"Aku tidak percaya ini," Vayyu menggeram. Dia terus menoleh-noleh ke sekitar dengan kesal. Dia berjalan di samping Kaisser yang baru mendaki tangga melingkar penjara segel.
Pertarungan antara Vayyu dan Sarvati sudah dihentikan. Sarvati terpaksa mematuhi isyarat yang diberikan atasannya tadi. Menyebalkan. Padahal Sarvati sudah berniat memanggang hidup-hidup kadal biru bernama Vayyu itu.
"Tentang lamanya kau terkurung atau kau tidak percaya dirimu sudah salah hitung?" sindir Kaisser.
"Semuanya! Terutama soal salah hitung! Bagaimana mungkin aku bisa salah menyangka 27 tahun menjadi 9 tahun?"
"Mungkin Varana Mokhsa mempercepat pemikiranmu tiga kali lipat."
"Cih," Vayyu mendesis. Dia melirik Sarvati, "lagipula apa sih yang terjadi? Rahnuc itu siapa? Kenapa dia bisa sampai membuat dunia seperti ini?"
Sarvati sesungguhnya masih heran dengan tingkah Vayyu. Gerak-geriknya memang benar-benar seperti kebingungan sampai melupakan pertarungan barusan. Kalau dia membicarakan tentang keanehan penjara segel, itu lebih masuk akal. Tapi Vayyu membicarakan soal dunia.
Bagaimana caranya dia bisa merasakan keanehan dunia dari penjara segel yang dipenuhi aura yang begitu membebani ini? Lagipula apa maksudnya dengan aneh? Dia bahkan belum melihat para golem ataupun mendung tiada akhir.
"Tidak ada yang tahu siapa Rahnuc sebenarnya," Kaisser menggeleng. "Yang kami tahu, mendadak ada seekor nagga yang mengamuk menyebarkan kegelapan kemanapun dia pergi. Yang kami tahu, pertama kali dia muncul, dia menyebarkan penyakit di sebuah desa manusia jauh di barat. Dia sepertinya berkeliling dunia mengumpulkan pusaka-pusaka keji yang kekuatannya dia gunakan untuk mengacaukan dunia. Lalu Rignil memenggalnya setelah pertempuran sengit.."
Vayyu memicing, "Pusaka... maksudmu vasavi?"
"Mungkin."
Sarvati mengernyit. Dia pernah mendengar istilah itu. Vasavi ini semacam istilah yang digunakan para nagga untuk menyebut benda pusaka. Akan tetapi, kadang seolah kedua benda itu berbeda. Mungkin vasavi adalah benda pusaka tertentu.
Seolah menyadari raut keheranan di wajah Sarvati, Vayyu menyeringai, "Vaardict, kau tidak mengajari apa-apa pada cecunguk ini?"
Kaisser menoleh pada Sarvati, "Selama ini kukira kau tahu. Contohnya pedang yang dibawa Rignil itu."
Sarvati menggeleng, "Saya hanya tahu Sygnun adalah sebuah pusaka untuk kesatria terpilih. Tapi sejujurnya saya tidak tahu apa kekuatan sebenarnya dari pedang itu. Kami hanya meyakini kekuatan sebenarnya muncul ketika Rignil mengalahkan Rahnuc."
Vayyu tergelak, cakar bagian telunjuknya menunjuk ke langit, "Kau bilang ini mengalahkan? Kalian yakin kalau kalian bukan sebenarnya malah melepas kekuatan sebenarnya dari dia. Rignil… pahlawan macam apa itu?"
"Tutup mulutmu, Wissn."
"Aku tidak akan menutup mulutku Vaardict," Vayyu mengoceh. Dia berhenti mendaki tangga dan bersandar di dinding tanah. Matanya menatap sinis pada Sarvati yang balas menatap dengan marah.
Berani-beraninya dia menghina Rignil.
"Manusia… nagga… kalian semua sama saja," kata Vayyu. "Kalian tidak pernah berusaha mengerti apa yang menjadi dasar dari semesta ini. Selalu saja merasa kalian dan semesta adalah hal yang terpisah tanpa pernah menyadari bahwa kalian sendiri adalah bagian dari semesta ini."
"Kau bicara seolah kau menganggap dirimu sendiri bukan nagga," Sarvati mendesis.
"Bukan aku, tapi mereka yang tidak pernah menganggap kami bagian dari mereka."
Lidah Sarvati kelu. Kata-kata itu begitu mengena di lubuk hatinya. Dibuang dan tidak diakui oleh sekitar adalah hal yang menyakitkan. Sarvati tahu benar rasanya. Namun, dia dan Vayyu berbeda. Sarvati selalu berusaha untuk bisa diterima, tetapi Vayyu sendiri adalah kriminal. Hal wajar jika dia dibuang oleh yang lainnya.
"Kau tahu bagaimana semesta ini dibentuk?" tanya Vayyu pada Sarvati.
"Para manusia menganggap bahwa dunia ini dibentuk dari pertempuran penguasa cahaya dan kegelapan. Sementara kita para nagga menganggap semesta ini terbentuk dari pengorbanan pada dewata."
Vayyu mengangkat sebelah alisnya, "Aku tidak menanyakan soal manusia. Lagipula orang-orang Anggralus itu bukan satu-satunya manusia." Dia cengar-cengir dengan sinis, "Pengetahuanmu sempit. Vaardict cuma melatih ototmu, ya?"
Sarvati menggenggam erat kedua pedangnya, Aggni dan Zhurron, "Kalau kau cuma ingin melecehkan kami, lebih baik kita lanjutkan pertempuran kita tadi sampai aku berhasil memotong lidah bercabangmu. Buat apa semua pembicaraan mengenai terlahirnya dunia?"
"Penciptaan semesta, bukan dunia! Karena ketidaktahuan kalian itu yang mungkin menjadi akar masalah semua ini," Vayyu menggeram. "Aku tidak mau mengatakan bahwa anggapan para nagga dan manusia dari tenggara jauh adalah yang paling benar, tapi setidaknya anggapan mereka mungkin bisa dibenarkan karena adanya para vasavi."
"Vasavi?" lagi-lagi kata itu didengar Sarvati.
"Ada bagian yang tidak kau ketahui tentang mitos penciptaan dunia. Ada arsip-arsip kuno yang menjelaskan bagian puisi yang hilang. Kutanya padamu, saat mengorbankan dirimu untuk sesuatu, apa yang mungkin kau rasakan?"
Sarvati enggan menjawab dan hanya melotot pada Vayyu. Mereka saling menatap sampai Kaisser berdeham.
Dengan terpaksa, Sarvati menjawab, "Tidak tahu. Yang jelas aku hanya akan mau berkorban jika aku bisa melakukannya dengan tulus."
Vayyu tersenyum. Sarvati tidak yakin jika itu senyum puas, sinis, atau mengejek.
"Itu hanya salah satu dari berbagai bentuk emosi yang ada," katanya. "Saat kau berkorban, berbagai emosi akan berkecamuk di hatimu. Kita yang hidup merasakan itu, begitu pula para dewata atau siapapun yang menjadi sumber terlahirnya semesta ini."
Sarvati masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Vayyu, tetapi dia diam saja dan membiarkan Vayyu terus mengoceh.
"Emosi itu, mimpi itu, semua terlarut dalam esensi energi yang berputar bersama dunia. Emosi serupa saling tarik menarik, sisa-sisa angan pengorbanan itu memusat menjadi satu dan menyebar ke berbagai titik di dunia. Mereka itu yang disebut sebagai pusaka bernama vasavi."
Andai Kaisser yang menjelaskan pada Sarvati, dia pasti memercayai hal ini. Masalahnya, Vayyu membuat semua ini terkesan bagai omong kosong belaka.
"Mereka bukan pusaka biasa. Ada angan semesta yang terkumpul di sana," Vayyu lalu menunjuk langit, "Angan macam itu, terutama yang bersifat keji, perlu inang. Akan tetapi, saat kekuatannya terkumpul cukup banyak dari memangsa emosi dan rasa sakit, mereka tidak perlu inang lagi. Benda macam itu lah yang telah kalian lepaskan dengan sembarangan membunuh Rahnuc."
Dia menoleh pada Kaisser, "Setidaknya itu yang aku simpulkan dari keadaan langit dan ceritamu tadi."
"Kau lihat apa di langit?" tanya Kaisser. Dia tidak sedikitpun tampak meragukan Vayyu. Apa itu artinya semua cerita ini benar?
"Hal yang mata semu kalian tidak bisa lihat."
Kaisser menepuk tangan sinis, "melepaskanmu memang bukan pilihan yang salah."
"Cih, jadi tugasku ini membereskan kekacauan yang kalian sebabkan, bukan?"
"Tentu saja."
Vayyu melirik Sarvati, "Dia pengawalku? Dia lebih cocok jadi putri yang dinikahkan pada raja manusia untuk perjanjian politik."
Api langsung membara pada Aggni dan Zhurron. Sarvati sudah siap menyerang. Namun, Vayyu mendadak berkilah, "Setidaknya api sucimu ada gunanya, cecunguk jingga."
"Sebaiknya kalian jangan berkelahi lagi," Kaisser coba menengahi. "Aku rasa bukan hal baik membiarkan Drakko menunggu terlalu lama."
"Sejak kapan bocah tengik itu jadi tidak sabaran."
"Bukan dia, tapi para pengawalnya. Lagipula terlalu berisiko membiarkan dia terlalu lama di luar, jangan lupa dia sekarang Kaisar Naga."
Vayyu mendengus dan berjalan mendaki tangga lebih cepat. Sarvati cukup mengherankan bagaimana dia bisa seenaknya memanggil Kaisar Drakko dengan sebutan macam itu. Selain itu, dia mendadak jadi sedikit lebih penurut. Mungkin dia sebenarnya masih berusaha sopan di hadapan Sang Kaisar.
Atau bisa saja sebenarnya dia cukup gembira melihat Kaisar menyambut kriminal macam dirinya. Buktinya dia berjalan lebih cepat daripada Kaisser, seperti terburu-buru bersemangat.
Namun, semua dugaan positif itu menghilang ketika Vayyu mencapai puncak tangga melingkar.
Vayyu mengangkat tangan kanannya tinggi. Lidah bercabangnya menjulur keluar dan melambai-lambai ke atas bagai meledek saat dia berseru, "Woy, bocah tengik, sudah besar kau sekarang. Ayo berkelahi, kubuat kau babak belur!"
"Lancang lidahmu naga terkutuk!"
"Kalian semua pengawalnya si bocah tengik ini? Ayo maju semua!"
"S-sudah, kalian semua tenang sedikit."
"Biarkan mereka mengamuk, bocah tengik, aku perlu pemanasan!"
Sarvati menghentikan langkahnya dan bergidik saat Vayyu menerjang dan memulai keributan di atas sana.
Kaisser menatapnya heran. Dia bertanya, "Kau tidak apa-apa, Letnan?"
Kini Sarvati menyadari kenyataan dari sinyal helaan napas Jendral Kaisser. Sejujurnya, jika tidak mengingat cita-cita Rignil, Sarvati mungkin sudah melepas tugas ini. Lebih baik baginya menghadapi Rahnuc seorang diri dan tewas daripada harus mengawal kadal biru kurang ajar macam itu.
Tapi… dia harus melakukan ini demi dunia, demi Rignil.
Masalahnya Vayyu itu sudah keterlaluan tingkahnya. Bagaimana caranya Sarvati bisa menahan diri selama perjalanan untuk tidak mengamuk?
Ah sudahlah. Jalani saja dulu.