Rencananya gagal total, melihat sosok Kenan keluar dari ruangan tanpa bicara sama sekali. Menepuk keningnya, merutuki ide yang bodoh tadi.
"Ibu Nara, kenapa Kenan keluar ruangan?!" semua anak-anak mulai bertanya padanya. "A-ah, Ibu bicara dulu sama Kenan. Kalian semua boleh bermain di taman sekarang, oke? Ingat hati-hati jangan sampai terjatuh!" menyelesaikan kelasnya.
"Asyikk!!" anak-anak kompak berlari menuju taman bermain. Sementara Nara mempercepat langkahnya keluar mengejar Kenan. Dia salah apa?!
Alhasil berusaha mendekati Kenan, pemuda kecil itu selalu menghindarinya, tidak mau menatap atau bicara, Hanya berlari saja. Bahkan sampai sore, Nara masih tidak menyerah. Napasnya sempat setengah habis karena mengejar Kenan, dan saat tubuh mungil itu berhenti berlari.
"Kenan!" tubuh Kenan menunduk memegang dadanya yang sesak. Nara tahu sekali kalau Kenan mempunyai penyakit yang cukup serius. Di usianya yang masih kecil. Mungkin karena berlari tadi, sesak napasnya jadi kambuh.
Menhampiri Kenan, tubuh itu terduduk di lantai. Memegang dadanya dengan napas sesak. Nara yang setia membawa tas kecilnya mengambil inhaler, satu benda yang Ia sengaja beli untuk Kenan dengan dosis yang khusus. Beberapa anak-anak yang Ia jaga mungkin mempunyai penyakit tertentu, jadi dia harus siaga.
Memeluk tubuh Kenan, menggunakan Inhaler tersebut agar bisa dihirup oleh Kenan. Melihat wajah mungil itu sesak napas membuat Nara sakit tentu saja. Tidak tega, "Tahan napas sebentar," saat napas pemuda kecil itu membaik.
Nara mendesah panjang, menaruh kembali Inhalernya, membenarkan posisi Kenan. Menatap kedua manik Ambernya. "Kenan tidak apa-apa?" bertanya lembut.
Mengangguk singkat, sosok itu berniat bangkit. Tapi terhalang oleh tangan Nara. Kali ini Nara tidak akan diam, melihat kondisi Kenan tadi. Kedua tangannya bergerak menggendong tubuh Kenan.
"I-Ibu Nara mau apa?" Kenan berjengit shock, sedikit memberontak.
"Sekarang Ibu Nara mau nemenin Kenan istirahat," sebelum Kenan dijemput, setidaknya dia harus menenangkan anak ini. Masalah anak-anak lain sudah Nara serahkan pada temannya.
.
.
Mengajak Kenan ke ruang kesehatan, menempatkan tubuh mungil itu diatas kasur empuk. "Sekarang Kenan istirahat di sini," saat dirinya berniat menjauh, siapa yang mengira tangan Kenan bergerak menggenggam tangannya.
"Ibu Nara mau kemana?" bertanya tipis.
'Manisnya~' tidak bisa menahan senyumannya. "Ibu hanya mau membuatkan Kenan susu hangat saja, mau?"
Kenan hanya mengangguk malu, melepaskan genggamannya. Membiarkan Nara bergerak menuju tempat khusus untuk membuat minuman. Melirik dengan ekor matanya, sosok mungil itu masih menunduk. Mengayunkan kedua kaki dan menggerakkan tubuhnya.
Sekilas bisa Ia lihat pandangan Kenan terarah menuju kaca jendela. Dimana teman-temannya tengah bermain di taman.
"Kenan suka susu yang manis?" bertanya lagi.
"Suka," dijawab cepat dan singkat. Bukannya kesal, Nara justru terkekeh. "Baiklah,"
Tidak butuh waktu yang lama, Nara membawa dua gelas minuman. Teh lemon untuknya dan satu gelas susu hangat untuk Kenan, lengkap dengan kue-kue manis. Menaruh nampan itu diatas meja, memberikan segelas untuk Kenan.
"Ayo minum, hati-hati sedikit panas. Ditiup dulu," memperingati Kenan.
"Terimakasih, Ibu Nara," bahkan anak ini tidak lupa mengucapkan terimakasih. Hha, sangat menggemaskan. Bagaimana bisa Nara kesal dengan tingkah lakunya?
Pandangan Kenan masih terarah keluar, "Hm, kalau Ibu boleh tahu, kenapa Kenan tiba-tiba lari tadi?" bertanya dengan halus. Tubuh itu menegang, mengalihkan pandangannya menatap gelas susu yang Ia pegang.
Nara menaruh gelas minumannya, mengelus rambut Kenan lembut. Tersenyum kecil, "Kalau memang Kenan tidak mau jawab tidak apa-apa, Ibu Nara tidak memaksa."
Kenan masih bungkam, enggan menyesap susunya. Membiarkan elusan lembut di kepalanya. "Ibu Nara hanya ingin Kenan mau bermain dengan teman-teman. Tahu tidak kalau semuanya ingin sekali bermain dengan Kenan."
Satu kalimatnya sanggup membuat wajah itu terangkat, menatapnya. "Semuanya?" bertanya dengan polos.
Nara mengangguk kecil, "Tentu saja,"
"Kukira mereka benci sama Kenan," tiba-tiba berbicara panjang lebar. Alis wanita itu terangkat heran.
"Benci? Kenapa?"
Kedua tangan mungil itu nampak menggosokkan jemarinya di gelas yang hangat, sedikit ragu, "Karena Kenan diantar dengan mobil tiap pagi, di tempat Kenan yang dulu semua tidak suka itu,"
Anak jaman sekarang? Pemikiran mereka sepertinya sudah hebat sekali. Nara menggeleng kecil.
"Semua tidak suka, semua nganggep kalo Kenan itu sombong, bahkan Ibu guru di sana juga gitu. Semua perhatian tertuju sama Kenan, Kenan dibenci," sosok mungil itu merengut, menahan tangisannya.
'Hh, pantas saja,' membatin sekilas, menjauhkan tangannya. Nara bergerak menggenggam jemari Kenan. Tersenyum lebar.
"Mulai sekarang Kenan tidak perlu berpikir seperti itu lagi, semua anak-anak di sini super baik hati. Ibu Nara akan selalu menjaga Kenan di sini. Jangan takut,"
Manik Amber itu menatapnya ragu, "Benar?"
"Ibu Nara sudah menganggap kalian semua, anak-anak Ibu. Kenan tidak perlu takut lagi, di sini berbeda dengan tempat Kenan dulu, kalau Kenan ada masalah atau takut. Kenan boleh bercerita sama teman, atau dengan Ibu Nara."
Melihat tubuh Kenan gemetar, pemuda kecil itu mengangguk paham. Mencoba mempercayainya,
"Mau Kenan pakai mobil mewah, bahkan pakai sepeda gayung ke sini. Ibu Nara akan tetap sayang kalian semua," kali ini berdiri dengan kedua tangan berkacak di pinggang, menampakkan wajah percaya diri. Membetulkan kacamatanya.
Tersenyum memperlihatkan giginya, "Kalau ada yang berani mengganggu kalian semua, Ibu Nara akan datang menolong!" Satu kalimat terakhirnya, ternyata mampu merobohkan pertahanan Kenan. Pemuda kecil itu tersenyum tipis, mengangguk paham.
Itu sudah cukup untuk Nara. Walaupun dia masih sedikit penasaran kenapa Kenan lari saat dia mencoba membahas masalah keluarga.
.
.
Di tempat lain-
Sosok tegap lengkap dengan setelan baju hitamnya, manik berwarna hitam legam itu terfokus menatap komputerya, beberapa berkas yang belum sempat Ia tandatangani masih menggunung di sebelahnya. Sesekali menarik napas dan memijat bagian tengah keningnya pelan.
Meninkmati sejenak ruangan dengan desain modern dan pemandangan di luar sana melalui kaca jendela besar.
Merasa sedikit pening karena sejak tadi selalu sibuk dengan rapat, diskusi ke sana kemari, berkas menggunung dan laporannya. Tidak pernah selesai.
Bahkan saat jam menunjukkan pukul 6 sore, dia masih tidak sadar.
"Dummy, aku masuk." Sebuah ketukan singkat terdengar, tanpa menunggu respon sang pemilik ruangan. Pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita dengan balutan baju kerjanya yang modis. Baju merah berkerah dan rok pendek berwarna hitam.
"Hh, jangan seenaknya mengganti namaku sembarangan, Melly." Masih dengan pandangan tertuju ke arah luar, membiarkan sosok wanita diambang pintu masuk dan mendekatinya.
"Kau lihat jam berapa sekarang, jangan bilang kau melupakan Kenan?" mengingatkan.
Tersentak, reflek menatap ke arah jam. "Hh, aku tidak sadar," berdecak, memijat kepalanya. Seolah lupa bahwa bodyguardnya tidak bisa menjemput Kenan karena ada urusan penting
"Aku yang akan menjemputnya, kau fokus saja dengan tugasmu. Sebentar akan kuajak Kenan ke sini, lalu kita makan malam bersama, deal?" memberikan solusi. Setelah menimbang selama beberapa saat.
"Baiklah, jangan mengajaknya kemana-mana lagi." Mencoba fokus kembali dengan tugasnya, tidak sadar saat wanita itu bukannya keluar ruangan justru berjalan mendekatinya.
Rambut hitam yang lurus dan panjang, tertata sempurna, lekukan body, bibir sedikit tebal, senyuman anggun lengkap dengan makeup khusus tanpa menyembunyikan warna matanya yang kecoklatan. Mellyana Sandita Puja. Idola di perusahaan ini selama beberapa bulan lebih. Siapa yang tidak jatuh cinta jika melihatnya?
"Dummy, bagaimana kalau kita-"
Kecuali, sosok tampan bertubuh tegap nan dingin di depannya. "Kau belum berangkat?" mengabaikan posenya yang super sempurna. Arkana Damian Ezra. Sosok bak patung berjalan yang seolah mengabaikan penampilannya sampai sekarang.
Oke, Melly belum menyerah. Justru melihat sifat dingin dan cuek laki-laki itu membuatnya bergairah-ehem-maksudnya senang.
"Astaga kau tidak berubah sama sekali, mau di Surabaya atau Jakarta selalu cuek dan sibuk,"
Sosok tegap itu menatap tajam, "Melly, kau mau jemput Kenan atau tidak?" memberikan peringatan. Tapi wanita di depannya terkekeh pelan, memberikan kecupan jarak jauh.
"Hahaha, baiklah aku jemput dia sekarang. Ingat janjimu nanti malam, oke?" meninggalkan ruangan dengan santai.
Kembali menghela napas panjang, merasakan lelah yang cukup signifikan. Hari ini seperti biasanya, dia bahkan tidak bisa pergi kemana-mana. Semua penuh dengan pekerjaan.
Bahkan sekedar menjemput putra sulungnya saja tidak bisa, menyenderkan tubuhnya. Salah satu tangan laki-laki itu terangkat menutup setengah wajahnya. Saat manik berwarna legam itu melirik kearah sebuah pigura kecil diatas meja, sengaja Ia tempatkan disana.
Sebagai penyemangatnya, sebuah senyuman tipis tersungging, ditambah mengingat kejadian tadi pagi yang cukup membuat semangat dan moodnya naik dengan cepat.
"Hh, aku bahkan belum sempat menyiapkan rencana yang matang,"
Arkana Damian Ezra, mungkin banyak orang mengagumi kinerja dan ketampanannya. Menjadi seorang Chief Executive Office diusianya yang cukup matang, 35 tahun. Memiliki semuanya. Kekayaan yang berlimpah karena hasil kerja kerasnya sendiri, membangun perusahaan Ayahnya yang sempat bangkrut enam tahun tahun lalu sampai sukses.
Memiliki banyak kolega-kolega baik nasional atau internasional, membuat namanya sering disebutkan dalam berita. Sosok tegap dengan potongan rambut pendek dengan sedikit bulu bulu tipis yang tumbuh di daerah dagunya. Terkesan dandy dan maskulin.
Sifatnya yang dingin justru menjadi sorotan publik, banyak wanita yang tergila-gila karena itu. Arka sendiri tidak begitu paham. Bukannya bergerak menjauh atau takut, mereka malah suka. Ditambah lagi dengan kenyataan dia sudah memiliki satu putra, tidak menyurutkan niat para wanita itu untuk memiliki atau bahkan mengklaim sebagai Ibu putranya.
Termasuk sosok Melly tadi-
'Maaf Ayah tidak bisa menjemputmu,' membatin sekilas, kali ini setelah urusan komputer. Telepon kantornya kembali berdering.
"Lima menit lagi rapatnya akan dimulai, Tuan." Suara dari seberang sana mengingatkannya.
"Sebentar lagi saya akan kesana,"
"Baik,"
Sampai saat ini pun tidak ada yang mampu menarik hatinya, dia hanya punya dua tujuan yang harus dilakukan. Mengenai Kenan dan Ibunya-