"Bagaimana ? kalian setuju ?" tanya Bryan, diantara keempat bocah ini, dialah yang terlihat paling bersemangat.
"A...aku bingung, tapi Lucia itu'kan...jika dia tahu kita melakukan ini, dia pasti marah," Chris menjawab dengan ragu. Tampaknya hanya dia yang tidak setuju dengan taruhan semacam ini.
"Kenapa ? kau takut ? kita sudah SMP, jadi tidak masalah. Lagi pula ini yang terbaik yang bisa kita lakukan untuknya," ucap Leo dengan wajah tak seriusnya yang menahan tawa.
Sementara Pietro ? ia hanya diam dan terpaksa ikut melibatkan diri ke dalam taruhan aneh ini. Seperti yang dikatakan Chris, jika Lucia tahu mereka melakukan ini, dia pasti akan mengamuk dan menghajar mereka satu-persatu.
"Pietro, bagaimana menurutmu ?" tanya Bryan yang membutuhkan pendapat dari sosok yang paling kalem dan tenang di kelompok ini.
"Kalau aku, terserah kalian saja. Lagi pula yang kita lakukan ini juga untuknya, jika akhirnya dia tahu dan marah. Ya, kita pasrah saja !"
"Benar juga, bukan sekali dua kali kita dihajarnya. Tubuh kita pasti sudah terbiasa menerima pukulan mautnya itu," ucap Leo, si bodoh yang dengan senang hati menerima pukulan bertubi-tubi dari Lucia si "Manusia Monster"
"Aku tidak ingin dipukul," ratap Chris, satu-satunya orang normal di kelompok ini yang akan mengeluh sakit jika dipukul.
"Hahaha...sebenarnya kita sedang apa sih ?" tawa Leo akhirnya pecah melihat kekonyolan yang mereka lakukan "Kalau Lucia menghajar kita, bagaimana kalau kita melakukan perlawanan ? kita ini laki-laki dan berempat pula, pasti bisa dengan mudah mengalahkannya !" sambung Leo.
"Kau bodoh ya ? meskipun kita berempat belum tentu bisa mengalahkan dia. Kau tidak ingat kejadian saat liburan musim panas dua tahun lalu ? apa yang terjadi saat kita melawan Lucia ? wajahku babak belur dan kau, hidungmu berdarah'kan ?" ujar Bryan mengingatkan kembali pada kenangan buruk dan menyakitkan yang mereka alami waktu itu.
Setelah mengingat kejadian buruk itu, mereka berempat menghela nafas sembari memikirkan hal yang sama, "Mengapa perempuan monster itu bisa begitu kuat ?" jangankan berkelahi dengannya, melihat tatapan matanya saja bisa membuat lawannya ketakutan.
"Saat mengandungnya dulu, Ibunya makan apa ? kenapa anak perempuannya itu bisa begitu kuat ?" ucap Bryan dengan tatapan nanar, sementara mereka bertiga hanya mengangguk setuju.
"Baiklah, sudah diputuskan, kita lakukan taruhannya sekarang. Yang kalah akan menikahi Lucia saat sudah dewasa nanti," kata Bryan.
"Semoga bukan aku yang kalah. Aku tidak mau menikah dengan perempuan kasar dan galak seperti itu !" ujar Leo.
"Baiklah, kita mulai !" Bryan mulai mengocok dadunya.
Mereka taruhan dengan memainkan permainan ular tangga yang legendaris itu. Selama 30 menit yang menegangkan, penuh dengan doa dan harapan. Akhirnya babak penentuan berhasil dilakukan, pemenangannya adalah Pietro, sementara yang kalah adalah Chris.
"Ti... tidak mau, aku tidak mau..." Chris merengek mengetahui kenyataan pahit yang akan menimpanya di masa depan. Mengapa justru sosok yang paling penakut dan lemah seperti dirinya yang harus menikahi perempuan kasar dan tukang pukul seperti Lucia ?
"Hahaha...aku selamat, hore..." Leo bersorak kegirangan karena terlepas dari ancaman yang mempertaruhkan hidupnya.
"Hahaha...kalau begitu selamat untuk Chris, kaulah yang akan menjadi suami Lucia kelak. Jangan lupa undang kami ke pesta pernikahan kalian ya ?" ledek Bryan, hatinya merasa sangat lega.
"Aku tidak mau ! kenapa harus aku ?" Chris menangis, ia benar-benar tidak menginginkan hal ini. Padahal awalnya dia menentang keras taruhan ini karena dia tahu dari bahwa dirinya yang akan kalah.
"Semangat ya Chris !" Pietro menepuk pundak Chris yang terlihat menyedihkan, sementara Chris terus meratapi nasibnya.
"Hei kalian sedang apa ?" sosok yang mereka takuti itu akhirnya muncul dan kemunculannya disaat yang tidak tepat.
Lucia berdiri sambil berkacak pinggang, memandang keempat sahabatnya yang lebih pantas disebut sebagai anak buah atau pengikutnya. Mereka berempat langsung bangkit, sementara Bryan sibuk menyembunyikan permainan ular tangga dan secarik kertas taruhan sebagai tanda perjanjian yang mereka lakukan.
"Kalian sedang apa ? apa yang kau sembunyikan dibelakangmu ?" tanya Lucia. Ia berjalan menghampiri keempat bocah yang berbaris rapi dengan wajah ketakutan.
"Kami tadi hanya bermain sebentar...i...iya'kan ?" ucap Bryan dan kemudian dilemparkannya pada ketiga teman senasibnya ini.
"I...iya benar !" jawab mereka bertiga kompak dengan menunjukkan senyuman palsu.
"Kau sembunyikan apa ? aku mau lihat !"
"Ti...tidak, ini hanya permainan ular tangga" ucap Bryan mengelak. Ia masih menyembunyikan permainan dan kertas perjanjian itu dibelakang punggungnya.
"Ya sudah, aku mau lihat ! cepat berikan !" Lucia yang keras kepala ini tidak akan puas sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Ta...ta...tapi...tapi..."
"Cepat berikan padaku !" Lucia langsung menarik permainan ular tangga dan kertas yang disembunyikan Bryan.
"Kami pasti mati !" batin mereka serentak seiring dengan mengalirnya keringat dingin di sekujur tubuh mereka.
"Kertas apa ini ?" Lucia membaca kertas yang sudah setengah mati disembunyikan Bryan.
Secarik kertas putih yang bertuliskan bahwa mereka yang bertanda tangan dibawah ini bersepakat untuk melakukan taruhan dan pihak yang kalah harus menikahi Lucia saat sudah dewasa. Mereka juga membubuhi tanda tangan mereka berempat serta nama dari pihak yang kalah yaitu Chris.
"Apa-apaan ini ?" Lucia terlihat kesal hingga kertas ditangannya remuk.
"I...itu...itu...kami bisa jelaskan !" kata Leo.
"Taruhan ? kalian jadikan aku taruhan ? kurang ajar ! kalian mau mati ya ?" aura monster Lucia keluar, wajahnya benar-benar terlihat menyeramkan.
Keempatnya bocah ini gemetar ketakutan dan perlahan berjalan mundur kebelakang guna menghindari amukan Lucia.
"MATI KALIAN...!" teriak Lucia, ia sudah menyiapkan tinjunya yang akan mendarat ke wajah Bryan.
"Lu...Lucia...tunggu dulu ! dengarkan dulu ! kami melakukan itu untukmu, kami semua mencemaskanmu !" ujar Bryan yang berusaha menjelaskan.
"Mencemaskanku ?"
"Iya ! kami mencemaskanmu. Kami mendengar sendiri Depney dan teman-temannya saat mengolok-olokmu, mereka bilang tidak ada laki-laki yang mau menikah denganmu. Jadi, kami melakukan ini agar suatu saat nanti kau bisa menunjukkan pada mereka bahwa kau juga bisa menikah dan hidup bahagia."
Lucia terdiam, kepalanya tertunduk. Ia benar-benar sangat marah dan kesal mendengarnya. Bagaimana mungkin bisa mereka melakukan hal bodoh ini padanya ?
"Kalian melakukan semua ini untukku ?"
"Iya benar !"
"Kalian pikir aku senang ? aku benci ! kalian berempat ini sama bodohnya dengan mereka. Seenaknya saja kalian memutuskan hal seperti ini tanpa memikirkan perasaanku ! dasar bodoh...bodoh...kalian semua bodoh !" teriak Lucia. Ia langsung berlari pergi meninggalkan mereka yang berdiri terpaku.
"Lucia menangis ?" itulah yang mereka pikirkan, mereka berteman sejak umur lima tahun, namun tak pernah sekalipun melihat anak perempuan itu menangis.
"Dia menangis ?"
"Kau juga lihat ?"
"Ya, aku melihatnya..."
"Aku tidak pernah melihat dia menangis selama ini."
"Aku juga, ternyata Lucia itu benar-benar perempuan ya ?"
***