"Opa..Oma..kenalin ini pacar aku..." Ara dengan senang memperkenalkan Dariel. Damar dan Siska mulai memperhatikan Dariel dari bawah sampai keatas.
"Dariel opa, Oma.." Ucapnya sambil mengeluarkan tangan. Orang yang pertama kali menjabat tangannya adalah opa.
"Yang kemarin-kemarin mana kak?."
"Yang mana sih opa? perasaan ga ada." Ara melirik kearah Dariel. Dia salah tingkah karena pertanyaan opa.
"Yang pendek, kurus itu..."
"Pura-pura ga inget, sini aku ingetin. Kak Wira kakakku tersayang.." Kay memanasi. Kenan jadi inget tentang pria itu yang juga sempat datang pada acara wisuda Ara.
"Apaan sih..." Ara dengan mata melotot pada Kay.
"Nah iya, Wira kemana?."
"Duh...opa Wira tuh temen aku. Kalo ini beda.." Ara mengaitkan tangannya di lengan Dariel. Kalo sampai dia salah paham tentang Wira bisa bahaya.
"Temen tapi ngasih bunga, anter jemput, telepon-telepon.." Lagi-lagi Kay memanasi.
"Sssst...diem anak alay."
"Kay..." Kenan menegurnya. Rasanya hanya perkara pacar mereka berdua jadi ribut sementara Jesica hanya tersenyum-senyum saja.
"Dariel ini kerja juga di SC Pah satu tim sama Mas Dikta.." Kenan lebih menjelaskan.
"Oh..cinlok ceritanya." Opa mulai senyum-senyum melirik kearah cucunya.
"Opa setujukan? ga papa kan aku pacaran sama Dariel?." Ara kini berpindah ke arah opanya. Bergelayut manja ingin minta restu. Jesica lebih mengembangkan senyuman. Ara kalau ada maunya pasti...bersikap manis. Mulutnya penuh rayuan.
"Kakak tuh ya hari ini pacarnya siapa besok siapa.." Ucapan opa membuat Kay tersenyum puas. Akhirnya sifat Ara yang dulu terbongkar.
"Ih..opa...aku ga gitu. Semua yang aku kenalin itu cuman temen.."
"Bisma, David, Rio.. Wira..." Kay pura-pura mengabsen dengan jemari yang dia buka satu persatu setiap kali menyebut nama lelaki yang dekat dengan Ara.
"Ish...diem, berisik banget. Dad...Kay tuh Dad gangguin terus."
"Dariel sepantaran sama Ara?."
"Beda 5 tahun opa, saya 26 tahun.." Dariel tanpa malu menyebutkan umurnya.
"Ah..ga keliatan kirain satu kampus sama Ara."
"Beda opa.."
"Orang tua kerja apa?." Opa mulai mengintogerasi sesuatu yang sensitif bagi Dariel.
"Kebetulan bapak punya toko kalau ibu diem dirumah."
"Dariel ini..ayahnya sempet juga kerja di SC. Sahabatnya ayah pah.." Kenan mencoba membantu Dariel menjelaskan.
"Udahlah sama yang ini kak, ganteng, tinggi.." Puji opa sambil menepuk-nepuk bahu keras Dariel. Dariel hanya tersenyum apalagi Ara yang senang bukan main
"Makasih...udah bantuin ibunya Ara.."
"Sama-sama opa.."
"Kapan-kapan main kerumah, biar bebas pacarannya ga digangguin Kenan." Bisik kecil opa. Candaanya membuat Kenan tertawa kecil.
"Makasih opa.." Ara semakin merekatkan dirinya pada sang kakek. Dia senang setidaknya satu per satu keluarganya mengenal Dariel bahkan menerimanya tanpa syarat.
"Sayang...mama sama papa keluar dulu ya, kamu istirahat, tidur.." Oma dengan sayang mengusap kepala anak tunggalnya Jesica.
"Mama, Papa mau makan? biar Kay anterin. Kay...anterin Opa.." Kenan menyuruhnya.
"Iya Dad, ayo opa.."
"Nah ini nih yang punya pacar banyak juga. Mana kenalin sama opa."
"Ada opa, yang ini pokoknya bakalan jadi yang terakhir.." Kay senyum-senyum mengingat Kiran.
"Ah..bohong." Opa meledek sambil merangkul cucunya.
"Ganteng sih cuci Oma, pasti banyak yang rebutin." Oma ikut menggandeng tangan Kay. Kini mereka bertiga pergi keluar meninggalkan kamar.
"Kay kalo udah sama Papa, mama semua diceritain." Jesica berkomentar.
"Kamu tidur sayang.." Kenan duduk di kursi yang sempat ditempati mertuanya. Tepat disamping Jesica dia duduk untuk menemani sang istri beristirahat sementara Jay sudah duluan tertidur diatas sofa.
"Riel...makasih ya.."
"Iya Tante, sama-sama. Semoga cepet sembuh." Dariel ikut menunggu disana dengan Ara. Ternyata bayangannya selama ini salah. Keluarga Ara tak sekejam yang dipikirkan. Imajinasinya yang sempat liar membayangkan bahwa hubungannya akan ditentang perlahan sirna. Kini hanya ada satu keluarga lagi yang harus Dariel temui. Itu adalah pemilik SC sesungguhnya yang biasa Ara panggil dengan sebutan Opa Ryan. Mereka duduk sofa lainnya yang kosong. Tanpa sadar Dariel terus menggenggam tangan Ara. Dia seolah menunjukkan rasa senangnya.
"Aku bakalan ceritain soal keluarga kamu sama opa Damar apa ga papa?."
"Nanti biar aku yang ceritain kalo ketemu lagi."
"Pasti ketemu, aku bakalan ajak kamu kerumah opa. Mereka itu Opa sama Oma yang paling gaul pokoknya, paling the best. Aku yakin mereka pasti nerima kamu. Denger kan tadi aja opa muji kamu."
"Pantes kamu ngenalin semua pacar kamu sama mereka."
"Ih..ga gitu sayang.."
"Mereka sampe hafal cowok terakhir kamu siapa."
"Ya...ga sengaja keinget kali."
"Asal jangan Dirga aja disebutin juga.." Dariel sepertinya masih kesal dengan Dirga.
"Aku emang pernah ngenalin sama Oma, diakan mau belajar bikin sepatu tapi...sebagai temen aja. Oma tahu kok Dirga anaknya temen mommy. Udah ya jangan kesel lagi.." Ara membujuk. Mencium tangan Dariel tanpa malu dihadapan orang tuanya yang ternyata sudah memejamkan matanya. Sepertinya mereka lelah.
"Engga, aku ga kesel."
"Daripada Dirga bikin kesel udah jangan dibahas."
"Tadi itu orang tuanya berarti?."
"Iya, Tante Lala yang temennya mommy. Kamu belum pulang ya sayang? masih pake baju kantor gini." Ara mengalihkan pembicaraan.
"Ya aku ga panik gimana kamu nelpon sambil nangis-nangis."
"Habis aku panik, mommy ga biasanya kaya gitu."
"Iya-iya udah, matanya jadi sembab gitu.." Dariel merangkul bahu Ara. Membiarkan pacarnya itu bersandar mesra di dadanya. Ara jelas menerima pelukannya. Dia juga merangkul pinggang Dariel.
"Mau tidur? biar aku yang nungguin ibu kamu."
"Engga, masa kamu disini aku tidur."
"Ya ga papa."
"Seharian ini kita ga ketemu, masa pas ketemu aku tidur."
"Daripada kurang tidur kamu nanti yang sakit."
"Ih gemes.." Ara mencubit pipi Dariel pelan.
"Apa sih malah gemes."
"Udah ganteng, baik, perhatian lagi."
"Pingin apa nih muji-muji.." Canda Dariel.
"Udah Kay balik lagi kita keluar yuk, aku juga pingin makan."
"Kamu lapar? biar aku cariin ya. Kamu disini aja."
"Jangan, nanti aja. Aku ga lapar-lapar amat kok."
"Yakin? nanti perutnya sakit loh."
"Yakin. Kamu kali ya belum makan."
"Udah, orang dikantor sempet makan siang tadi."
"Makan siang sama siapa tadi?."
"Sama temen-temen aku.."
"Sama Farah?."
"Apa sih kamu masih cemburu?."
"Sebelum ada bukti dia sama Sandi beneran lagi PDKT ya...aku...belum.. percaya."
"Ampun ya kamu.." Dariel hanya membalas dengan senyuman.
"Harusnya kamu tuh seneng dicemburuin. Cemburu tuh artinya sayang. Emang kamu jarang cemburu."
"Terus artinya aku ga sayang?."
"Ya engga.. maksud aku.."
"Aku tuh cemburunya sama Dirga. Karena aku ga suka dia rebut kamu makannya aku cemburu. Kalo ga sayang udah aku biarin dia berbuat sesuka hati dia. Hari ini aku pantau dia, aku liatin dia.. tapi nih kalo suatu hari dia keterlaluan aku juga bisa marah." Dariel mulai seurius lagi membahas Dirga. Ara jadi benar-benar merasa bersalah. Dia menunduk. Dariel menyadari perubahan sikap Ara.
"Aku ga marah sama kamu sayang dengan syarat kamu bener. Udah maaf...aku bahas-bahas Dirga terus. Aku ga suka lama-lama liat wajah dia di depan aku tadi." Dariel sedikit menunduk mengikuti kemana wajah Ara. Tangannya di gosokkan pelan di bahu Ara.
"Aku yang harusnya minta maaf. Gara-gara aku kamu gitu."
"Udah-udah jangan nangis lagi, matanya nanti sakit. Sini aku peluk aja." Dariel tanpa canggung memeluk Ara. Coba saja jika Kenan bangun mungkin Dariel akan segera melepaskannya.
***To Be Continue