Chereads / LoveSick / Chapter 4 - Omar

Chapter 4 - Omar

1. Gerald, umur 32 tahun. Pegawai bank. Gantengnya kebangetan. Penggemarnya bejibun. Tapi belum kawin juga. Tidak jadi masalah.

2. Andi, umur 27 tahun. Pilot lumayan ganteng tapi playboy. Ini juga tidak masalah.

3. Omar, umur 30 tahun. Temen sekantor beda divisi. Habis cerai. Potensial dijadikan calon suami beneran. Mapan, dewasa dan lumayan tampan.

Anya mengetuk-ketuk kertasnya yang berisi daftar nama lelaki pilihannya. Berpikir ekstra keras. Lebih keras dari pada saat mengisi teka-teki silang. Ia masih mencari lagi.

"Siapa lagi ya? Siapa? Bambang pelatih fitness kayaknya juga bisa..." Anya mengingat-ingat para teman lelaki potensialnya yang belum ia catat. Mendadak nama Artha melintas di kepalanya. Buru-buru ia tepiskan dengan mengibas-kibaskan tangannya ke udara. Seolah-olah mengusir Artha yang mendadak meringis di depannya.

Amit-amit deh. Batin Anya.

Jadi orang pertama yang akan Anya hubungi adalah Gerald, pria blasteran Belanda Jawa, pria terganteng di dalam list-nya. Gerald sempurna jika dijadikan gandengan pergi ke kondangan, namun tidak untuk menjadi calon suami. Anya berteman dengan Gerald sudah tiga tahun. Pertama kali kenal Gerald di tempat clubbing.

Anya melirik ke arlojinya. Waktu telah menunjukan pukul tujuh malam. Paling-paling Gerald sudah pulang kantor dan pasti lagi duduk-duduk ganteng di bar langganannya. Anya menekan nomor kontak Gerald sesudah ia menarik nafas panjang. Ia akan membuat penawaran besar agar Gerald menyetujui rencananya.

Sambil menunggu Gerald mengangkat teleponnya, Anya mengetuk-ketuk mejanya dengan kuku-kuku cantiknya. Tapi Gerald tidak kunjung mengangkat teleponnya. Padahal Anya sudah meneleponnya berkali-kali. Saking gemasnya, Anya putuskan mengirim pesan.

Ger, angkat telpon gue. Urgent!

Ditunggu beberapa saat, tidak ada balasan pesan. Akhirnya Anya telepon lagi. Setelah menunggu agak lama dalam nada sambung, Gerald menjawab teleponnya juga.

"Ngapain aja lo Ger, gue telepon dari tadi."

"Huuuuh?!" Sahut Gerald dengan lenguhan panjang yang mencurigakan. "Napaa....aaaargh!"

"Iiih...lagi ngapain lo?!" Anya jadi kesal sekaligus risih. Kalau didengar dari deru nafasnya, Anya yakin Gerald pasti lagi melakukan 'sesuatu' dengan seseorang.

"Ngapain juga lo angkat telepon gueeee?!"

"Sorry...abis lo bilang ur...gent...." jawab Gerald lagi dengan nafas yang masih terengah-engah.

"Gue mau minta tolong ke lo."

"Ok, wait for a minute. Gue kelarin dulu...." Gerald mengakhiri pembicaraan namun entah disadari atau tidak, Gerald tidak mematikan ponselnya. Beberapa saat kemudian terdengar suara Gerald yang membuat Anya mual.

"Yess...oh yess....faster baby..."

Lalu terdengar lenguhan panjang bersautan penuh kenikmatan. Suara lenguhan Gerald dan suara seorang pria. Benar-benar suara pria bukannya suara wanita seperti dugaan Anya sebelumnya! Tidak salah lagi, Anya tidak mungkin salah dengar.

"Aaaaargghh....Bambaaaang!" Gerald menyebut nama itu bersama lenguhan panjangnya yang terakhir. Lenguhannya terdengar penuh kenikmatan yang membuat si penguping shock.

What the...! Bambang? Pelatih fitness gue? Jerit Anya dalam hati

Anya reflek melempar ponselnya ke sudut meja.

Anya segera mencoret nama Gerald sekaligus menghapus nama Bambang dari pikirannya yang sempat akan ia masukan ke dalam list-nya. Antisipasi dini, Gerald ternyata penyuka sesama jenis. Anya sebenarnya tidak mempermasalahkan orientasi seksual Gerald. Tapi mendadak Anya teringat kalau ia juga punya abang kandung yang juga ganteng. Bakal runyam kalau Gerald sampai naksir bang Sultan, abang kandung Anya.

"Kak Anya kenapa? Kok mukanya merah?" Suara Arini mengejutkannya.

"Nggak apa-apa." Anya menyeka keringat di wajahnya dengan tissue. Rasanya seperti habis ketauan nonton film bokep.

"Pulang yuk kak. Sudah pukul tujuh lebih," Arini mengajaknya sambil memasukan barang-barangnya ke tas cangklongnya.

"Lo duluan aja deh."

"Ok. Bye kakaaak." Arini melenggang meninggalkan ruangan yang hanya tersisa Anya dan dua orang staf lain.

Anya menatap kertas di atas mejanya lagi. Tinggal Andi dan Omar. Anya putuskan mengirim pesan ke Andi dulu.

Andi: Ndi Kendi, gue butuh bantuan lo. Lagi free nggak?

Pesan terkirim dengan mulus tapi lama tidak ada balasan. Mau telepon tapi trauma. Salah-salah Andi juga lagi 'sibuk'. Anya hafal betul dengan kelakuan Andi. Don Juan kelas kakap dengan rating bintang lima. Gonta-ganti cewek sudah seperti gonta-ganti pembalut sekali pakai. Salah satu teman clubbing Anya juga selama setahun terakhir. Tapi tidak pernah terlibat hubungan asmara apalagi sampai diajak buat one night stand.

Anya memutuskan mengemasi barang-barangnya ketimbang bengong sendirian di kantor. Anya bergegas ke lift dan ia bertemu dengan Omar. Duda gemas baru cerai empat puluh hari. Bahkan Akta cerainya saja belum terbit.

"Hai, Omar." Anya menyapa dengan nada super manis sambil mensejajarkan langkah kakinya dengan langkah kaki gontainya Omar. Duda manis dengan pembawaan kalem dari divisi produksi itu tersenyum pada Anya yang begitu ramah padanya.

"Hai, Anya," balas Omar kalem.

"Lo mau langsung pulang?" tanya Anya dengan nada cepat. Terbersit dalam pikirannya, kalau malam ini Omar bersedia dengan rencananya, buat apa repot-repot menunggu balasan SMS Andi.

"Iya...tapi males juga sih langsung pulang jam segini." Omar menekan tombol buka lift.

Duda baru yang sedang galau seperti ini yang potensial buat Anya ajak pulang kampung. Anya tidak akan melepaskan kesempatan bagus ini begitu saja. Andi langsung Anya skip.

"Gimana kalo kita nongkrong bareng?" ajak Anya mulai menjalankan misinya. Jantungnya sampai berdebar-debar kencang karena antusias.

"Ok. Sekalian cari makan, ya? Laper nih," jawab Omar begitu mudahnya sambil melangkah ke dalam lift yang telah terbuka diikuti Anya yang begitu kegirangan.

"Mau makan di mana?" tanya Omar tiba-tiba saat mereka baru keluar dari lift. "Kalo bisa yang deket-deket sini mau? Soalnya gue lagi nggak bawa mobil." Omar menambahkan.

"Warung tenda seberang kantor aja gimana?" usul Anya.

"Setuju."

Dengan berjalan kaki, Anya dan Omar menuju warung tenda di seberang jalan berjarak kurang lebih seratus meteran dari kantor mereka. Memesan dua porsi ayam bakar dan dua gelas es jeruk.

Melihat Omar menyudahi makan malamnya dengan mencuci jemari tangannya dalam mangkuk air kobokan, Anya mulai melancarkan rencananya.

"Lo udah ada pandangan buat ke depan, Mar?" tanya Anya sambil menyeruput es jeruknya.

"Gue mungkin bakal sering traveling," jawab Omar sambil menyeka mulutnya dengan tissue gulung. Traveling untuk menyembuhkan luka perceraian. Anya tahu itu. Bahkan saat ini Anya bisa melihat gurat sendu di wajah Omar.

"Wow...mau traveling kemana lo?" tanya Anya lagi terus berusaha memancing Omar.

"Mungkin ke Raja Ampat atau ke Sabang," jawab Omar sambil memiringkan kepalanya,

Coooocok! Anya bersorak dalam hati.

"Ke Sabang aja gimana?" Anya menatap Omar dengan mata berbinar-binar. "Gue bayarin tiket pesawat pulang pergi lo ke sana."

Omar terperangah tak percaya. Tawaran tiket pesawat pulang pergi ke Aceh, membuatnya heran dengan Anya.

"Lo demam?" Omar menempelkan punggung tangannya ke dahi Anya.

"Enggak lah."

"Terus ngapain tiba-tiba mau bayarin gue ke Sabang?" Omar mulai curiga dengan Anya.

Anya meringis lebar sebelum menjawab, "asal lo mau membantu rencana gue, Mar."

"Rencana apa?" Omar tampak ragu.

"Sini deh gue bisikin." Anya menarik lengan Omar agar mendekat kepadanya. Anya lalu mengungkapkan rencananya dengan gamblang.

"Gimana lo mau kan?" tanya Anya menjauh dari telinga Omar yang kini tampak ragu.

Anya sedikit gemas melihatnya.

"Lo takut kita jadi bahan gosip ya?" tuduh Anya.

"Nggak sih. Cuma…"

"Ayolaaaah....bantu gue, Mar. Lo nggak akan rugi deh. Gue beliin tiket pesawat pulang pergi ke Aceh plus minyak angin."

"Minyak angin buat apa?" Omar gagal menangkap candaan Anya.

"Buat lo minum! Ya kagaklah Omaaaarrrr. Minyak angin buat jaga-jaga kalo lo masuk angin di jalan," ujar Anya cukup masuk akal mengingat perjalanan Jakarta-Sabang itu tidak sedekat jarak Jakarta-Bogor.

Omar menghela nafas lega setelah mendengar penjelasan Anya perihal bonus minyak angin.

"Tapi cuma bohongan kan? Bukan beneran?" Omar memastikan lagi. Omar benar-benar khawatir jika tawaran Anya hanyalah untuk mengambil keuntungan darinya. Omar adalah most wanted duda yang mendadak sedang banyak penggemar di kantor setelah bercerai.

"Iyalah, bohongan! Kalo beneran gue juga ogah. Gue nggak ada feel ke elo." Anya kembali menyeruput es jeruknya hingga kandas sambil dalam hati merasa terhina dengan sikap Omar yang jelas-jelas tampak tidak tertarik dengannya.

Omar tampak berpikir lagi, hingga akhirnya ia bilang, "ok, gue mau."

"Syukurlaaaah! Gue jamin lo nggak akan menyesal lahir batin." Anya menepuk-nepuk pundak Omar. Sementara mata bulatnya membaca pesan dari Artha yang baru saja masuk ke ponselnya.

KutuFiraun: Ciyeee...yang lagi pacaran sama temen sekantor...

Bukannya langsung membalas, Anya malah sibuk menoleh kesana dan kemari mencari sosok Artha di sekelilingnya. Sampai menajamkan penglihatannya ke level tertinggi, hingga sebutir nasi di meja seberang pun akan tertangkap oleh penglihatannya apalagi Artha yang badannya tidak lebih besar dari badut maskot Mekdi.

Tak kunjung menemukan sosok itu di antara keramaian pengunjung warung tenda, Anya akhirnya membalas pesan Artha dengan kecepatan jemarinya yang mengagumkan sementara kedua bola matanya terus memindai seluruh sudut warung tenda. Memindai di antara keramaian pengunjung warung.

Anya: Enak aja! Kata siapa lo?

Pesan yang kemudian dibalas Artha dengan cepat.

KutuFiraun: Kata air kobokan di depan lo.

Hah?

Hingga kedua bola mata Anya akhirnya menemukan sosok yang amat ia kenal itu. Rambut kribonya diikat ke atas hingga menyerupai kemoceng, berkemeja slim fit warna navy dengan lengan digulung sesiku sedang menatap dirinya dan Omar.

Artha tampak berdiri di dekat gerobak penjual, menenteng kresek putih berisi makanan. Wajahnya yang awalnya tampak serius kemudian berganti menjadi cengar-cengir nakal sambil melambaikan tangannya ke arah Anya yang mendadak salah tingkah.

Duuh...ada si Kutu.

KutuFiraun: Gue nggak akan ganggu kalian. Tenang aja.

Pesan itu Anya baca sambil menatap Artha lagi yang tampak melambaikan tangannya lagi sebelum keluar dari warung. Sosok itu langsung hilang bak ditelan malam. Anya kemudian menghela nafas dengan lega.