Chereads / SECRET BEHIND ME / Chapter 2 - Better Than Her

Chapter 2 - Better Than Her

Sarapan pagi yang membosankan, Nara menghela napasnya sekali lagi. Tanpa menyadari tangannya yang memegang pisau dan garpu saling bersingungan, menimbulan suara denting yang cukup keras. Merutuk kesal,

'Ah, sial!' membatin, menyalahkan sikapnya yang ceroboh.

"Jaga table mannermu, Nara. Seorang lady tidak boleh mengeluarkan suara jika sedang berada di ruang makan." Suara wanita di depannya menginterupsi.

Manik Amber Nara menatap makanannya, enggan menengadahkan wajah. "Maaf, Ibu." Berujar tipis. Berniat melanjutkan kegiatan sarapannya lebih cepat.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nara?" kali ini pertanyaan datang dari sosok paruh baya di samping Ibunya. Laki-laki yang menatapnya tegas, dengan tubuh yang tegap dan rahang tegas. Nara hanya bisa menghela napas.

"Baik, tidak ada yang aneh." Menjawab singkat, sosok itu nampak mendengus, mendengar jawaban putrinya.

"Kau tahu kan kalau Ayah tidak suka dengan pekerjaanmu." Sekali lagi, sebuah protesan kembali muncul. Setiap paginya. Tertutupi kacamata bulatnya, manik Nara memutar malas.

"Hh, Ayah tahu Nara suka dengan pekerjaan ini,"

"Maksudmu menjaga anak-anak yang penuh air liur ke sana kemari? Menemani mereka bermain, tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Itu memalukan,"

Sosok Ibu tirinya mendengus remeh, diumurnya yang menginjak ke-50 tahun wajah awet muda berkat perawatan yang selama ini Ia dapatkan, berhasil menikahi Ayahnya. Bibir yang tidak pernah berhenti meremehkannya secara halus, awalnya Nara sempat marah dengan wanita itu. Tapi lambat laun, rasa marah itu berubah jadi malas.

Daripada memperdebatkan sesuatu yang membuatnya pusing, Nara hanya mengangguk paham. "Itu kesukaanku,"

"Kesukaanmu? Dengan pakaian seperti itu?" manik itu menatapnya, mengecek semua yang Ia gunakan. Nara mendesah. "Kenapa dengan pakaianku, Bu?" berujar santai.

Wanita di depannya menahan tawa, Melinda Jovanka, sosok yang terang-terangan menunjukan sifatnya di depan sang Ayah. "Bajumu, dan celana jeans yang sudah kotor itu? Oh, ayolah Nara. Dengan penampilan seperti itu sudah cukup membuat Ayahmu malu." Pandangan Melinda menatap suaminya, mengelus lengan laki-laki itu lembut.

"Bagaimana dengan pendapat orang lain nanti tentang Ayahmu? Dinilai tidak bisa memberikan kebutuhan yang sempurna untuk putrinya sendiri. Itu kan tidak bagus."

'Hh, mulai lagi~' menghentikan gerakan tangannya sekilas. Menatap Ibunya. "Ayah pasti tidak akan memikirkan hal itu, jika putrinya bisa bekerja dengan bahagia, semuanya sudah cukup. Benarkan Ayah?" memberikan jawaban telak.

Berhasil membungkam bibir Ibunya, wanita itu meringsek menjauhi suaminya. Sementara Ayahnya sendiri hanya bisa menghela napas panjang. "Sudahlah, kita lanjutkan saja sarapannya." Berujar singkat.

Dalam hati, Nara sudah tertawa kencang. Melihat reaksi Ibunya yang nampak kesal. Berniat menikmati sarapannya sekali lagi dan berangkat kerja.

"Selamat pagi semuanya," suara khas lain teralun memenuhi seluruh ruang makan.

'Ah, sial, dia lagi,' mengerucutkan bibir sekilas. Menatap sosok wanita berumur 26 Tahun yang kini masuk ke ruangan. Menyapa mereka semua.

Mulai lagi-

.

.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nadine?" bukan Ayahnya yang bertanya tapi Ibunya.

Manik Amber Nara menatap sosok adiknya. Berbanding terbalik dengan Nara, sosok itu nampak sangat modis pagi hari ini. Menggunakan rok span yang memperlihatkan lekukan tubuhnya, dan baju coklat berkerah, make up yang tidak begitu tebal namun menambah kesan cantik di wajah tirusnya, kulit putih yang bersih.

Tubuh langsing dengan tinggi badan 170, jujur saja Nara sedikit iri. Kemiripan mereka tidak ada tentu saja. Ayahnya menikahi Melinda Jovanka sekitar enam tahun lalu setelah mendapati istrinya yang dulu berselingkuh. Ya, Ibunya sendiri.

Menikah setahun setelah perceraian mereka, membawa serta Nara dan putri wanita itu. Nadine Maheswari, bahkan namanya pun terdengar cantik. Itu artinya mereka hanya Kakak beradik tiri tanpa hubungan darah sama sekali.

Perbedaan mereka sangat jelas. Nadine dengan pribadinya yang cantik dan modis, sedangkan Nara yang masih mempertahankan topeng di depan semua keluarganya. Menjadi gadis cuek penampilan dan tidak peduli apapun. Men-jomblo selama bertahun-tahun, sementara adiknya sudah memiliki banyak sekali mantan-mantan tampan diluar sana.

Satu kebanggaan Ayahnya.

Entah sejak kapan pribadi Nara berubah. Dia sama sekali tidak mengingatnya, apalagi tentang kejadian lima tahun lalu.

"Pekerjaanku lancar, Ibu. Tenang saja, bahkan beberapa agency ingin merekrutku sebagai model mereka hari ini,"

Bisa Ia lihat senyuman puas kedua orangtuanya. 'Sampai kapan aku harus disini,' merasa sedikit bosan.

"Pertahankan terus pekerjaanmu. Bagaimana rasanya bekerja di perusahaan Ayahmu?"

Satu pertanyaan Ibunya sudah cukup membuat Nara menghentikan kegiatan sarapannya. Maniknya menatap Nadine, wanita itu nampak tersenyum tipis. "Tentu saja menyenangkan. Semua pekerjaanku lancar, berkat Ayah."

Menatap Ayahnya yang tersenyum pada Nadine, mengangguk senang. Sebelum akhirnya pandangan mereka bertemu.

Nara berdiri dari posisinya, "Aku berangkat kerja dulu," menggendong tas kesayangannya, menjauh dari meja makan.

"Nara, kau belum menyelesaikan sarapanmu!"

Suara Ayahnya sempat menghentikan langkah Nara, wanita itu hanya berbalik. "Aku sudah kenyang karena roti tadi,"

"Kembalilah dan selesaikan sarapanmu. Adikmu baru saja datang,"

"Tidak apa-apa, Ayah. Kak Nara pasti sibuk dengan pekerjaannya," Nadine menatapnya, "Kakakku kan hebat bisa bekerja sebagai penjaga anak-anak, dia pasti sibuk." Mengulang kalimat itu.

Raut wajah Nara sama sekali tidak berubah, tidak mudah tersinggung karena ucapan Nadine. Wanita itu hanya tersenyum kecil, "Tentu saja." Mendesah dengan sengaja, menatap Ayahnya.

"Oh, iya. Aku harap minggu ini atau bulan depan, Ayah juga akan mempertimbangkanku bekerja di perusahaan Ayah." Menekankan kalimatnya. Membalikkan tubuh,

"Karena selama ini Ayah selalu melarangku untuk bekerja di sana," dengan santai berjalan, tanpa mendengarkan kalimat laki-laki itu selanjutnya.

"NARA!"

.

.

Berjalan keluar dari Apartement elite milik Ayahnya. Kedua tangan itu memegang erat tasnya. Nara kembali memperbaiki letak kacamatanya. Manik itu melirik ke arah pintu, berharap bahwa kata-katanya tadi sudah cukup membuat semua orang di sana bungkam.

"Walaupun pekerjaanku tidak sebagus itu, bukan berarti kalian bisa menghina sepuasnya." Berbisik tipis. Nara tersenyum puas, membusungkan dadanya.

Setelah tadi mengeluarkan semua unek-uneknya, berangkat kerja jadi lebih menyenangkan tentu saja.

"Jangan meremehkanku~" menyandungkan alunan. Satu kemenangan untuknya hari ini.