WARNING!!Dalam cerita ini mengandung muatan dewasa. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
"Cepet duduk yang bener, aku kasih jawabannya." Ara menepuk-nepuk lengan Dariel dan akhirnya Dariel duduk seperti posisi semula.
"Aku tuh bukan playgirl tapi aku tuh lagi nyari yang paling baik. Aku nyari yang bisa tahan sama aku. Aku tuh dibilang pacaran sama mereka juga engga. Aku...lebih kedeket aja. Aku tuh udah pernah ketemu sama cowok yang cuman pingin harta aku aja, yang liat fisik bahkan yang 'pingin' fisik aku doang pun aku udah pernah ketemu. Orang-orang liatnya aku ga bener karena pacarin terus putusin gitu aja padahal ga gitu dan lebih sebelnya lagi cowok-cowok itu malah ngomong yang engga-engga jadi aja gosipnya aneh-aneh." Ara mengingat-ingat lagi masa lalunya.
"Waktu aku deket sama aku, aku juga sempet mikir hal yang sama. Jangan-jangan kamu cuman ngincer harta aku aja karena kamukan sekantor sama aku, kamu pingin cari posisi.."
"Oh..ternyata....gitu..." Dariel mengangguk-ngangguk seolah tak terima dengan penilaian Ara terhadapnya.
"Tapi...ada tapinya nih. Kamu...malah ngejauhin aku. Itu yang bikin mindset tadi hilang. Aku bener-bener ga bisa lupain moment dimana kamu tiba-tiba berubah 360 derajat. Gitu aja lagi."
"Maaf dong..."
"Kalo kamu cuman ngincer harta aku mungkin kamu bakalan susah payah ngejar aku tapi kan ini engga jadi aja makin jatuh cinta.." Ara senyum-senyum.
"Terus tentang keluarga aku?."
"Seperti yang pernah aku bilang. Aku diajarin sama Daddy bukan buat nilai orang dari hartanya, kehormatannya, atau pendidikannya tapi dari agamanya dan perilakunya. Kamu tuh ngegemesin.."
"Ngaku sama aku, waktu kamu deket sama aku ada cowok lain ya?."
"Tapi jangan marah."
"Engga, aku ga marah."
"Aku masih pacaran sama Wira."
"Wira?."
"Iya, dia pacar aku dulu. Orangnya baik...banget, sopan lagi, udah sempet ketemu Daddy sama mommy tapi...aku putusin supaya aku bisa seurius sama kamu."
"Kok gitu?."
"Dia itu...saking baiknya, apa-apa juga ngalah, nurut sama aku. Ya...aku ngerasa hubungannya jadi ga seru. Aku ga suka cowok yang manggut-manggut aja. Dia kan bukan pesuruh aku."
"Nanti nyesel loh.."
"Kok gitu sih?."
"Ya karena kamu yang mutusin."
"Hubungan kita baik-baik aja kok, ya...walaupun aku putusin lewat telepon tapi...kita ga jadi musuhan."
"Masih suka komunikasi?."
"Engga, ga ada sayang. Periksa handphone aku."
"Aku percaya, ga periksa pun aku percaya. sini.." Dariel tiba-tiba memeluk Ara.
"Makasih, kamu dan keluarga kamu udah sayang sama aku, udah nerima aku." Dariel melow sekarang.
"Dulu aku ga pernah sama sekali mikir bakalan punya pacar atau nikah. Hidup aku kayanya cuman buat kerja semenjak ada kamu kayanya tujuan aku jadi berubah. Jangan tinggalin aku." Dariel mempererat pelukannya. Dia tenggelam dalam suasana yang begitu romantis ini. Dia dan Ara tak pernah saling terbuka sebelumnya. Mungkin ini moment yang pas untuk menceritakan semuanya. Tak ada lagi rahasia diantara mereka.
"Aku ga akan ninggalin kamu.." Ara yang semula terharu dengan ucapan Dariel kini membalasnya. Dariel yang cukup lama memeluk Ara kini melepaskannya. Salah satu tangannya dia letakkan rahang Ara. Mengelus pelan disana dengan sorot mata yang begitu seurius menatap Ara. Wajah Ara memerah mungkin akibat anggurnya tapi itu tak menghilangkan kecantikannya. Perlahan-lahan Dariel memajukan wajahnya atau lebih tepatnya mendekatkan bibirnya. Kala bibir itu semakin dekat matanya mulai dipejamkan dan ya...kini kedua bibir itu saling menempel. Ara tak menolak, dia menerima ciuman itu dengan membalas setiap gerakan yang mulai Dariel lakukan. Dari gerakan atas kebawah sampai gerakan mencium dan menghisap. Mereka saling bertukar Saliva dengan nikmatnya. Tak ada penganggu disini, yang ada hanya mereka berdua. Lagi-lagi dengan perlahan Dariel mendorong badan Ara agar terbaring saja dekat sofa. Mungkin...itu jauh lebih nyaman. Tangannya yang kekar seakan menuntun dan berhati-hati untuk membaringkan tubuh Ara disana. Dariel tak mau melepaskan tautannya yang jelas dengan seperti ini saja dia tahu dimana letak sandaran itu. Ciuman semakin menjadi-jadi saja bahkan tak jarang mereka saling menarik ulur lidahnya. Bibir Ara candu bagi Dariel. Kulit hangat dan empuk itu seperti menyihirnya untuk terus menempel.
"Riel..." Ara mendorong pelan badan Dariel. Nafasnya terengah-engah dengan bibir merah bengkak akibat ciuman.
"Hem.."
"Kasih aku nafas dulu kek.." Ara protes. Dariel tersenyum.
"Setelah hari ini aku ga mau ada apapun lagi yang kamu sembunyiin, aku ga mau kamu punya hubungan gelap lagi sama..."
"Udah jangan disebut lagi namanya." Ara segera memotong pembicaraan Dariel.
"Sama yang lain maksud aku."
"Engga, aku tahu belakangan ini kamu khawatir. Kamu selalu ingetin aku berulang kali tapi beneran deh sayang, engga ada lagi."
"Maaf, padahal aku sendiri yang bilang ga akan bahas-bahas ini."
"Ga papa. Aku tahu salah aku dimana."
"Salah kita. Aku lagi berusaha perbaiki itu." Dariel kali ini memainkan rambut Ara.
"Aku janji ga ada lagi main-main."
"Aku pingin nikahin kamu cepet-cepet makannya aku harus buktiin sama Daddy."
"Kenapa harus cepet-cepet?." Ara menggoda.
"Hm...kenapa ya?." Dariel berpikir.
"Ish.... tinggal jawab kenapa."
"Aku kesepian kalo hidup sendiri terus. Rumah aku yang sekecil ini aja berasa sepinya apalagi kalo rumah aku gede kaya kamu, berasa dihutan antah berantah kali."
"Sabar, aku terus bujuk Daddy kok tiap hari. Aku bilang 'Dad..Dariel tuh tambah tua, jadi kasian kalo harus nunggu aku.'". Canda Ara.
"Ih..kok bawa-bawa umur segala." Dariel tanpa tersinggung dengan ucapan Ara. Dia kembali menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ara. Dia ingin memberi tanda disana.
"Riel..Riel...jangan dong.." Ara langsung mengangkat kepala Dariel. Dia merasakan hisapan dikulitnya.
"Kenapa?."
"Si Kay kalo liat ledekin kamu serangga lagi, udah disini aja." Ara mengarahkan pada bibirnya.
"Disini?." Dariel tersenyum dan menyapu bibir merah itu. Belum juga beberapa menit mereka berhenti, Dariel kembali melumat bibir Ara. Dia suka dengan sensasi yang diberikan melalui ciuman itu. Matanya kembali terpejam. Ciumannya kembali memburu bahkan semakin dalam saja. Tengah asyik memadu kasih suara dering handphone Ara terdengar membuat keduanya reflek memandang ke arah bunyinya. Satu tangan Ara meraih Handphonenya dimeja. Dilihatnya layar handphone itu.
"Daddy..." Ucap Ara yang langsung membuat Dariel bangkit seakan Kenan berada didepannya.
- Halo dad..
- Kamu dimana sayang?, kok ga ngabarin Daddy sih?.
- Aku dirumah Dariel dad, lagi makan dulu bentar.
- Bilang dong kak.
- Aku tadi kasih tahu mommy kok dad..
- Masa?.
- Tanya aja mommy atau..Daddy sama mommy lagi berantem?.
- Mana ada berantem. Kapan pulang?.
- Bentar lagi aku pulang kok dad.
- Pulang bawain sate ayam ya buat Daddy.
- Ye..bilang aja mau nitip.
- Diminta tolong malah ngeledek.
- Iya Daddy sayang, nanti aku beliin.
- Hati-hati pulangnya sayang.
- Iya dad..
Ara mengakhiri panggilannya.
"Kenapa? disuruh pulang?."
"Daddy nanya aku dimana padahal aku udah kabarin mommy. Daddy mau nitip sate kalo aku pulang."
"Ya udah nanti aku beliin. Kamu makan dulu sini."
"Bantuin dong, udah didorong malah ditinggal gitu aja." Ara mengulurkan tangannya. Dariel langsung menarik Ara untuk duduk lagi.
"Baju aku berantakan lagi nanti disangkanya aku diapa-apain."
"Enak aja, apa-apainnya nanti aja kalo udah nikah." Canda Dariel.
"Riel...jangan mikirin cowok ya.."
"Ish...apaan sih, masih aja kepikiran soal Nino..." Dariel jadi bergidik sendiri sekarang. Dilangsung makan lagi sementara Ara senyum-senyum.
***To be continue