Chereads / Be My Husband / Chapter 9 - Love Scenario

Chapter 9 - Love Scenario

"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikuti di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik.

"Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.

Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.

Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."

Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku bersama datang ke rumahnya, aku hanya akan terlihat makin bodoh di depannya."

"Namamu sudah kudaftarkan sebagai peserta lomba biologi. Kata Ibu Jana, ingatanmu cukup baik mengingat struktur anatomi sapi."

Aku tertawa keras mendengarnya. "Sapi? Apa karena aku menyukai makan daging sapi jadi Ibu Jana berkata seperti itu?" 

Aku tahu Deril sedang bercanda soal lomba tersebut. Ibu Jana memang pernah menawariku untuk ikut dalam lomba terakhir sebagai anak kelas dua belas, hanya karena aku pernah sekali mendapat nilai seratus alias sempurna dalam ujian harian yang diadakan. Kuakui aku memang cukup bekerja keras pada waktu itu.

Deril ikut tertawa memandangku. "Coba sekali lagi, tidak ada salahnya bukan?"

"Apa kau punya maksud lain?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.

Dahi Deril mengernyit. "Tidak, hanya saja baru pertama kali ini … aku bertemu dengan perempuan yang berjuang terlebih dahulu."

Aku tersenyum tipis mendengarnya. Merasa bangga bahwa ini pertama kalinya untuk Deril bertemu dengan perempuan sepertiku, tetapi saat bersamaan merasa miris dengan ketidakjelasan nasib cintaku kepada Evan.

Aku bisa merasakan dengan jelas perbedaan bagaimana tenagaku terkuras saat masih menjadi murid kelas sebelas dan kini menjadi murid kelas dua belas. Apalagi kalau bukan kelas tambahan dan bimbingan belajar untuk masuk perguruan tinggi yang kadang juga diselingi tips dan trik untuk menghadapi ujian nasional.

Hari ini Deril memberitahuku bahwa malam ini akan ke rumah Evan dan mengajakku ikut bersamanya. Aku bisa membayangkan wajah Evan yang mungkin menganggapku modus, tetapi ya sudahlah, ingat kata Deril saja. Mencoba sekali lagi apa salahnya?

Tentunya sebelum aku ke sana, terlebih dahulu harus memakai jurus atau strategi dan itu adalah melalui makanan. Sayanglah kini kulihat area dapur sedang digunakan oleh Kanaya sebagai medan tempurnya dalam menguji coba resep yang mungkin baru dinontonnya pada kanal Ramsay Gordon.

"Eh, Kiran sini coba ini," ujar Kanaya melambaikan tangan menyuruhku mendekat.

Aku yang hanya berdiri terpaku menatapnya sedang memanggang daging steak, hanya pasrah. Mau menghindar juga, nanti malah kena omelan yang memekikkan telinga.

Kulihat Kanaya mengiriskan sepotong daging sapi yang terpanggang dengan tingkat medium rare. Sebelah tangannya kemudian menusuk irisan daging tersebut dengan garpu lalu menyodorkannya kepadaku.

Sebelum terjadi adegan suap-menyuap, aku segera merebut garpu dari tangan Kanaya, lalu memasukkan irisan daging tersebut ke dalam mulutku. Ternyata lezat juga.

"Ini enak," pujiku tulus.

Mata Kanaya berbinar untuk sesaat. "Benarkah?"

Timbullah sebuah ide dalam kepalaku yang mungkin kali ini harus memanfaatkan Kanaya. Sorry my annoying sister.

"Iya, gimana kalau aku bawain buat Kak Evan juga? Kebetulan dia sedang ada tamu juga," ucapku dengan suara pelan.

Kulirik Kanaya tampak berpikir sesaat. "Baiklah, kau akan antarkan nanti ke rumahnya."

"Sip."

Sekarang semuanya mulai berjalan sesuai rencana. Aku juga telah mendapat pesan dari Deril bahwa lelaki itu telah berada di rumah Evan. 

Aku pun mulai mengeluarkan rantang terbaik ibuku dari dalam lemari. Sembari itu Kanaya mulai terus memanggang daging sapi dengan suara penyanyi Ariana Grande yang mengiringinya.

"Eist, bukan begitu," sergah Kanaya menghentikan aksiku saat akan memasukkan daging sapi yang telah terpanggang ke dalam rantang.

Aku sebenarnya ingin memakai piring dengan menatanya dengan cantik lengkap dengan garnish-nya. Tetapi aku takut kalau berjalan membawa piring dengan nampan dan kakiku bersandung maka rencanaku bisa gagal total. Jadi aku akan menaruhnya di piring Evan nanti setelah tiba di rumah lelaki tersebut.

Kanaya menata sendiri daging steak tersebut ke dalam rantang dilengkapi masakan lain berjenis vegetable yang aku tidak tahu apa namanya. 

"Nah sudah selesai. Buruan bawa gih ke Kak Evan. Aku mau siapin buat Ayah dan Ibu."

Ucapan Kanaya membuatku mengangguk semangat. "Oke, thank you."

Tanpa menunggu waktu lebih lama dan supaya masakan Kanaya tersebut masih hangat, maka aku segera membawa rantang menuju rumah Evan.

Tok.

Tok.

Aku mengetuk pintu rumah Evan dan sosok Deril langsung muncul membukakan. 

"Loh kok kau sih yang buka?" tanyaku berbisik pelan sambil mataku berusaha menelisik ke dalam rumah Evan.

"Kak Evan sedang mandi."

Aku menegak saliva membayangkan otot perut Evan yang terkena air. Gila, kenapa otak korenganku tiba-tiba bekerja dengan baik?

"Baiklah, coba minggir. Aku perlu mengaturnya."

Kulihat Deril hanya menatapku bingung, namun kuyakin matanya telah menangkap rantang yang kubawa, sehingga lelaki itu mulai menyampingkan tubuhnya agar aku bisa masuk ke dalam rumah.

Aku yang belum melihat sosok Evan segera menuju area dapurnya. Mengambil piring di dalam lemari piring dan mengaturnya di meja makan. 

Aku melihat kedatangan Deril yang duduk di depan meja maka ketika aku mulai mengeluarkan satu per satu daging steak beserta salad sayurnya dan yang terakhir adalah saus untuk steak-nya.

"Sepertinya enak," koemntar Deril membuatku tersenyum tipis.

"Kiran?"

Suara Evan langsung membuat kepalaku menoleh, mendapati lelaki itu baru saja mandi dengan memakai kaus oblong hitam dengan ujung rambut masih basah. Pemandangan yang membuat batinku bersorak gembira.

"Kau membawa makanan?" tanya Evan berjalan mendekat.

"Iya, buat makan malam."

"Buat sendiri?"

Aku melirik Deril sekilas yang tampak tersenyum tipis ketika Evan melontarkan pertanyaanku itu kepadaku.

Aku pun hanya mengangguk pelan.

"Baiklah, terima kasih. Ayo makan," kata Evan mulai duduk di sebelah Deril.

Aku menggeleng. "Sudah, Kak Evan dan Deril bisa menikmatinya."

"Kiran, jangan pulang dulu ya. Bahas soal fisika yang kemarin aku tanyakan," ucap Deril membuatku bingung sesaat, namun lelaki itu langsung mengedipkan sebelah matanya sehingga aku mengerti apa maksud sebenarnya.

Aku padamu Deril!

Sekitar tiga puluh menit aku menunggu Evan dan Deril selesai makan. Selama itu pula aku hanya menonton siaran Netflix yang sedang menayangkan film berjudul All The Boys I've Loved Before.

Aku mendengar suara derap sandal dari belakang. Ketika aku berbalik itu adalah Evan yang kini duduk di sofa bagian sebelahku. Aku pun menahan napas untuk sesaat.

"Katanya buatan sendiri? Tapi aku lihat unggahan instagram Kanaya sedang memasak itu."

Gleep. 

Aku menoleh perlahan. Mendapati Evan sudah menatapku. "Tapi aku juga bantu dia kok," ujarku beralasan.

Evan tersenyum tipis. "Bilang sama Kanaya ya kalau buatannya itu enak dan makasih sudah mau berbagi."

Aku hanya mengangguk lemah mendengarnya. Seketika semangatku langsung luruh, apalagi Evan kini mulai fokus mengajak Deril untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika. Sebenarnya Evan juga mengajakku, tetapi dasar otakku yang lemah akan rumus sehingga hanya menyimak tanpa mengerti.

Malam itu pun hanya terlihat mengasyikkan untuk Evan dan Deril yang mulai melontarkan berbagai teori fisika yang cukup familie di telingaku. Akhirnya setelah mereka selesai aku pulang dan Deril ikut mengantarku sampai di depan pintu rumah.

"Kenapa hanya murung?" tanya Deril menatapku.

"Sepertinya rencana malam ini gagal."

Deril tertawa pelan. "Bukan, hanya mungkin kurang efektif, karena kau kurang bisa ikut bicara."

Aku mendengus pelan. "Bagaimana mungkin aku ikut bicara soal teori fisika. Entar salah malah menjadi bumerang bagiku."

Kudengar suara pintu terbuka dan ketika aku berbalik, itu adalah Kanaya.

"Eh, temannya Kiran ya?"

"Oh dia Deril, tamunya Kak Evan yang kubilang," ujarku tidak ingin membuat Kanaya berpikir macam-macam dan akan menggodaku di hadapan ayah dan ibu nanti.

"Oh kenalan Kak Evan yang kebetulan teman sekolahmu?" tanya Kanaya membuatku mengangguk.

"Terus mana rantangnya?"

Ucapan Kanaya membuatku sadar sesuatu, bahwa ada sesuatu yang kulupakan di rumah Evan.

"Aku akan segera mengambilnya. Semoga Kak Evan belum tidur."

"Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Kiran. Selamat malam Kak Kanaya, terima kasih makan malamnya," tukas Deril sambil tersenyum lebar menatap Kanaya.

Aku menaikan sebelah alisku, namun segera berjalan menuju rumah Evan di mana Deril mengikuti dari belakang, karena mobil lelaki itu terparkir di halaman rumah Evan.

"Aku pulang ya," ujar Deril sebelum masuk ke dalam mobil.

Aku berbalik dan mengangguk pelan. Setelah mobil Deril mulai meninggalkan halaman rumah Evan, aku kembali fokus untuk mengetuk pintu depan rumah Evan.

Usaha pertama dan kedua gagal, membuatku berpikir untuk memintanya besok. Namun karena mencoba sekali lagi apa salahnya, maka aku mengetuknya kembali.

Ceklek.

Pintu terbuka menampilkan sosok Evan yang menatapku tanpa bersuara.

"Itu Kak, rantang makannya," ujarku merasa kikuk.

Evan mengangguk kecil. "Ayo masuk. Sepertinya masih ada di atas meja makan."

Aku pun mengikuti langkah Evan yang mengarah menuju area ruang makan. Lelaki itu merapikan rantang tersebut, sebelum memberikannya padaku.

"Padahal bisa kau ambil besok atau aku bawakan setelah mencuci terlebih dahulu," kata Evan masih berdiri di hadapanku.

"Tidak masalah. Kan Kak Evan sibuk. Kalau begitu Kiran--"

Aku yang akan beranjak sambil mengucap kalimat pamit kemudian menghentikan gerakan dan perkataanku begitu Evan memegang pergelangan tanganku.

"Tunggu, jangan pulang dulu," sergah Evan membuat napasku tertahan.

Kulihat Evan berjalan menuju salah satu kamar dan tidak lama kemudian kembali sambil menyodorkan sesuatu di hadapanku.

"Hari minggu nanti salah satu sahabatku akan membuka restoran Korea, kebetulan ada dua tiket. Mau pergi bersama?" 

Aku menegak saliva. Ini bukan mimpi kan? Tapi matahari sudah terbenam dan mataku mulai berkunang.

"Kak Evan beneran mengajak Kiran?" tanyaku memastikan dengan mendongak menatap lelaki itu.

Evan tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan. "Anggap saja ucapan terima kasih atas makan malamnya tadi."

"Tapikan Kak Kanaya yang membuatnya."

"Aku sempat berkomentar pada unggahannya dan dia berkata kalau kau yang mengusulkan agar memberiku daging steak tadi," jelas Evan dengan suara pelan.

Aku menerima tiket atau bisa dikatakan undangan peresmian restoran tersebut. 

"Baiklah, sudah malam. Jangan tidur kemalaman," kata Evan lalu mengacak pelan rambutku dan mulai akan beranjak.

"Tapi sepertinya Kiran gak bakal bisa tidur," balasku masih setia menatap dua lembar tiket tersebut.

Suara kekehan Evan terdengar. Manis sekali kedengarannya dan ketika aku mencoba menatapnya. Lelaki itu sudah berbaring di atas sofa. Meski begitu sorot matanya memandangku.

"Kita akan berangkat bersama, tapi kau pegang tiketnya. Soalnya aku sering melupakan hal-hal seperti itu dan…." Ucapan Evan terhenti dan bangkit kembali. Dia menuju meja kecil dekat televisi tergantung. Mengambil ponselnya, lalu berjalan mendekat ke arahku.

"Berikan aku nomor ponselmu, sehingga aku bisa menghubungi atau kau mengingatkanku tentang acara minggu nanti," ujarnya menatapku lekat.

Aku bersorak dalam hati. Deril, rencanaku yang gagal tiba-tiba menemukan jalannya kembali dan ini mendapatkan dua hal sekaligus. Jalan berdua pada hari minggu dan Evan meminta nomor ponselku sendiri!

♡♡♡