Dikarenakan Dae Hyun tidak bisa menjaga dan menjenguk Soo Yin setiap hari. Ia memutuskan untuk membawa istrinya pulang ke villa Pyeongchang-dong.
Selama dua pekan ke depan dirinya akan kembali ke luar kota. Menurutnya Soo Yin lebih aman jika dirawat di rumah. Para dokter melarang apa yang akan dilakukan Dae Hyun karena dapat membahayakan nyawa gadis itu. Namun pria itu tetap bersikeras, merasa yakin kalau istrinya akan lebih cepat sadar jika berada di rumahnya.
Meski dibawa pulang namun Dae Hyun menyewa peralatan medis dan semua keperluan yang diperlukan untuk kesembuhan Soo Yin. Tidak lupa juga sudah membayar perawat dan dokter yang harus siap setiap saat merawat Soo Yin.
Dae Hyun juga sudah memastikan jika keluarganya tidak ada yang tahu mengenai hal ini. Dia mengatakan kalau Soo Yin dipindahkan ke luar kota.
Sore ini Dae Hyun akan berangkat ke pulau Nami. Sudah lama resort yang dikelola oleh adiknya terbengkalai sehingga harus ke sana sekarang juga. Sebenarnya hatinya sangat dilema saat ini. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena Park Ji Hoon sudah mempercayakan tanggung jawab padanya.
Sebelum berangkat Dae Hyun menyempatkan diri untuk menjenguk istrinya. Membersihkan tubuhnya menggunakan air hangat. Memijat lengan dan kakinya dengan lembut.
"Sayang, cepatlah bangun. Aku masih menunggu janji yang harus kau tepati, kuharap kau tidak melupakannya," ujar Dae Hyun sembari tersenyum hampa. Meski tersenyum namun hatinya teramat sedih. Mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Soo Yin yang pucat. Tubuhnya sekarang nampak lebih kurus.
"Maafkan aku, dua pekan ke depan kita tidak bisa bertemu karena aku harus mengurus resort yang ada di pulau Nami. Doakan aku agar semuanya berjalan dengan lancar. Cepat bangun, agar aku bisa mengajakmu ke sana."
"Sayang, kau tidak perlu khawatir kita hanya berpisah sebentar saja. Aku tidak akan berbuat nakal dan melirik wanita lain, aku janji." Dae Hyun mengaitkan jarinya di jari kelingking Soo Yin.
"Sayang, cepatlah buka matamu. Aku berjanji akan melakukan apapun yang kau minta," ujar Dae Hyun sembari meremas jemari istrinya dengan lembut.
"Aku akan menunjukkan kepada dunia bahwa kau adalah istriku jika saat ini juga kau memintanya."
"Tolong jangan tinggalkan aku," ucap Dae Hyun dengan lirih.
"Aku mohon, bangunlah sebelum aku kembali." Dae Hyun mengecup kening Soo Yin beberapa detik dengan lembut. Merasakan sentuhan bibirnya di dahi gadis itu.
Selama seminggu Soo Yin tertidur, Dae Hyun tidak pernah bosan untuk mengajaknya bicara. Jika malam sebelum tidur ia bahkan selalu membacakan sebuah cerita romantis untuk istrinya.
Bibi Xia yang sering kali menyaksikan Dae Hyun seperti itu tanpa sadar selalu meneteskan air mata. Meski Dae Hyun tidak pernah menangis namun Bibi Xia dapat merasakan kesedihan yang teramat dalam setiap melihatnya.
"Bibi, aku titip istriku. Jika ada sesuatu yang terjadi, tolong hubungi aku segera," ucap Dae Hyun pada Bibi Xia yang berdiri di dekat ranjang.
"Iya, Tuan." Bibi Xia segera menyeka air matanya.
Tiba-tiba saja ponsel Soo Yin berdering. Dae Hyun segera mengambilnya dari atas nakas. Ternyata Kim Nam yang kini tengah menghubunginya. Dae Hyun sejenak ragu untuk menjawabnya namun ponsel terus berdering berulang kali. Hingga akhirnya terpaksa menjawab panggilannya.
"Hallo, Soo Yin," ujar Kim Nam di telepon.
Lama Dae Hyun tidak menjawab sapaan mertuanya. Dirinya tidak tahu apa yang saat ini harus dikatakan saat ini.
"Soo Yin, apa kau mendengarkan ayah?" ujar Kim Nam dengan rasa khawatir karena tidak ada jawaban dari putrinya.
Dae Hyun menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Ayah, ini aku."
"Dimana Soo Yin? apakah dia baik-baik saja?" tanya Kim Nam. Ada rasa cemas yang dirasakanmya sehingga ingin menghubungi putrinya.
"Soo Yin baik-baik saja. Bagaimana kabar Ayah?"
"Kabarku baik-baik saja, aku hanya merindukan Soo Yin. Sudah lama kami tidak mengobrol," ujar Kim Nam dengan suara yang terdengar senang.
"Soo Yin sedang mandi, nanti akan kuberitahukan padanya jika Ayah menelepon."
"Dae Hyun, terima kasih sudah menjaga putriku dengan baik. Saat beberapa waktu lalu kami mengobrol Soo Yin terdengar ceria," ujar Kim Nam.
Seketika dada Dae Hyun terasa begitu sesak mendengar penuturan mertuanya. Merasa sudah gagal menjaga amanahnya. Ia bahkan tidak bisa menjaga istrinya.
"Seharusnya aku yang berterima kasih karena Ayah sudah percaya padaku," ujar Dae Hyun dengan nafas yang begitu berat.
"Baiklah, maaf jika Ayah menganggu kalian." Kim Nam merasa tidak enak takut mengganggu mereka.
"Tidak apa-apa, aku senang mengobrol dengan Ayah."
Setelah mengobrol beberapa menit akhirnya Dae Hyun memutuskan sambungan telepon.
"Ada Pak Kim tidak tahu kondisi Nona Soo Yin, Tuan?" tanya Bibi Xia.
"Aku tidak sanggup untuk mengatakannya, aku takut membuatnya sedih," ujar Dae Hyun dengan wajah sendu. Tidak tahu apa yang diperbuatnya kali ini, entah salah ataupun benar. Bisa saja jika Soo Yin terbangun mungkin akan memarahinya. Bukan maksud untuk menyembunyikan keadaan Soo Yin, namun dirinya belum sanggup bertatap muka dengan mertuanya.
Dengan berat hati Dae Hyun harus meninggalkan Soo Yin untuk sementara waktu. Sebentar lagi harus berangkat menuju bandara agar tidak terlambat. Meski hanya dua minggu berpisah namun baginya itu akan terasa sangat lama.
🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀
Seminggu kemudian ...
Tubuh Soo Yin yang masih terbaring lemah di ranjang seketika bergetar hebat. Seperti merasa kesakitan yang teramat hingga tubuhnya kejang-kejang.
Bibi Xia yang tidur di kursi di samping Soo Yin langsung terbangun saat gadis itu memegang pergelangan tangannya dengan erat. Hingga kuku gadis itu menancap di kulitnya. Wanita paruh baya itu sangat takut melihat keadaan Soo Yin saat ini.
Bibi Xia bingung harus berbuat apa di tengah malam seperti ini. Biasanya ada seorang perawat yang menemaninya untuk menjaga Soo Yin. Namun malam ini perawat itu meminta izin untuk pulang lebih awal karena ibunya sedang sakit.
"Chung Ho, cepat panggilkan Dokter Eun Ji!" teriak Bibi Xia pada Chung Ho yang diingatnya bertugas berjaga di luar kamar.
Chung Ho yang terkejut langsung bangkit dan bergegas masuk ke dalam kamar Soo Yin.
"Ada apa, Bibi?" tanya Chung Ho yang masih belum terlalu sadar dari tidurnya.
"Cepat telepon Dokter Eun Ji sekarang juga!" teriak Bibi Xia yang histeris.
Chung Ho segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Dokter Eun Ji.
Soo Yin merasa sedang berjalan di suatu lorong yang sangat gelap. Merasa kebingungan mencari arah untuk berjalan karena tidak ada cahaya sama sekali. Gadis itu terus saja meminta tolong hingga akhirnya menemukan cahaya kecil yang tidak begitu terang. Perlahan bangkit dengan meraba-raba dinding sambil berjalan mengikuti arah sinar. Namun sinar itu kembali menghilang dan keadaan kini semakin gelap gulita.
Soo Yin merasa sangat ketakutan hingga meneteskan air mata. Ia sangat takut di tempat gelap seperti itu. Tidak ada orang sama sekali di sana. Membuat Soo Yin merasa putus asa.
Melihat Soo Yin yang mengeluarkan air mata, Bibi Xia mengulurkan tangannya untuk mengusapnya. Sejak tadi cengkeramannya tidak terlepas sama sekali dari tangan wanita paruh baya itu.
"Bibi, apa yang terjadi dengan Nona?" ujar Chung Ho yang baru saja menyelesaikan panggilannya.
"Entahlah, bibi tidak tahu," ujar Bibi Xia dengan tangan gemetar. Sangat takut terjadi hal yang buruk.
Setengah jam kemudian akhirnya Dokter Eun Ji datang sembari membawa berbagai macam peralatan medis di tasnya. Mulai memeriksa keadaan Soo Yin seperti matanya, mulutnya, dan suhu tubuhnya yang memang dingin.
Gadis itu seperti menggigil dan terus menggelinjang tanpa membuka matanya. Seolah-olah merasakan sakit yang teramat hingga keringat dingin keluar dari tubuhnya.
Bibi Xia yang panik dan takut terjadi sesuatu segera menghubungi Dae Hyun. Belum sempat mengatakan apa yang terjadi Dae Hyun tiba-tiba sudah menutup panggilannya.
Bibi Xia segera kembali ke dalam untuk melihat keadaan Soo Yin. Membelalakan mata saat melihat Dokter Eun Ji mulai melepaskan selang pernapasan yang digunakan Soo Yin untuk membantu bernapas selama gadis itu koma. Dokter Eun Ji juga melepaskan semua peralatan medis yang menempel di tubuh gadis itu.
Wanita paruh baya itu sungguh tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Semua itu terasa seperti mimpi.