Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku.
"Argghhh!"
"Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"
Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.
Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.
Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.
Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini, Evan juga memiliki akun instagram yang tidak diprivat sama sekali. Namun isinya membuatku kecewa, tidak ada satu pun foto yang menampakkan wajah tampannya itu. Profil akunnya hanya berisi foto yang diambil dengan camera film, namun salah satu foto wanita yang menutupi wajah dengan buku menarik perhatianku. Satu-satunya foto manusia.
"Mentari, ayo sini dulu."
Seruan ibuku dari dapur membuatku menoleh reflek. "Ya?" Kulihat ibu sedang menyiapkan sebuah rantang. Ekor mataku kemudian menangkap gelak tawa menyebalkan Kanaya.
Ketika aku kembali menatap ponsel, mataku melebar seketika. Pasalnya keterangan follow pada akun Evan bernama @evansaga telah berubah menjadi following. Aduh, pasti jariku yang suka scrolling tanpa sengaja memencetnya. Namun baru aku akan membatalkannya, tiba-tiba muncul pemberitahuan @evansaga telah mengikuti anda.
Aku hampir terlonjak terkejut, sebelum ibuku mendekat dan menyodorkan sebuah rantang yang membuat alisku terangkat bingung.
"Ini bawa ke rumah Evan. Ibu buat rendang, bisa Evan panasin kalau mau makan," ujar ibu membuatku menegak saliva. Bukan karena tergiur akan bayangan daging yang telah dimasak dengan sempurna oleh berbagai bumbu ala rendang. Tetapi bayangan bertemu dengan Evan setelah ketahuan menguntit akun instagram miliknya.
"Enggak, biar Kanaya saja."
Suara Kanaya membuyarkan lamunanku. Tanganku yang baru akan terulur, namun kini digantikan oleh tangan Kanaya yang sudah memegang rantang tersebut.
Aku hanya terdiam tidak menanggapi. Seandainya aku tidak mengatakan hal ceroboh dan tanpa sengaja mengikuti akun instagramnya maka sudah pasti aku akan merebut rantang tersebut.
"Tumben mau bawa sendiri?" ujar ibuku sama seperti dalam pikiranku.
Kanaya tersenyum tipis. "Ada yang mau aku tanyakan."
Tanpa menunggu waktu lagi Kanaya segera berjalan menuju rumah Evan. Sedangkan aku sendiri tidak tinggal diam. Aku masuk ke dalam kamar dan mengintip lewat jendela. Menemukan pintu rumah depan baru saja dibuka dan menampilkan sosok Evan yang menyambut kedatangan Kanaya.
Aku menarik napas dalam, di mana seharusnya aku yang berada pada posisi Kanaya. Kulihat mereka berdua telah masuk ke dalam rumah. Awalnya aku ingin mundur dan berbaring di atas tempat tidurku, namun setelah menatap hampa pintu rumah Evan kurang dari tiga menit, tiba-tiba Kanaya sudah keluar.
Aku jelas terkejut. Bukankah Kanaya akan bertanya sesuatu kepada Evan? Kurasa pertanyaan Kanaya tidak pernah singkat bahkan jika dia bertanya pada ayah.
Segera kakiku keluar dari kamar, ketika Kanaya akan masuk ke dalam kamarnya, aku memperlambat langkah kakiku.
"Udah selesai tanya Kak Evan?" tanya berbasa-basi.
Kanaya melirikku sekilas. Dia menghela napas, tanda sebuah kekecewaan. "Enggak sempat tanya. Kak Evan sedang ada tamu."
Ujung bibirku tertarik ke atas. Entah mengapa aku merasa bahagia bahwa Kanaya tidak sempat menghabiskan waktu berdua dengan Evan. Padahal aku cukup yakin bahwa kakak perempuanku ini tidak tertarik dengan Evan, kenapa aku tahu? Karena Kanaya sudah punya pacar yang aku sebagai perempuan mengakui ketampanan Irvan, pacar Kanaya itu.
"Oh begitu, kirain bakal diskusi."
Kanaya hanya menatapku sekilas, tanpa membalas ucapanku. Dia memutuskan masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkanku yang sudah berjingkrak kegirangan. Tetapi siapa tamu Evan malam-malam begini? Apa jangan-jangan perempuan jadi wajah Kanaya jadi muram seperti itu?
♡♡♡
Hari senin yang identik dengan upacara selalu membuat tubuhku lelah duluan sebelum menahan tanganku agar tetap hormat ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan.
Semalam hujan turun dengan deras. Aku berpikir bahwa akan berlanjut sampai hari ini, sehingga sekolah tidak perlu melakukan upacara. Namun pikiran licikku ternyata tidak dibenarkan oleh Maha Pencipta, sehingga langit begitu cerah hari ini.
Pagi-pagi merasakan teriknya matahari, lalu dilanjutkan dengan mata pelajaran Matematika membuat otakku rasanya mau meledak seketika.
"Hari ini mau ke acara Yuyun gak?" bisik Ruri ketika Guru Matematika sedang menerangkan rumus sin cos tan di depan papan tulis.
Aku melirik Ruri. "Malas ah, Yuyunkan sepupunya Soraya. Dan … teman-teman Soraya matanya bakal gak lepas lihatin aku."
"Ish, geer aja."
Aku tersenyum tipis. Namun hal itu tidak berlangsung lama ketika Guru Matematika mulai memberi kami pekerjaan rumah yang melihat soalnya saja sudah membuat kepalaku pusing.
Jika Ruri memilih ke kantin untuk makan mie ayam, maka aku lebih memilih memesan rice box via delivery, lalu menjemputnya di gerbang sekolah. Kuputuskan untuk menikmati makan siang dan waktu istirahatku pada bangku belakang perpustakaan yang selalu sepi.
Kenapa sepi? Karena tidak ada murid yang akan bersedia nongkrong di sana atau mereka bakal kena omelan dari penjaga perpustakaan.
"Sendirian nih?"
Ketika aku hampir menghabiskan makan siangku, muncul sebuah suara yang terdengar familier. Aku menoleh dan mendapati bahwa itu adalah Deril yang datang dengan sebuah kaleng minuman bersoda di tangannya.
"Kau sendiri? Tidak ke kantin?"
Deril tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahku. "Sudah tadi pas jam kedua kosong."
Aku cemberut merasa iri dengan kelas yang kosong kala guru berhalangan mengajar. Aduh Kiran bagaimana kau mau pintar dan sukses, jika pola pikirmu begitu.
Aku menyelesaikan makanku dan menegak sebotol air mineral yang tadi bersamaan kupesan dengan rice box.
"Nama akun instagram milikmu @kiranchan bukan?"
Mataku membulat kemudian menoleh menatap terkejut Deril. "Bagaimana kau tahu? Kau mencarinya?"
Deril tertawa pelan. "Tidak, aku mendengar Kak Evan berkata semalam bahwa kau mengikuti di instagram."
"Apa?"
Kini aku mengerjap mendengar sesuatu yang aneh. "Kak Evan, semalam?"
Kepala Deril mengangguk. "Aku datang ke rumah Kak Evan semalam atas ajakannya."
"Jadi tamu yang dilihat Kanaya semalam adalah kau?"
Raut wajah Deril ikut heran. "Jadi perempuan yang datang ke rumah Kak Evan sambil bawa rendang buatannya namanya Kanaya?"
Aku mengangguk dengan cepat, lalu menggeleng kemudian ketika sadar akan sesuatu. "Dia kakak perempuanku. Dan yang buat Ibuku, bukan Kanaya. Kenapa malah ngaku gitu ke Kak Evan kalau dia yang masak?"
Deril sekali lagi tertawa, namun kali ini cukup keras. Membuatku menepuk pahanya sekilas agar memelankan suaranya.
"Ish, nanti Ibu Dara dengar lagi," ujarku membicarakan penjaga perpustakaan yang terkenal lebih galak dari Guru BK sekolah kami.
"Jadi kapan kau akan kembali ke rumah Kak Evan?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.
Deril terdiam sejenak. Dia mendesis sambil menatapku serius. "Apa kau menyukai Kak Evan?"
Aku mengangguk tanpa ragu. Untung apa menyembunyikannya dari Deril, lagipula lelaki di sebelahku ini bisa saja jadi penghubungku dengan Kak Evan. "Ya, jika kutahu bahwa tamu itu adalah kau, maka akulah…." Sebelah tanganku menunjuk diriku sendiri. "Akulah yang mengantar rendang itu, karena Ibuku memintaku lebih dulu sebelum Kak Kanaya sukarela menawarkan dirinya."
"Kau ingin memanfaatkanku dekat dengan Kak Evan?" tanya Deril dengan mata sedikit melebar.
Aku mengangguk dengan cepat. "Baguslah kau peka akan hal itu. Baiklah … supaya adil, maka kau boleh meminta sesuatu padaku."
"Jadi kau akan menjadi genie untuk mengabulkan permintaanku?" tanya Deril memberi perumpamaan.
Aku berpikir sejenak. "Ya, selama aku sanggup maka akan kukabulkan." Aku mengambil sendok dari rice box yang masih berada di dekat kaki bangku. "Zimzalabim!"
Aku seolah memperagakan tongkat sihir dengan sendok membuat Deril tertawa pelan.
"Baiklah, minggu depan Kak Mayang bakal ulang tahun dan dia mengundang Kak Evan ke rumah. Kau bisa datang juga," ujar Deril membuat gelombang semangat langsung menyeruak dari dalam sanubariku.
"Benarkah? Itu kesempatan yang bagus untuk bertemu dengan Kak Evan secara alami," balasku mulai memikirkan akan berdandan seperti apa nanti.
"Kiran, apa kau tidak masalah dengan perbedaan umurmu dengan Kak Evan yang mungkin hampir kepala tiga?" tanya Deril membahas tentang usiaku dan Evan yang mungkin terpaut sepuluh tahun.
Aku menggeleng pelan. "Umur Kak Evan adalah usia ideal untuk dijadikan suami Kiran," balasku sambil tersenyum lebar.
Kulihat Deril telah melongo seolah terkejut mendengar ucapanku. Dia pasti tidak menduga bahwa aku telah memiliki angan untuk menikah dengan Evan.
♡♡♡