Rasanya aku benar-benar terkejut bukan main mendapatkan kabar jika Opa dan Oma Ara meninggalkan dunia akibat kecelakaan. Aku dibuat tak percaya dengan kabar itu, seperti mimpi saja. Belum lagi waktu itu posisiku sedang berada di luar kota membuat aku tak bisa berbuat apa-apa. Tiket kepulangan sudah tak ada dan aku juga tak berani memaksakan diri. Bisa-bisa stafku disini sedikit curiga. Aku hanya ikut berbelasungkawa lewat telepon. Ara jelas menangis tersedu-sedu saat menceritakan bagaimana opa dan omanya meninggal. Rasanya baru kemarin Ara dan aku berencana untuk berkunjung ke rumah mereka agar aku bisa menceritakan tentang keluargaku. Kini wacana itu hanya harapan semata. Mereka telah kembali ke sang ilahi, rumah terakhirnya yang abadi. Aku senang walaupun baru mengenal mereka sebentar. Mereka memang terlihat seperti orang tua, kakek dan nenek yang baik. Perasaanku sungguh sedih selama 4 hari di Ambon tapi sepertinya waktu 4 hari sudah mulai sedikit demi sedikit mencairkan kesedihan Ara. Keinginanku untuk bertemu Ara secepatnya mendadak sirna saat pak Dikta menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan ke Batam dikarenakan dirinya yang juga masih sibuk membantu pak Kenan atas meninggalnya opa dan Oma. Aku diperintahkan mewakili dirinya dalam meeting disana selama 3 hari. Masalahnya bukan hanya itu, aku juga harus ikut meetnas Sesampainya di Jakarta nanti padahal Pak Dikta sudah menginstruksikanku lagi ke Makasar namun aku sedikit mengulur waktu. Bagaimanapun aku harus menemui Ara. Bukan hanya karena aku takut dia akan mengatakan aku sibuk lagi tapi rasanya aku sedikit kurang ajar jika disaat terberatnya aku tak ada dan untung saja pak Dikta mengerti. Kini setelah semuanya selesai aku mulai menginjakkan kaki dirumah Ara lagi.
"Ayo masuk aja.." Ara menarik tanganku saat aku baru saja masuk.
"Mom..dad..." Teriak Ara saat kami masuk.
"Eh Riel masuk.." Pak Kenan yang sedang bermain dengan Krisan melihat kearah kami. Ara kenapa harus seheboh itu sih? aku pikir dia masih sedih tapi sepertinya dia sudah ceria lagi.
"Malem om..."
"Ah..Kris makin lucu, makin gede, kakak gemes..." Ara mengajak berbicara adiknya yang hanya menjawab dengan gerakan tangan dan kakinya.
"Om...Dariel ikut berduka ya, maaf ga bisa bantu-bantu, kemarin Dariel di luar kota."
"Iya makasih Riel, gapapa kok, om ngerti. Om denger kamu yang handle kerjaan Mas Dikta.."
"Iya om.."
"Mau ngobrol dimana kak?"
"Aku sama Dariel di atas aja, mommy mana?"
"Lagi beresin kamar dulu."
"Ya udah aku ke atas ya dad.." Ara lalu mengajakku keruang atas.
"Kamu duduk dulu aku ke kamar bentar."
"Iya.." Aku lalu duduk di sofa warna biru navy yang terletak tak jauh dari kamar Ara. Rumahnya memang selalu terlihat megah dan rapi. Tidak butuh lama Ara sudah kembali dengan minuman dan makanan yang dia letakkan di atas meja. Bajunya tampak santai kali ini dengan celana pendek dan kaos berwarna putih.
"Keluarga aku mau pindah rumah." Ara duduk disampingku sambil membenarkan ikatan rambutnya setelah itu menyalakan tv dan memelukku dari samping.
"Ra nanti ada orang tua kamu lewat.."
"Mereka kamarnya lagi dibawah, ga papa. Aku pingin peluk."
"Tapi ga enaklah.."
"Udah diem jangan protes."
"Ih...kenapa sih kamu?" Aku kini merangkul bahu Ara.
"Lagi kangen aja, udah lama ga ketemu."
"Maaf, kemarin-kemarin aku ga nemenin kamu, maaf ya. Kamu pasti kuat..."
"Iya ga papa."
"Ibu kamu udah sehat?"
"Udah.."
"Eh tadi kamu bilang mau pindah rumah, pindah kemana?"
"Ga tau, Daddy masih nyari-nyari."
"Kenapa pindah?"
"Garasi penuh, tadi liatkan mobil sampe keluar-keluar."
"Sayang, kenapa sih kamu sekarang suka sengaja-sengajain ya pegang-pegang, belum goda-godain segala. Jangan kaya gitu dong..."
"Emang kenapa sih?"
"Sayang, lagi jam kerja ga enak kalo kita kaya gitu."
"Kamu dari dulu emang ga berubah soal jam kerja."
"Ih ngambek gitu doang, kamu tuh orangnya ga tahanan, panasan, apa-apa ga sabaran."
"Iyalah, Riel...kita kan mau perbaikin hubungan kita. Aku kan cuman minta pengakuan aja dikantor.."
"Sekarang aku tanya kenapa sih harus ngaku pacaran segala kalo dikantor?"
"Ya...biar ga ada yang ganggu kamu. Emang aku ga tau selama aku ga ada tuh anak-anak training ngecengin kamu, terus aku denger Evelyn ada deketin kamu malah makin gencar nyapa-nyapa kamu segala belum HRD baru si Maya mepet mulu. Kalo kita ga ngasih tahu mereka tuh makin menjadi sama kamu tapi....ya udahlah ga papa..."
"Kamu tahu darimana sih gosip begituan?"
"Rahasia, ya udahlah gapapa aku ikhlas juga kalo kamu ada main sama mereka, aku dulu pernah gitu." Ara melepaskan pelukannya seolah tak lagi menggebu dengan keinginannya tadi lalu dia menyibukkan diri dengan mengambil remote dan memindahkan tayangan tv nya.
"Ra, apa pernah aku dendam kaya gitu ke kamu?kita udah sepakat udah lupain aja yang kemarin-kemarin."
"Aku yang salah.."
"Iya emang kamu yang salah terus kenapa?aku ga pernah bahas-bahas lagi kok yang.."
"Kamu tuh emang baik aku yang jahat.."
"Sini aku peluk lagi.." Aku menarik badan Ara kedalam pelukanku seperti tadi. Ara masih sensitif sepertinya.
"Udah, ga usah diinget-inget lagi kenapa sih?Pacarannya jadi ga enak kalo kamu gitu terus." Aku menenangkan namun Ara masih diam.
"Dari semua nama yang kamu sebutin ga ada yang bikin aku tertarik kaya aku ke kamu, lagian kenapa harus didengerin sih yang kaya gitu? Coba sekarang jujur siapa yang bilang gitu?"
"Jangan dimarahin orangnya."
"Iya engga.."
"Aku ngobrol sama temen-temen kamu."
"Temen-temen aku tuh siapa?"
"Gio, Onya sama Mia.."
"Ampun ya mereka.."
"Riel jangan marah sama mereka."
"Iya-iya..."
"Aku yang nanya-nanya bukan mereka yang ngasih tahu. Mereka cerita aja kamu gimana dikantor."
"Ih..dasar detektif." Aku mencubit pipi Ara sebentar.
"Aku sayang kamu.." Ara semakin mengeratkan pelukannya.
"Ya udah oke kita ngaku pacaran aku cari kerja ke tempat lain ya?"
"Ih jangan, aku ga mau."
"Aku ga apa-apa."
"Pokoknya aku ga mau kamu pergi, aku bisa makin uring-uringan kalo kamu pindah kantor."
"Terus mau gimana?"
"Ya udah aku nurut sama kamu."
"Nah gitu dong."
"Eh lusa aku ada dinas ke Banjarmasin 2 atau 3 hari."
"Sama siapa?"
"Sama Candra, Onya sama tim accounting juga cuman ga tau Farah atau bukan."
"Awas ngegosip lagi."
"Seengaknya ada temen buat keluar."
"Nanti aku anterin kamu sayang, aku juga ada hiking nanti Minggu."
"Engga, ga boleh."
"Kok ga boleh?"
"Kamu temenin aku."
"Kemana?"
"Ke ulang tahun opa."
"Itu kan acara keluarga kamu."
"Aku pingin kenalin kamu, pokoknya ikut.."
"Bukannya kamu tadi masih dibanjarmasin kalo hari jumat?"
"Iya tapi aku pulang sore bisa langsung kesana, acaranya di Bandung."
"Cape loh sayang."
"Makannya kamu ikut, jemput aku dibandara terus langsung kesana nyusul."
"Aku harus ambil cuti kalo gitu."
"Sampe Senin ambilnya."
"Iya-iya.."
"Kita ngobrol soal hubungan kita ke opa sama keluarga aku yang lain." Ara menjelaskan maksudnya sementara aku sedikit bingung harus bagaimana nanti. Ara sempat cerita jika opanya yang ini sedikit rewel dan dulu aku sempat bekerja sama dengannya. Memang pak Ryan itu sedikit detail dan tentu saja dia tegas dengan setiap keputusannya. Aku jadi sedikit takut disertai gugup tentunya.
***To Be Continue