Sebelum masuk ke rumah, Starla mengecek garasi apakah ada mobil kedua orang tuanya. Ia bersorak gembira mengetahui hanya ada motor Denis di sini. Ia keluar dari garasi, mengecek depan pintu rumah apakah ada mobil juga, bertepuk tangan mengetahui di sana tidak ada apa-apa.
Starla melenggang menuju rumahnya berada sambil bersenandung kecil.
Tidak ada Denis dan kedua orang tuanya, ia bisa dengan tenang berbicara dengan Arthur.
"Assalamu'alaikum... eh?" Starla memberikan salam namun langkahnya terhenti di depan pintu tak kala melihat seorang wanita paruh baya berdiri di dalam dengan tangan terlipat di dadanya, di sampingnya ada Arthur yang memandangnya dengan tatapan iba. "Ibu... !?" serunya syok.
Bagaimana bisa? Padahal mobil orang tuanya tidak ada di rumah.
Mata cokelat Ibunya menyipit. "Wa'alaikumussalam," sahutnya tenang. "Bagaimana sekolah hari ini, Starla?"
"Eh?" Starla sedikit terkejut, ia sempat mengira Ibunya akan marah ternyata tidak? Mungkin ia terlalu jauh berpikir. "Di sekolah menyenangkan, Ma," ia memberanikan diri mendekat, lalu mencium tangan Ibunya.
"Mama juga berpikir seperti itu," sahut Ibu Starla, kemudian dengan senyum manisnya berkata. "Hari ini kan Starla naik bus, siapa yang tidak senang?"
Tertangkap basah.
"Nyonya Rosa, maaf jika saya lancang, tapi bukankah lebih baik dengarkan alasan Nona Starla terlebih dahulu?" Arthur mencoba menjadi penengah di antara mereka.
"Aku tidak mengerti apa yang Mama bicarakan," Starla mencoba bersikap polos.
Ibunya menepuk keningnya. "Mama cuma pergi selama tiga hari, dan kau dan Denis merencanakan ini, Mama kecewa padamu, Starla."
"Aku kan hanya naik bus Ma, bukan melakukan kejahatan," kata Starla. "Aku bahkan mendapat teman baru, dia baik padaku loh, Ma." ia mencoba membujuk dengan bercerita sisi positif perbuatannya.
"Mama tahu, hanya saja keamananmu paling terpenting." kata Ibunya tenang.
"Tapi itu bukan terpenting untuk aku, Ma." Starla mengeluarkan perasaan yang sudah lama dipendam olehnya. "Aku hanya ingin naik bus, bermain bersama teman-temanku, bahkan mendapat teman baru... apakah itu salah di mata, Mama?" tanyanya sendu.
Ibunya mengembuskan napasnya, "Tentu Mama mengerti, Mama juga pernah muda sepertimu. Normal jika Starla mulai ingin bermain-main atau tertarik pada lelaki tapi akan lebih baik jika kau ajak mereka naik mobil juga."
Mata Starla menyipit tidak suka. "Maksudku bukan itu Ma," katanya.
"Yo, ramai-ramai apa ini?" suara santai Denis menghentikan perbincangan mereka. "Ehh... Mama," katanya gugup. "Mama pulang pakai apa? Aku tidak melihat mobil Mama di luar."
"Apakah tidak pernah mendengar taksi?"
"Ah," Denis menjadi malu. "Ya, kalau begitu aku mau ke kamar, mau mengerjakan PR." ia berusaha kabur.
"Denis, kembali ke sini," kata Ibunya. "Kau pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan pada Mamamu ini, hm?"
"Eh, tidak Ma," sahut Denis. "Motorku rusak jadi terpaksa membawa mobil,"
"Sudah ke sini," perintah Ibunya.
Denis menurut akhirnya tak ingin menambah keruh suasana.
"Kau tahu kenapa kau di sini?" tanya Ibunya.
"Aku langsung saja ke intinya, Ma." kata Denis. "Aku dan Kak Starla tidak melakukan hal yang di luar batas kewajaran."
Starla terkejut Denis juga membelanya padahal tadi ia sempat berpikir Denis akan menyelamatkan diri sendiri dengan alasan motor mogoknya tadi.
"Dengan membahayakan Kakakmu?" tanya Ibunya.
"Aku tahu mana yang baik dan buruk. Kak Starla cuma gadis biasa, dia juga punya hak yang sama sepertiku." kata Denis. "Yang dia minta hanya naik bus, Mama lihatlah Kak Starla sudah dewasa, berumur enam belas tahun, ya ampun. Berilah Kak Starla sedikit bernapas."
"Denis..." Starla terpesona mendengarnya, ia tidak tahu kalau Denis berpikir begitu dalam tentang dirinya.
"Denis, kau tidak tahu soal ini," kata Ibunya. "Aku dan Papamu memutuskan sesuatu yang baik bagi Kakakmu."
"Sungguh?" kata Denis sedikit meremehkan. "Apakah Kak Starla terlihat baik di matamu sekarang, Ma?"
Starla langsung memasang ekspresi wajah sesedih mungkin memberitahu perasaannya pada Ibunya.
Ibunya berpikir sesaat, hatinya terbagi dua saat ini, antara logika dan hati nurani sebagai seorang Ibu, ia bukanlah orang yang setega itu pada anak-anaknya akan tetapi, situasi memaksanya membuatnya membuat batasan pada anaknya.
Yang Ibunya inginkan hanya ia tidak ingin menyaksikan lagi Starla depresi lagi, atau Denis terjerumus pergaulan yang tidak-tidak.
"Sudah, Denis. Sudah cukup." Starla berkata sambil menepuk keningnya, ia menyerah, ia lelah meyakinkan Ibunya, saat ini ia hanya ingin di kamar, beristirahat. "Mama, ya aku salah, maafkanlah Denis," sesalnya. "Dan juga maafkan aku yang hanya ingin jadi manusia biasa bukanlah Starla Annora." setelah mengatakannya, ia berlari ke atas sambil menahan tangisnya.
Rosa yang sudah lama tidak melihat Starla menangis, tergugah hatinya; mungkin ia dan suaminya terlalu keras?
"Aku juga ke kamar kalau begitu," kata Denis. "Aku hanya ingin bertanya padamu Ma. Kalau Mama dan Papa tetap memperlakukanku dan Kak Starla seperti ini, kalian akan kehilangan kami." ungkapnya, wajahnya berubah sedih. "Aku rindu Mama yang dulu."
Rosa tersentak mendengarnya, lalu tertunduk dalam.