Tanpa disadari oleh Raina, ternyata Alavaro sudah menjalin hubungan dengan Caithlin. Kesibukannya dengan Nichol membuatnya telat memperoleh informasi mengenai Alvaro.
Caithlin memang sudah lama memimpikan hal yang ingin ia lakukan bersama Alvaro, lelaki yang ia cintai sejak lama. Kali ini ia akan makan malam saja berdua dengan Alvaro. Tidak ada yang ingin ia nikmati selain menatap mata Alvaro lebih dalam. Perasaan yang sudah lama terpendam itu terlihat tumbuh semakin besar sejak Alvaro menyatakan bahwa ia bersedia memulai hubungan dengan Caithlin.
Malam itu, disebuah cafe kecil ditepi muara. Terlihat Caithlin lebih cantik dari biasanya. Ditambah dengan dua lilin yang menghiasi mejanya menjadikan suasana menjadi lebih romantis sekaligus menenangkan.
Di satu sisi, sebenarnya Alvaro merasa berdosa telah menaruh harapan kepada Caithlin. Sebenarnya, didalam lubuk hatinya yang paling dalam masih ada Raina. Ia menjalin hubungan dengan Caithlin hanya sebagai cara agar ia dapat melupakan Raina dengan cepat. Namun, ia tidak akan secepat itu merusak kebahagian Caithlin. Perempuan itu sudah terlalu baik kepadanya. Saat ini ia hanya ingin mencoba menjadi yang terbaik untuk siapapun. Termasuk Caithlin.
Caithlin tidak sadar betapa menyedihkannya dia telah mencintai orang yang sebenarnya hanya berpura-pura mencintainya. Ia mengira Alvaro benar-benar mencintainya. Nyatanya ia hanya dijadikan sebagai pelarian Alvaro saja.
" Kamu mikirin apa, Al?" tanya Caithlin.
" Oh, nggak apa-apa."
" Ini makan malam pertama kita, kok kayaknya kamu ga senang gitu sih?"
" Aku senang kok"
" Tapi ini terasa hambar, Al"
" Caithlin"
" Tapi kamu janji ya nggak bakal nyuekin aku lagi"
" Iya, Caithlin."
Ponsel Alvaro tiba-tiba berdering. Ternyata Raina yang meneleponnya. Ia meminta tolong untuk dijemput di kampus. Ia tidak punya pilihan. Alvaro cemas. Bergegasnya menuju meja Caithlin dan meminta ijin untuk pergi.
Sesampainya di kampus, suasana nampak remang bahkan tidak ada orang sama sekali. Tiba-tiba terdengarlah suara Raina dari arah belakang. Tidak lama kemudian, ia bergegasnya pulang dengan Alvaro karena sudah terlalu malam.
...
Pagi itu udara terasa segar. Disebuah tempat yang dikelilingi bebatuan, Nichol dan temannya mendirikan tenda. Nichol akan memancat sore harinya. Sekarang ia dan teman-temannya ingin beristirahat setelah perjalanan panjang.
Tebing Citatah, namanya. Terletak di Desa Cipatat, Padalarang, Bandung. Tebing ini memang belum terlalu mendunia tetapi medannya juga tidak kalah menantang.
Di kampus, Raina merasa gelisah. Pikirannya hanya tertuju pada Nichol sampai ia tidak fokus latihan.
Dengan kesiapan mental dan setelah berdoa, Alvaro mulai menginjak pijakan pertama. Dari bawah terdengar suara temannya memastikan keamanan.
Sudah hampir 30 meter ia naiki. Harusnya ia sudah turun . Namun, bebatuan itu merayu Nichol untum naik lebih tinggi lagi.
Katanya " Nanggung. Dikit lagi...".
Tiba-tiba ia kehilangan kendali. Tangannya terlepas dari tonjolan dinding batu. Tubuhnya melayang-layang menghempas dinding batu. Wajahnya menabrak dinding batu. Sedangkan lengannya menabrak bebatuan runcing. Keadaan semakin panik. Darah mulai mengalir di sekujur tubuhnya.
Temannya panik dan segera menurunkan Nichol. Namun, keadaanya sudah tidak bisa tertolong lagi.
" Nichol sudah duluan," ucap seorang teman yang memeriksa keadaan Nichol.
Air mata jatuh tetes demi setetes. Perjalanan ke tebing Citatah telah merenggut nyawa Nichol. Rencana Tuhan memang tidak bisa ditebak. Nichol menutup kisah perjalanannya.