gudangnya suka telat kasih infonya pak."
"Kalo gitu jangan jadi penunggu, jemput bolanya, kamu tagih. Kemarin saya udah tegur kepala gudang bahan bakunya."
"Iya pak Maaf.."
"Estimasi juga untuk pembelian bulan depan, ada libur Panjang jangan sampai bahan baku kurang atau sampe kosong lagi kaya gini."
"Iya pak.." Lagi-Lagi pria itu hanya bisa menjawab denga kata yang sama.
"Ya Udah makasih." Dariel beranjak pergi dari tempat itu dan menuju ke bagian yang lain. Belakangan ini Dariel memang sedikit banyak mengomel. Bukan karena sedang kesal tapi dia mendapatkan laporan dari Dikta jika barang-barang Fast moving tidak ready stok. Dia sudah menelusuri hal ini seminggu yang lalu, mulai dari kebenaran penjualannya bagaimana, stok di cabang dan pusat, proses produksi dan sampai semua gudang bahan pembantunya dia telusuri.
"Pak Dariel sejak tunangan sama bu Ara jadi keliatan so banget." Orang yang sempat berbicara dengan Dariel tadi langsung membuka mulutnya lagi. Dia sepertinya tak terima ditegur Dariel.
"Iya ya udah berasa owner kali dia.." Temannya ikut memanasi.
"Dulu padahal biasa aja, sekarang mentang-mentang udah naik jabatan semuanya dia omelin."
"Eh jangan-jangan naik jabatan juga gara-gara bu Ara, secara gw denger-denger mereka pacarannya udah lama."
"Bisa jadi tuh, lagian kaya selebriti aja pacaran diem-diem.." Orang itu sambil tertawa kecil seakan meledek Dariel. Siapa sangka pembicaraan itu di dengar oleh Dariel yang masih berdiri tak jauh darisana bahkan obrolan itu bisa didengar jelas pula oleh karyawan lain yang sedang mengobrol dengan Dariel. Rupanya tadi dia tak langsung pergi. Dia masih ada perlu dengan tim yang lain.
"Kita lanjutin lagi nanti." Dariel meletakkan sebuah bindex yang dipegangnya dan pergi begitu saja sementara dua orang tadi yang menyangka Dariel sudah pergi terdiam saling menatap. Mereka jelas sadar jika Dariel mungkin saja mendengar percakapan itu. Dariel pergi ke toilet dilantainyang sama. Dia terdiam sambil berkaca sejenak. Pembicaraan tadi memang tak terlalu dia dengarkan toh dia sudah memprediksi jika ada beberapa orang yang akan beranggapan seperti itu. Dariel mencoba melupakannya. Kini dia berdiri dan membuka resleting celananya, disaat yang bersamaan 3 orang masuk dan berdiri di belakang Dariel. Mereka juga sama-sama ingin membuang urine.
"Bu Ara kemana?." Tanya seorang pria.
"Katanya lagi liburan ke korea.."
"Dasar owner, bebas mau pergi kapan aja.."
"Sama anak SC juga kok.."
"Siapa?."
"Mia, Sonya, bu Farah sama 2 lagi gw ga tahu, cowok pokoknya."
"Gio sama Sandi, anak marketing."
"Kirain sama Pak Dariel.."
"Lu ga liat dia mundar mandir mulu?."
"Gw fokus kerja tadi, tumben dia keliling?."
"Mau pamer jati diri kali.." Seseorang sambil tertawa dan menutup celananya.
"Maksud lu?."
"Kan punya hubungan special sama bu Ara.."
"Oh…itu, kirain apa."
"kok oh..?."
"Ya kirain dia udah mau nikah gitu." Seseorang bergegas membenarkan celananya juga dan mencuci tangan, diikuti rekannya yang lain.
"Aneh..kok bu Ara mau sama Pak Dariel.."
"Palingan modal tampang, masa Bu Ara mau sama bawahannya sendiri sih?."
"Pinter juga dia narik ngedeketinnya."
"Dia? Pak Dariel atasan lu loh.."
"Dia atasan gw dari jam 7 sampe jam 5."
"Main santet kali pak Dariel." Seseorang dengan santai mengatakannya. Ucapannya itu disambut tawa kecil orang kedua temannya yang lain.
"Jangan-jangan dia cuman seneng sama hartanya doang, bu Aranya masa bodoh sih?."
"Pastilah, apalagi yang diincer?."
"Adalah, bu Arakan cantik.."
"Bukannya pak Dariel katanya dulu Gay?."
"Hus…Lu kata siapa sih?."
"Gosip yang beredar aja, soalnya dia ga pernah punya pacar dan sekalinya ada yang ngedeketin malah ditolak, Taulah cewek-cewek disini duka gosip."
"Kayanya iya, tim kerjanya banyakan cowok, itu aja si Citra, baru-barukan ada.."
"Bu Ara tahu ga ya?, kasian kalo sampe ga tahu.." Pria yang lain ikut berkomentar. Kini Dariel yang sudah rapi sejak tadi langsung mencuci tangannya juga. Matanya diarahkan pada tangannya sementara ketiga pria tadi terkejut. Mereka sampai tak sadar ada orang lain disana.
"Ma..af pak.." Seseorang sadar diri dan langsung berucap. Dariel hanya diam tak menjawab, dia memilih mengeringkan tangannya.
"Besok kalian bertiga saya tunggu di ruangan saya jam 10." Ucap Dariel dan berlalu begitu saja. Dia tak mau terlalu jauh menanggapi perkataan mereka. Dia masih sibuk dengan urusan yang lain.
"Belum pulang lu?." Chandra menepuk bahunya saat berpapasan dengan Dariel.
"Ini mau ke ruangan.."
"Gw tadi udah ketuk-ketuk ruangan lu ga ada, ya udah gw tanyain citra."
"Alah alesan aja lu, mana orangnya? ga bareng?."
"Udah nunggu dibawah."
"Ya udah sana nanti disamber orang."
"Ya udah gw duluan ya.."
"Iya hati-hati." Dariel tersenyum dan melanjutkan lagi perjalanannya menuju ruang kerja. Dia menghela nafas begitu sampai didalam. Badannya dia sandarkan seakan berat. Dia tak habis pikir dengan ucapan karyawannya. Inilah yang selalu Dariel takutkan dulu. Dia tak suka jika nanti orang-orang lebib membicarakan hubungannya dengan Ara ketimbang kerjaannya. Jika dikritik soal kerjaan mungkin Dariel bisa terima tapi...kalo sudah menyangkut hubungan pribadi rasanya itu hal yang tak perlu di bahas dikantor. Ah...mendadak Dariel jadi kesal sendiri. Dariel melihat Handphonenya dan belum ada tanda-tanda kabar dari Ara. Mungkin...dia masih berjalan-jalan. Apa jadinya ya jika Ara tahu tentang obrolan tadi?. Apa yang akan dia lakukan?, menegurnya?memarahi mereka langsung di depan umum?, atau..memecatnya?. Hentahlah, Ara bisa melakukan apapun.
***To be continue