Chereads / Be My Husband / Chapter 8 - Harapan yang kandas

Chapter 8 - Harapan yang kandas

Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.

Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal. 

Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan. 

Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.

Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikuti, namun tidak pernah lelaki itu mengunggahnya. Ketika kuintip, ternyata bukan rekaman atau unggahan langsung, melainkan semacam repost dari akun lain yang men-tag lelaki itu.

Yang membuat kepalaku tidak bertopang lagi di atas meja adalah ketika melihat video instastory tersebut. Itu adalah rekaman sebuah wanita yang menyebut nama akun Evan dan dua akun bernama pria lainnya.

"Jangan lupa datang ya, awas loh."

Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh wanita itu dan yang membuat lebih kesal adalah wanita itu sangat cantik. Untung saja wanita itu menandai nama tempat di mana dirinya berada, yaitu Little Sun. Sedikit mirip nama ala kafe.

Aku menghela napas kemudian mematikan ponselku. Tidak butuh waktu lama, hingga bel tanda jam istirahat telah berbunyi. Mata pelajaran terakhir akan terasa memusingkan dengan materi radioaktif.

Sebagai bab perkenalan radioaktif, guru kimia sampai harus menayangkan ilustrasi dari proyektor bahkan menyarankan untuk menonton serial Chernobyl sebagai salah satu contoh penggunaan radioaktif serta akibat yang dapat ditimbulkan.

Pelajaran kimia hari ini tidak terlalu menguras pikiran, terlebih pemberitahuan bahwa kelas tambahan yang ditiadakan, karena akan diadakan rapat. Hal itu berarti aku bisa pulang dengan cepat.

Namun mengingat kembali instastory tadi membuat otakku memikirkan rencana lain. Aku yang sudah menekan alamat rumahku pada aplikasi taksi daring langsung mengubahnya ke tempat lain.

"Kiran kalau kau tidak ke sana, maka kau akan menyesal," gumamku bertekad.

Aku memang berangkat menuju lokasi di mana akun instagram Evan ditandai. Sebenarnya aku bukanlah tipikal yang sampai kepo banget, tetapi melihat reaksi Evan yang sampai melakukan repost, tentu wanita itu cukup dekat dengannya.

Aku yang semula hanya ingin memantau tempat tersebut dari luar. Lagipula mungkin saja Evan sudah datang dan pertemuannya dengan wnaita itu sudah selesai. Tetapi aku salah besar, baru dua menit taksi yang kutumpangi berhenti, tiba-tiba kulihat mobil Evan berhenti dan perparkir di depan bangunan yang papan namanya bernama Little Sun.

Sosok Evan keluar dari mobil dan melangkah masuk sambil memegang sebuket bunga. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku saat ini, seolah ada jarum yang menusuk hatiku. Perih sekali, katakan ini berlebihan. Namun itulah yang kini kurasakan. Bayangan Evan memberi wanita itu bunga sambil tersenyum lembut sangat melukai perasaanku.

Aku yang berusaha tetap berpikir positif kemudian memutuskan untuk mendekati bangunan tersebut. Mencoba mengintipnya lewat kaca pintu yang ada. 

"Eh Adek mau apa?"

Sial! Sebuah suara langsung menghentikan gerakanku yang akan mengintip dan ketika aku berbalik, kulihat seorang wanita yang mungkin berusia sekitar lima puluhan dengan rambut terikat sedang tersenyum ke arahku.

"Oh tidak, tadi aku melihat kenalan yang masuk," balasku berkata jujur.

Wanita itu tersenyum. "Oh ya? Mungkin tamu spesial Mbak Tata."

"Mbak Tata?"

"Iya, kan hari ini peresmian panti asuhan yang Mbak Tata dirikan bersama teman-teman SMA-nya."

Mataku seketika membulat begitu mendengarnya. "Apa? Panti asuhan?"

Wanita itu tertawa pelan. "Loh, Adek tidak tahu? Katanya ada kenalan?"

"Jadi Kak Evan…."

"Oh Mas Evan, dia salah satu yang penyumbang terbesar. Teman SMA Mbak Tata juga."

Selaan dari wanita paruh baya tersebut langsung membuatku kicep. Tidak lama kemudian aku melihat mobil datang membawa karangan bunga ucapan selamat.

Aku bukan terperangah dengan kebodohan afau kesalahpahaman yang ada diotakku. Tetapi merasa terharu sekaligus takjub bahwa Evan memiliki niat yang begitu mulia. 

Benar-benar calon iman idaman. Bagaimana aku bisa berhenti berjuang kalau begini?

♡♡♡

Jika beberapa hari ini aku hanya diam-diam memperhatikan Evan sejak mengetahuinya dalam kontribusi pembangunan panti asuhan, tetapi kali ini berbeda.

Hari ini adalah hari di mana kakak Deril ulang tahun dan acaranya akan berlangsung malam ini juga. Harapanku tentu saja bisa berangkat bersama dengan Evan bahkan kado untuk kakak Deril pun sudah kusiapkan. Namun bagaimana caranya aku secara alami bisa berangkat bersama dengan Evan?

Tidak mungkin kan aku tiba-tiba muncul di hadapan pria itu dan mengutarakan keinginanku. Bisa-bisa Evan malah menjauhiku, karena mengira aku penguntit dan terlalu lengket dengannya.

Ternyata Tuhan sangat bermurah hati. Aku melalui jendela sedang melihat Evan menghampiri ayahku yang sedang menyiram tanaman depan rumah.

"Kiran sedang apa?"

Suara ibu langsung membuatku menutup gorden jendela dan berbalik badan. Melihatnya memegang sebuah nampan.

"Apa itu Bu?"

"Apalagi kalau bukan kopi Ayahmu."

Seketika ide cemerlang langsung muncul di kepalaku. "Biar Kiran saja," ujarku segera mengambil nampan yang dipegang ibu dan membawa keluar.

"Ayah kopinya sudah siap," seruku meletakkan nampan tersebut di meja kecil pada teras rumah.

"Eh, ada Kak Evan," sapaku sambil tersenyum dan berjalan mendekati ayah juga Evan.

"Halo Kiran," sapa Evan balik sambil tersenyum tipis.

"Nak Evan ada acara malam ini? Mau nonton pertandingan Arsenal melawan Chelsea bareng?" 

Pertanyaan ayah sangat mewakili pertanyaan yang akan kuutarakan kepada Evan. Sepertinya nasib sedang bekerja di pihakku kali ini.

"Ada Om, kebetulan acaranya malam."

"Oh gitu ya, Kiran juga ada acara. Mau ke ulang tahun kakak temanmu bukan?"

Aku langsung mengangguk. "Iya, nama temanku Deril," jawabku sambil menatap Evan.

Terlihat Evan mengernyitkan dahi. Meski begitu ia tidak mengatakan apapun lagi selain pamit kepada ayahku untuk mandi sore dan bersiap ke acara yang dirinya maksud. Apa memang Evan tidak ingin memberiku tumpangan?

Tidak mendapat ajakan membuatku tidak putus asa. Setelah mandi, aku segera berpakaian dan berdandan minimalis. Kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh, segera aku keluar dari rumah untuk dapat bertemu dengan Evan.

Benar saja, tidak lama kemudian lelaki itu keluar dari rumah dengan pakaian rapi. Ketika Evan akan masuk ke mobilnya, aku berjalan cepat mendekatinya.

"Kak Evan mau ke mana?" tanyaku to the point.

Evan menoleh menatapku. "Oh itu, mau ke acara pernikahan rekan bisnis. Kau mau ke rumah Deril bukan? Semoga menikmati hidangan di sana," ujarnya tersenyum lalu masuk ke dalam mobil.

Lelaki itu bahkan membunyikan klaksonnya sekali ketika mulai meninggalkan halaman rumahnya sebagai tanda pamit untukku. 

Aku tercengang untuk beberapa saat. Kado yang kupegang terjatuh sendiri, tidak percaya dengan situasi yang kini kualami. Meskipun perasaanku sangat kacau balau, tetapi aku tetap memutuskan ke rumah Deril. 

"Kau datang sendiri?" tanya Deril menyambutku.

Aku mengangguk lemah. "Ini buat Kakakmu," ujarku memberi kado yang telah kubungkus.

"Baiklah, thank you. Kenapa tidak bareng Kak Evan? Dia belum datang," balas Deril membuatku menceritakan kronologi kejadian dimulai dari aku mengambil nampan, hingga ditinggalkan sendiri di halaman rumah Evan.

Namun bukan kalimat keprihatinan yang kudapatkan, tetapi sebuah suara tertawa keras dari Deril.

"Ih, kok malah tertawa sih," dengusku menatap Deril.

"Sorry Kiran, tapi itu lucu. Apa Kak Evan tidak peka ya?"

"Tahu deh, aku mau makan dulu," balasku beranjak menuju tempat hidangan tersaji, tetapi seleraku benar-benar tidak ada. Sekadar mengisi perut agar tidak kelaparan.

Aku berdiam diri di acara ulang tahun tersebut selama setengah jam sambil mendengarkan live music yang tersaji. Deril tidak bisa terus berada di dekatku, karena juga sibuk menyapa teman-temannya yang lain.

Mulai merasa bosan menjadikanku beranjak menuju pintu keluar, namun sebuah tangan mencegahku dan ketika aku berbalik, itu adalah Deril.

"Mau pulang? Biar aku antar," ujarnya masih memegang tanganku.

Aku mengerjap sekali menatapnya. "Tapikan masih ada teman-temanmu?"

"Tapikan tidak baik kalau perempuan sepertinya pulang malam-malam gini sendirian," tukasnya membuatku akhirnya setuju.

Aku berjalan mengikuti Deril dari belakang, namun langkah terhenti begitu melihat juga berhenti. Namun ketika aku menatap ke depan, aku tahu alasan kenapa lelaki itu berhenti. Evan berjalan dari arah berlawanan menuju kami.

"Kak Evan baru datang?" tanya Deril begitu Evan yang masih dengan pakaian yang sama ketika melihatnya tadi.

Evan tersenyum sekilas. "Iya, kalian sendiri mau ke mana?" tanyanya beralih menatapku.

Aku sendiri memilih membuang pandanganku. Entah mengapa emosi dalam dadaku seolah membuncah, padahal Evan tidak melakukan kesalahan apapun. Akunya saja yang berharap semua sesuai dengan harapan dan rencanaku.

"Mau antar Kiran pulang. Tidak baik perempuan sepertinya pulang sendirian," ujar Deril memecah keheningan sesaat tadi.

"Tidak perlu. Biar aku pulang bersamanya, lagipula kau pasti lelah."

Balasan Evan membuatku akhirnya menatap lelaki itu dan sialnya pandangan kami bertemu.

"Gimana Kiran?" tanya Deril ikut menatapku.

Aku mengangguk pelan. "Baiklah."

Aduh aku ini kok lemah sekali. Baru saja dua jam yang lalu mencak-mencak di atas taksi sambil berkata akan melupakan Evan, tetapi baru ajakan pulang membuatku goyah.

"Baguslah, ayo masuk lagi."

Evan tidak terlalu lama di acara ulang tahun kakak Deril. Setelah menyerahkan kado dan berbincang sebentar, dia langsung mengajakku pulang.

"Kenapa cepat sekali? Kata Deril Kakaknya itu pembimbing Kak Evan?" tanyaku ketika mobil mulai berjalan. Aku menatapnya tanpa sungkan. Memperhatikan fitur wajahnya yang semakin membuatku terpana.

Evan menoleh sekilas. "Kaukan masih sekolah, bukankah akan mengantuk kalau tidurnya kemalaman?"

Dadaku berdebar mendengar ucapan lelaki itu. "Jadi Kak Evan peduli sama jam tidurku?"

Suara tawa kecil Evan terdengar. "Bukan itu, maksudku mengantuk di sekolah keesokan harinya bisa mengganggu konsentrasimu dalam belajar."

"Kalau misalnya hari besok minggu, apakah Kak Evan tetap akan pulang cepat seperti sekarang?" tanyaku tepat ketika lampu merah menyala di persimpangan, sehingga Evan menginjak rem mobil.

Perlahan Evan menoleh menatapku. "Hm ya," balasnya membuat hatiku bersorak. Artinya dia peduli tentangku bukan? Tidak hanya soal konsentrasiku dalam belajar atau mengantuk ketika di sekolah sebagai pelajar?

"Karena aku juga perlu bangun pagi untuk ke kantor dan tidak ingin menguap sepanjang hari di sana," lanjut Evan membuat anganku kembali menguap bersama angin malam.

Sepertinya aku terlalu banyak berharap akan sesuatu yang manis akan terjadi dalam kehidupan asmaraku.

Aku hanya tersenyum miris, masih menatap Evan yang kini kembali menginjak gas untuk melanjutkan perjalanan kami menuju rumah. Aku sedikit berharap akan ada kemacetan dalam perjalanan, sehingga setidaknya aku menghabiskan banyak waktu untuk duduk di sebelah Evan bahkan jika hanya suara radio seperti sekarang yang memecah keheningan malam. 

♡♡♡